Istana Kota Tallo
Ayam sedang berkokok ria diiringi oleh suara cicadas yang saling bersahut-sahutan. Seorang Pria berbadan kekar melesatkan anak panahnya, panah itu menembus helm besi yang melindungi bagian kepala orang-orangan sawah. Jarak posisinya dari sasaran kira-kira 100 langkah.
Perawakan Pria yang memegang busurnya itu cukup tinggi. Wajahnya dipenuhi oleh bekas luka terutama di bagian pipi dan di beberapa bagian lain. Kumisnya dicukur habis dengan jenggot yang lebat.
Sudah biasa ia mengasah berbagai kemampuan tempur sehabis bangun tidur. Sedari tadi panah-panah yang dilesatkan dari busurnya terus mengenai sasaran tembak di bagian kepala.
Set!
Sekali lagi ia mengambil anak panahnya. kali ini ia membidiknya ke arah yang berbeda. Menarik senar busurnya sekencang-kencangnya kemudian mengarahkan busurnya agak ke aras baru melesatkannya. Tangan orang-orangan sawah itu putus ketika terkena panahnya.
Set!
"Ayah kau masih berlatih panahan? padahal sebentar lagi pertemuan penting akan dimulai," ujar La Malewai Sidenreng, Raja Sidenreng, Menantu dari Karaeng Karunrung.
"Seharusnya kau ini latihan, ototmu itu sepertinya sudah melemah Raja Sidenreng?" - balas Karaeng Karunrung, Raja Tallo dan Perdana Mentri Kesultanan Gowa.
Malewai hanya diam sembari menyembunyikan kekagumannya ketika Karunrung melesatkan anak panahnya. Lesatan panahnya semakin cepat, Malewai seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lengan kiri, kaki kanan, kaki kiri, orang-orang sawah itu telah terjatuh ke tanah.
Set!
"Kepala orang-orang sawah itu sudah jatuh, kemampuan Ayah sungguh luar biasa."
"Luar biasa katamu? kau bilang itu luar biasa. Kemampuan memanahku belum sebanding dengan Jendral Belanda Johan van Dam," tanya Karunrung.
"Lagi-lagi Belanda, pasti di pertemuan kali ini Arung-Arung Sulawesi akan dikumpulkan untuk membahas VOC. Aku heran dengan Gowa, apa susahnya kalau berdamai saja dengan mereka?"
"Berdamai haha tidak ada kata damai sampai Gowa atau VOC hancur dasar bodoh. Belanda sudah bertekad untuk menghancurkan Kerajaan ini begitupun sebaliknya. Kau pikir perang akan berakhir dengan berkirim surat atau jamuan makan Malewai?"
"Ya maksudku daripada menguras perbendaharaan Kesultanan Gowa. Lebih baik berdamai,"
Karunrung hanya diam mendengarnya. Mangkubumi Kesultanan Gowa itu sudah bosan mendengar kata-kata itu. Raut wajah Malewai berubah memerah karena merasa seperti dipermainkan oleh Mertuanya.
"Kenapa Ayah hanya diam saja?" tanya Malewai seperti membentak.
"Memangnya Kerajaanmu sudah sanggup memproduksi bedil bersumbu tali?" tanya Karunrung langsung tersenyum ketika melihat wajah Malewai memerah.
"Belum ada yang bisa, memangnya apa pentingnya."
"Untuk perang bodoh kau ini ingin menang tidak melawan Belanda. Mereka itu semuanya sudah mulai menggunakan Flintlock. Dengan kata lain hanya dalam 20 tahun, pertumbuhan kekuatan militer mereka sangat cepat. Kafir Belanda itu tidak akan berhenti sampai tanah ini diperas habis oleh mereka."
"Apa masalahnya untuk kita? mengurusi urusan Kerajaan lain. Mau Belanda bertambah kuat atau lemah seharusnya bukan urusan kita!" timpal Malewai.
"Benar sekali urusanmu kan hanya pesta lalu pesta lagi besok kalau ada undangan pesta lagi," balas Karunrung tersenyum sinis.
Matahari semakin meninggi, Menantu dan Mertua itu menyudahi perdebatan mereka untuk segera bergegas menghadiri pertemuan raya Kesultanan Gowa. Acara wajib tersebut dilaksanakan setiap tahun di Benteng Ujung Pandang.
Setiap perwakilan Kerajaan Bawahan atau Vassal Kesultanan Gowa wajib untuk datang menghadiri pertemuan ini. Nampaknya di pertemuan tahun ini akan terlihat dengan gamblang siapa saja yang masih setia pada Gowa.
Karunrung sudah siap dengan pakaian terbaiknya. Ia dan rombongannya, menaiki kuda ras bima yang terkenal karena kecepatan dan juga daya tahannya. Tidak sampai setengah hari rombongan itu hampir sampai di Gerbang Benteng.
Prajurit Gowa yang melihat kedatangannya dari kejauhan, langsung turun dan membukakan Gerbang Benteng. Karunrung dan Malewai langsung turun dari kudanya ketika sudah masuk cukup dalam ke Benteng.
--
Kampung Besar Ujung Pandang, Benteng Ujung Pandang.
"Selamat datang yang mulia, mulai dari sini biar kami pandu dan kuda anda kami rawat di tempat yang aman Tuanku," ucap salah satu Prajurit.
Dengan dikawal oleh puluhan prajurit gowa, Ia dan Malewai yang memang dari awal sengaja tidak mengajak Pengawalnya, mulai masuk ke tempat pertemuan khusus.
Di alun-alun tempat pertemuan, Para bawahan setia Sultan Hasanudin telah berkumpul dan saling berbincang satu dengan yang lain, namun Karunrung memusatkan perhatiannya pada salah satu Bangsawan berkulit gelap dan berambut keriting yang ia terka berasal dari Papua.
"Senang berkenalan denganmu kau berasal dari Papua ya?" ujar Karunrung mengajaknya untuk berjabat tangan.
"Ayah jangan tergesa-gesa menerka. Mungkin saja dia bawahannya Kalamatta," sahut Malewai.
"Bukan Yang Mulia, aku bukan dari Kerajaan Papua tapi aku berasal dari Suku Yolngu. Orang Makassar menyebut Tanahku sebagai Marege (Pesisir Australia Utara). Namaku Djapu Kepala Suku seluruh Klan Yolngu senang bertemu dengan anda," balas Djapu.
"Wah jarang-jarang perwakilan Yolgnu kemari. Namaku Malewai Raja Kerajaan Bugis Sidenreng."
"Ya senang bertemu denganmu Yapu," ucap Karunrung.
"Bukan Yapu tapi Djapu, dj bukan y" - Ketus Djapu
"Iya ayah namanya Yapu." sahut Malewai.
"Kau juga salah Malawi eh... Malewai" balas Djapu.
"Bisa salah juga paman haha,"
"Kalau begitu maaf Ndjapu," sahut Karunrung sembari menepuk pundaknya.
"Ya sudahlah," ketus Djapu semakin tidak bersemangat.
"Kau kesini naik apa? kudengar berlayar di Laut New Holland (nama lain Australia) atau Marege banyak monsternya," tanya Karunrung
"Itu hanya rumor yang dihembuskan oleh orang tidak bertanggung jawab. Aku ke Ujung Pandang menumpang Kapal penangkap teripang. Sejak jaman Pemerintahan Sultan Malikussaid kami Suku Yolngu meminta untuk dijadikan Vassal." jawab Djapu lalu menceritakan kisah dari Kakeknya.
"Berarti kalau kalian minta perlindungan artinya di Selatan ada Kerajaan yang kuat?" tanya Malewai.
"Bukan Kerajaan namun Persekutuan Suku-Suku di Selatan yang iri dengan kami. Mereka memiliki bumerang raksasa, sekali dilempar tidak ada perisai yang mampu menangkisnya meski buatan Gowa sekalipun. Semua berubah sejak berada di bawah naungan Gowa. Tidak pernah ada lagi serangan. Justru Suku kami bertambah kuat dan makmur."
"Bagus kalau begitu, ayo kita lihat-lihat ke dalam. Jangan malu-malu kalian sudah bagian dari kami," ucap Karunrung.
"Yang Mulia engkau tahu ini pertama kalinya aku melihat Tanah Makassar."
Karunrung, Malewai, dan Djapu kemudian masuk ke dalam ruangan. Mereka bertiga duduk di tempat yang paling belakang sembari menunggu yang lain. Masih sedikit para Bangsawan yang sudah berada Ruang Pertemuan.
Beberapa waktu berselang, Tenrilai Arung Matoa Wajo dan anaknya Palili memasuki tempat pertemuan. Mereka berdua langsung duduk di samping Karunrung namun Tenrilai tampak mengacuhkannya dan hanya memperhatikan Palili.
"Ayah bosan di sini, tidak asyik. Ayo kita pulang Ayah!" sahut Palili
"Kurang ajar! kau ini selalu saja manja!" bentak Tenrilai.
"Arung Wajo jangan terlalu kasar terhadap Anak haha," celetuk Karunrung.
"Sialan kau ya bercanda keterlaluan!" bentak Tenrilai.
"Benar kata Paman Karunrung! Ayah terlalu kasar!" sahut Palili.
Brak!
"Aku hanya bercanda bodoh, Wajo tentu butuh generasi penerus yang cakap," ucap Karunrung setelah memukul wajahnya.
"Bagus Karunrung, ajari dia bagaimana Dunia ini bekerja." sahut Tenrilai.
"Jahat! semua orang yang ada di ruangan ini jahat! aku benci Paman Karunrung!" teriak Palili langsung berdiri sambil memegangi hidungnya yang berdarah.
"Duduklah Nak! Sultan telah datang," sahut Djapu.
Beberapa saat kemudian, Abdi-Abdi tingkat tinggi Gowa telah memasuki ruangan. Sultan Hasanudin telah memakai pakaian kebesaran Kesultanan Gowa dengan lompoa atau mahkota di kepalanya.
Di sarungnya terdapat Keris Pusaka Lambalima Lagowarie yang melambangkan Kejayaan Kesultanan Gowa. Sultan itu berjalan penuh wibawa menuju Singgasananya. Karaeng Sumanna selaku Tumabicara (Penasihat) kemudian membuka Pertemuan.
"Bismillahirahmanirahim, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." salam pembukaan dari Karaeng Sumanna.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." serempak jawab para hadirin.
"Audzubillahi mina syaitani rajim, bismillahirahmanirahim. Ya ayyuhalladzi na amanu taqullah ha haqa tuqatihi, wa la tamutunna illa wa antum muslimun. Surat Al-Imran ayat 102 artinya, wahai orang-orang yamg beriman bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kecuali dalam keadaan beragama Islam."
--
"Bisa dilanjutkan Tumabicara," ujar Sultan Hasanudin.
"Baik Yang Mulia pada pertemuan kali ini, kami berharap setiap daerah yang sudah terikat perjanjian dengan Gowa hadir di pertemuan ini. Baik kita akan membahas masalah dasar terlebih dahulu yaitu Ekonomi ada yang ingin menyampaikan pendapat?" tanya Sumanna.
"Sebentar Tumabicara, ada Tamu Khusus dari Tanah Marege, untuk Djapu Ketua Suku Yolngu silahkan berdiri," sahut Sultan.
"Daulat Tuanku," jawab Djapu langsung berdiri.
"Sekarang perkenalkan dirimu,"
"Namaku Djapu, aku berasal dari Tanah Marege. Sekaligus yang menangani urusan Gowa di sana."
"Berarti kau adalah Raja Marege?" tanya Raja Balanipa Mandar, Daeng Mallari.
"Ah bukan, Aku Kepala Suku Yolngu salah satu suku yang tunduk pada Gowa. Sudah cukup Yang mulia bolehkah diperkenankan untuk duduk."
"Silahkan, Tumabicara lanjutkan pembahasan kita."
"Baik, ada yang mau memberi usulan atau laporan. Seperti yang kalian ketahui perbendaharaan Kesultanan akhir-akhir ini sedang menurun tajam dan perdagangan juga terhambat. Tidak usah disebutkan secara rinci kalian disini pasti sudah paham mengapa Pasar Raya di Kota-Kota besar kalian sepi."
"Yang Mulia, Bagaimana kita berdamai dengan Belanda kita jalankan saja perjanjian yang sudah kita buat di Benteng Panakkukang. Tidak ada ruginya mengusir orang Portugis, Tolong pertimbangkan Sultan. Demi kemakmuran rakyat kita, hamba mengatakan ini juga atas usul saudara hamba yang merupakan bangsawan Turatea yang izin tak bisa hadir pada pertemuan tahun ini." Karaeng Bangkala, salah satu petinggi Gowa menangkat tangannya.
"Turatea lagi, Turatea lagi, Kerajaan itu lancang jaraknya dekat namun sudah 2 tahun tidak ikut pertemuan," spontan sahut Karunrung.
"Kau yang lancang dari dulu mulutmu itu tidak pernah dicuci," balas Bangkala.
"Kemudian apa maksudmu mengusulkan usulan bodoh itu? Bangkala aku beri saran kalau kau mau tahu cara meningkatkan ekonomi dengan cepat dan tepat, datang saja ke Perpustakaan Ayahku."
"Si otak udang sudah berbicara rupanya, tidak perlu merasa paling hebat Karunrung. Kau saja tidak bisa mengalahkan 2600 Tentara Belanda dengan 5000 Tentara kita. Bergaya paling tahu strategi militer padahal kalah di Perang Panakkukang." sahut Karaeng Laiya, salah satu Petinggi Gowa.
"Oh dan jangan lupa Laiya, karena dia si pengkhianat Gowa itu memberontak. Katanya Buruh murah untuk proyek memperkuat benteng, Tapi nyatanya karena dia si Palakka memberontak! Dia yang paling sering mengejek orang Bone dan Soppeng di antara kita. Itulah mengapa kita semua harus ikut terseret masalah yang ia buat!" sahut Bangkala berani meninggikan suaranya.
"Haha benar, Perdana Mentri tidak berguna!" balas Laiya tertawa terbahak-bahak terbawa suasana.
"Laiya! Karunrung! Bangkala! jaga tingkah laku kalian," sahut Sultan.
"Baik yang mulia!" serempak jawab mereka bertiga.
Namun tetap saja Karunrung memandangi Laiya dan Bangkala dengan benci. Ia berusaha untuk tenang meskipun dalam dadanya berkobar amarah yang luar biasa kepada dua bangsawan itu.
Pembahasan terus berlangsung, satu persatu usul dan saran diterima oleh Sultan Hasanudin tentang Masalah Ekonomi dan Perdagangan. Sumanna menulis semua usulan itu dalam tulisan lontara yang nanti akan dipilah oleh Sultan Hasanudin sebagai bahan pertimbangan.
Hinggan tiba gilirannya untuk membahas masalah militer. Sultan Hasanudin menyerahkan masalah militer ini kepada Karaeng Karunrung karena memang di antara bawahannya, Mangkubumi Gowa yang paling ahli masalah ini.
"Usul yang mulia, jangan tunjuk Karunrung" sahut Laiya.
"Kau berani menentangku? Laiya?" tanya Sultan Hasanudin seraya meletakkan lompoanya.
"Tapi yang mulia, Karunrung itu tidak terlalu bijak. Benar apa kata Bangkala, kenapa kita harus mempercayakam urusan militer kepadanya. Apa Kesultanan ini kekurangan orang cerdas? Karaeng Bontomarannu atau Daeng Bontosunggu lebih pantas untuk membahas masalah ini. Sultan tolong pertimbangkan lagi, masih banyak bangsawan yang lebih bijaksana daripada dirinya." sahut Laiya.
"Aku tahu dia orang yang mudah emosian, itulah kenapa aku hanya menjadikannya sebagai Mangkubumi. Aku tidak jadikan ia sekaligus sebagai Tumabicara, meskipun menyalahi adat turun temurun. Sumanna yang memegang posisi itu."
"Karena itulah Bontomarannu juga hadir dalam pertemuan ini. Aku mohon Yang Mulia kita mintai saja pendapatnya."
"Laiya dari awal kau jelas-jelas tidak suka dengan keputusanku. Kau ini ada di pihak siapa sebenarnya, bertahun-tahun selalu saja seperti ini. Apa sekarang kau bersekongkol dengan Kesultanan Buton itu?"
"Tidak yang mulia aku hanya setia saja pada Kesultanan Gowa."
"Di mana kesetianmu? meragukan kemampuan militer Karunrung yang sudah terbukti di medan laga. Memangnya kau bisa apa? bahkan kedua orang itu yang kau sebutkan mengakui kemampuannya di atas mereka. Kalau bukan karena dia mungkin Istana ini sudah dihancurkan oleh Belanda!"
"Tapi Yang Mulia..."
"Siapa yang menyuruhmu bicara Laiya? kemana kalian berdua pergi saat Perang Panakkukang berkecamuk. Setelah apa yang Mangkubumi lakukan, kau masih meragukannya? sudahlah aku sudah muak dengan kalian yang tidak berguna itu! Laiya dan Bangkala keluar kalian!"
Setelah mendengar perkataan dari Sang Sultan, Laiya dan Bangkala merasa sakit hati dan langsung pulang ke kediaman masing-masing. Sementara Karunrung tersenyum puas melihat kesialan mereka berdua.