webnovel

(Bekas) Kapal Minyak Langkat

Geladak Kapal Minyak, Laut Selat Malaka , 1942

Kapal laut milik pemerintah Jepang yang mengangkut minyak milik kesultanan Langkat dan Jepang mengarungi laut selat Malaka. Selain mengangkut minyak, kapal laut ini juga mengangkut barang-barang. Beberapa anak buah kapal (ABK) yang sedang berada di tempat penyimpanan barang heran mendengar gedoran dari dalam sebuah peti kemas kayu, mereka mendekati sumber suara.

"Suare ape ni?" tanya seorang ABK.

"Binatang nampaknye," sahut ABK lain.

Duk! Duk! Duk!

"Ha, bunyi lagi. Siape pulak yang mengirim binatang ke dalam peti?" tanya ABK lainnya lagi.

Seorang ABK balas memukul peti. Duk! Duk! Duk!

"Buka kotak kayu ini! Jangan jadi pengecut!" teriak Irwansyah dari dalam peti.

Para ABK terkejut.

"Ade manusie di dalam peti," ujar seorang ABK pada teman-temannya.

"Hoy, siape, kau? Kenape bisa ade di dalam?" teriak seorang ABK lain.

Irwansyah heran pada pertanyaan ABK itu, ia mengira masih di darat bersama Syam dan anak-anak buahnya.

Irwanysah yang memang baru siuman mencoba mencari tahu keberadaannya. Ia merasakan bumi seolah bergoyang, mencium aroma besi yang terendam air laut dan mendengar suara mesin. Sepertinya aku sedang berada di kapal laut.

Duk! Duk! Duk! Irwansyah kembali memukul kayu yang mengurungnya. "Keluarkan aku!"

"Jawab dulu, siape dirimu!" pinta seorang ABK.

"Aku orang Langkat! Siapa kalian?!" teriak Irwansyah.

"Orang Langkat katanye. Bukelah peti ni! Mungkin kau memang mengenalnye," saran seorang ABK pada ABK lain yang berasal dari Langkat.

Irwansyah mendengar percakapan mereka, Walau ragu sudah berada di tempat yang aman, ia berharap orang itu mau mengeluarkannya jika ia menyebut namanya.

"Namaku Irwansyah!"

Para ABK terkejut. Mereka sangat mengenali nama itu.

"Ape ini, Bang Irwan dari kesultanan Langkat?" tanya ABK dari Langkat.

"Betul! Aku Irwansyah yang sedang menumpang di rumah Tengku sani!" teriak Irwansyah.

ABK dari Langkat segera mengungkit peti kemas kayu dengan linggis, Irwansyah berhasil keluar dari peti.

"Betul-betul rupanye, Bang Irwan," ujar ABK dari Langkat sambil mencium tangan Irwansyah.

"Terima kasih atas pertolonganmu," ujar Irwansyah.

Para ABK lain masih tampak heran melihat sosok yang namanya sering mereka dengar bisa terkurung di dalam peti kemas kayu. Mereka memandangi kepala dan baju Irwansyah yang penuh noda darah yang sudah mengering.

"Kalau Abang tak silap, apakah kau adeknye Rahman?" tanya Irwansyah pada ABK yang menolongnya.

"Betul, Bang. Nameku Rohim," sahut Rohim.

"Rohim, ape kau ni anak buah Syam?"

"Syam? Manusie yang kate Bang Rahman pengkhianat tu, kah?" tanya Rohim.

"Oh, alhamdulillah kau bukan anak buahnye. Betul Syam si pengkhianat. Kau tahu di mane die?" tanya Irwansyah.

"Kalau die ade di kapal ni, dah awak campakkan ke laut. Kenape Bang Irwan bise ade di dalam peti dan terluke?" tanya Rohim.

"Terakhir kali yang Abang ingat, Abang berkelahi dengan anak-anak buah Syam, kemudian seorang dari mereke memukul kepala Abang dengan batu, tibe-tibe Abang dah di dalam peti," jawab Irwansyah.

"Oh, nampaknye Syam nak menjauhkan Abang dari Sumatera," ujar Rohim.

"Nak kemane rupanye kapal ni menuju?"

"Ke pelabuhan Tanjung Periok di Jakarta, Bang. Beberape saat lagi kite akan berade di sekitar Temasek(79)," sahut Rohim.

"Astaghfirullahaladzim! Kapal ni nak ke Jakarta. Siape nakhode kapal ni?"

"Bang Asrul," jawab Rohim.

"Asrul anaknye Wak Uncu Rusli?"

"Betul, Bang." jawab Rohim.

*****

Anjungan, Kapal Minyak

"Ngeri kali ceritamu, Wan! Lalu, tak jadilah kau menikah dengan Farisya besok? Sedih betul nasibmu, tak selesai-selesai kau jadi bujang lapuk, hahaha!" canda Asrul, nakhoda kapal ini.

"Ape mau dikate, Rul? Semue dan tertulis di lauhul mahfudz. Kupikir nak menikah besok, ternyate masih panjang masa lajangku. Kupikir dah dijemput maut, ternyate masih berdetak jantungku. Ble nak mencari salah, kaulah! Siape yang sekarang membaweku kembali jauh merantau?" canda Irwansyah.

Asrul tertawa. "Lame tak jumpe sejak lulus dari sekolah, tiba-tiba kau berondok pulak di kapalku. Kau ni orang penting di kesultanan Langkat, Wan. Kapanpun kau mau, kau bise naik kapal ni. Kenape pulak harus menunggu aku yang mengantar bile ingin merasakan naik kapal ni?"

Irwansyah tersenyum sambil memandangi suasana anjungan kapal ini. "Ini memang bukan sembarang kapal, Rul. Hanye nakhode terbaik yang boleh membawenye. Kapal minyakmu ni dah kukenal sejak kecil. Atuk kandungku dari Secanggang pernah membaweku naik sampan ke tengah laut, beliau bilang bahwe suatu saat aku boleh naik kapal minyak kesultanan Langkat ni. Rupanye, kau lah yang membuat ucapan Atukku terbukti. Sejak kapan kau membawe kapal ni, Rul?"

"Sejak masih ade due bendere berkibar di atas kapal ni, bendera Belande dan bendere Kesultanan Langkat. Kini hanye ade satu bendere Jepang yang bise kau tengok. Dulu, aku bangge menjadi nakhoda kapal ni, karena Sultan memperlakukanku bagai pejabat penting. Sekarang, Jepang memperlakukanku tak lebih dari seorang tukang angkut barang. Sudah upahku dipangkasnye macam rambut tentare berpangkat kecil, care menyuruhnye pun sepele kali, macam cume membawe pisang ke atas pedati. Padahal jike minyak ni ku bawe lari, biselah aku membangun rumah macam istane Maimun, hehe"

"Tapi habis tu, kau pun digantung di halaman istanemu. Baguslah, Rul, belum pernah ade istane dengan pemandangan pemiliknye tergantung."

"Cacing kapang kau! Hahaha! Eh, Wan, ape kau tak heran, kenape Syam membawemu ke kapal ni?"

"Syam nak menyenangkan hati sahabatnye. Dibuatnye awak jalan-jalan, urusan negeri biar die saje yang urus."

Asrul tertawa. "Rayap pulak yang nak mengurus rumah kayu."

"Itulah, tapi ape dayeku, Rul. Cepat pulak musuhku mengubah siasatnye. Die tahu, kalau aku tetap berade di kampung kite, mau dalam keadaan mati atau hidup, die tak kan selamat. Satu-satunye care adalah membiarkan aku hidup, lalu merusak kepercayaan Jepang padaku."

"Tak semudah itulah, Syam bise merusak kepercayaan Jepang padamu."

"Mudah, Rul. Syam punye banyak orang yang telanjur kutempatkan pade kantor pemerintahan Jepang. Ape sulitnye mereke menyebar fitnah?"

"Fitnah ape yang bise membuat Jepang percaye?"

"Karene aku tak ade, apepun mudah jadi fitnah. Syam bise pilih kejahatan mane yang paling masuk akal. Setelah mereke buat, hembuskanlah namaku sebagai pelakunye. Lalu bilanglah, Irwansyah melarikan diri dengan kapal ni karene kejahatannye. Bile tak percaye, tengoklah nanti saat kapal merapat."

"Masuk akal pulak, Wan."

"Berape hari kapal ni akan tibe di Jakarta?"

"Karene berangkat malam, biasanye 3 hari, empat malam."

"Syam punye waktu sempit. Tapi, jike die berhasil, saat kapal ni tibe di Jakarta, Jepang akan mencari sekaligus menangkapku jike aku ditemukan."

"Ape perlu kubawe kapal ni pulang, agar kau bise menjelaskan langsung pade pemerintah Jepang di Medan?"

"Saat ni minyak sangat penting untuk perang dan bise jadi penentu kemenangan. Aku tak mau Jepang memenggal kepalemu, Rul. Nanti biar aku saje yang melompat dari kapal, tapi ... ternyata itupun percume bile ade anak buahmu yang bicare."

Asrul menghela nafas berat, "Soal orang-orang di kapal ni, tak usah kuatir, semue pasti setie padaku. Lalu, bagaimane caremu untuk segere pulang dan membersihkan namamu?"

"Itu biar aku pikirkan nanti, setidaknye bile aku tak ade di kapalmu, Jepang juge jadi tidak percaye pade Syam dan kelompoknye."

"Kau bise pulang naik kapal ni saat jadwalku kembali dari Surabaye. Nanti kucatat jadwal perjalanan kapalku untukmu."

"Terimekasih, Rul. Nah, bile hampir sampai, nanti kau bilang di mane sebaiknye aku melompat agar tak nampak?"

"Seberape jauh kau mampu berenang, Wan?"

"Eh, anggap enteng betul. Awak ni keturunan nelayan, Rul," canda Irwansyah.

"Kalau kau keturunan ikan hiu, barulah aku tak anggap enteng. Aku sedang sedih, ngajak bercande pule."

"Justru aku sedang butuh Asrul yang tak pernah bersedih. Soal berenang, asal masih nampak jelas pulau, Insya Allah aku bise menjangkaunye."

"Kapal akan tibe di dekat pesisir pade malam hari. Begitu dah nampak lampu-lampu, ape kau sanggup melompat?"

"Insya Allah sanggup, Rul."

*****

Medan - Langkat

Kabar Irwansyah melarikan diri menggunakan kapal minyak telah sampai ke Shinichi Hayasaki, begitu pula dengan desas-desus keterlibatan Irwansyah dalam tewasnya seorang tentara Jepang, dengan bukti pistol milik Irwansyah yang ditemukan di dekat mayat korban. Kasus ini membuat Shinichi menghentikan kegiatan latihan militer para pemuda di Langkat.

Burhan juga telah memberikan laporan yang dititipkan Irwansyah kepada Shinichi. Akibatnya Syam dan anak-anak buahnya yang namanya tertulis dalam laporan menjadi buronan pemerintah Jepang, sayangnya nama Yunus dan beberapa anak buah Syam yang lain masih bersih, sehingga mereka masih bisa bercokol di kantor pemerintahan Jepang dan menjadi mata dan telinga Syam.

Shinichi pun segera menghubungi Yano Kenzo untuk meminta pendapatnya. Menurut surat Yano Kenzo, selama Irwansyah tidak bisa dihadirkan dalam persidangan dan dinyatakan bersalah, maka status Irwansyah masih tetap sebagai utusan Yano Kenzo.

Tengku Farisya dan orang-orang yang dekat dengan Irwansyah belum tahu kabar Irwansyah, tetapi mereka yakin Syam dan kelompoknya terlibat atas hilangnya Irwansyah.

*****

Anjungan, Kapal Minyak

Irwansyah dan Asrul ngobrol sambil menikmati suasana senja. Malam nanti kapal minyak Asrul akan sampai di Jakarta.

"Wan, kau pasti tak bawe bekal apepun. Nanti kau kuberi uang, sampai di Jakarta, kau datangi Asril. Nanti kuberi alamatnye."

"Semoga Allah membalas kebaikanmu, Rul. Oh, kembaranmu Asril ade di Jakarta rupanye. Ape yang sedang die buat?"

"Berdaganglah, itu yang die pandai! Selain itu, die pun aktif ikut organisasi."

"Organisasi ape, Rul?"

"Partai Syarikat Islam Indonesia. Kau kan tahu, dari dulu Asril tekun pade agame, samalah seperti dirimu dan Sani. Katanye, sambil berdagang die nak membele agame. Entah ape yang nak die bele? Kubilang padenye, lebih bagus kau fokus berdagang, bile kaye, bangun masjid banyak-banyak, selesai!"

Irwansyah tertawa. "Kau ni, orang dah bagus nak bele agame dengan caranye, kau pakse pulak mengikuti gaye kau. Memang enak betul jadi kau, Rul. Sejak dulu, tak ade persoalan yang bise mengganggu pikiranmu."

"Itulah sedapnye jadi orang yang tak pandai! Semakin pandai manusie, semakin banyak persoalan yang ingin die selesaikan. Asril itu same sepertimu, nak merdeke saje di kepalanye! Entah ape pentingnye merdeke?"

"Eh, pentinglah, Rul. Merdeke membuat kite tak lagi terjajah."

"Ape bedenye merdeke dengan terjajah? Mau kesultanan, Belande, Jepang atau pemimpin perjuangan kelian, bagiku same saje, hanye soal berganti penguase. Ujung-ujungnye orang-orang biase cam aku, cuma dapat bagian tunduk pade penguase."

"Tapi kan, kite yang merasakan derite, bile dipimpin penguase zolim."

"Ha, itulah! Sepanjang tak zolim, aku tak peduli siape yang berkuase. Ape kau berani menjamin, para pejuang seperti kelian tu tak zolim bile berkuase?"

"Kalau soal tu, wallahualam lah, tapi setidaknye penjajah tu dah jelas zolim, mereke tlah merebut hak milik kite."

"Ah, mungkin maksudmu merebut hak penguase sebelumnye, hehe, ape yang bise direbut dari orang-orang macam aku, Wan?"

"Adalah, Rul. Semisal kite orang tak punye, penjajah masih bise merampas kebebasan kite bicare dan bertindak, Rul."

"Ah, kau ni. Semue penguase pasti same. Bile kau dah menyinggung dan mengganggu urusannye, mane ade cerite lagi soal kebebasan, Wan."

"Mungkin ade betulnya, tapi dengan merdeke kite bise menentukan nasib sendiri, Rul. Kite bise memilih pemimpin bangse yang bise membawe rakyatnye menjadi makmur."

Asrul tertawa. "Cerite tentang nasib pulak kau. Ape yang nak diharap dari pemimpin? Dari jaman dulu pun, memang kite sendiri yang menentukan. Lagi pule, tak mungkinlah pemimpin membuat semue rakyat menjadi makmur. Nanti siape pulak yang mau menanam padi, mencari ikan, memecah batu. Yang nyate-nyate sajalah, Wan."

Irwansyah tertawa. "Menurutmu seperti ape ape yang nyate?"

"Seperti yang bise kite tengoklah. Si Dogol yang putus sekolah karene tak pandai, jadi menyorong becak. Si Togap yang suke bertumbuk, jadi pengutip pedagang. Si Bodong yang sejak kecil suke mencuri, jadi pencopet. Si Mumun yang suke bergincu dan melenggak-lenggok, jadi istri simpanan. Mau besok merdeke pun, hidup ni tergantung kite masing-masing. Terus terang aku bingung pade pejuang seperti kelian. Ape betul kelian tu sedang membele kami? Jangan-jangan, hanye supaye kalian bise jadi penguase."

Irwansyah hanya bisa tersenyum. Menurutnya lebih sulit berdebat dengan orang jujur yang bicara dengan hati, ketimbang menghadapi orang berilmu yang bicara dengan nafsu keinginan.

Asrul kembali memegang kendali kapal dengan wajah tanpa beban, sementara Irwansyah memandangi laut dengan wajah banyak beban.

*****

Catatan Kaki

79. Sekarang Singapura.

Bab berikutnya