webnovel

Chapter 15 : Ping-Pong

Lareina mengencangkan ikat rambutnya dan merapihkan jaket merah putih kesayangannya. Gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghebuskannya perlahan dan membuka pintu kelas dengan tangannya yang bergetar.

Sosok wanita paruh baya yang menggunakan seragam dinas cokelat menyambutnya dengan ramah, "Lareina? Sini duduk ambil rapor kamu."

Lareina pun duduk di kursi yang berhadapan dengan wanita paruh baya tersebut. Perasaan gugup itu tidak bisa mereda dan terus membuat gadis itu mengeluarkan keringat. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mengambil rapor tanpa ditemani oleh orang tuanya.

"Degdegan, ya? Tenang, Kamu masih ranking satu kok. Nilai kamu gak turun dan malah naik. Selamat, ya, Lareina. Bisa membanggakan sekolah dan negara," ujar wanita paruh baya yang ternyata merupakan wali kelas Lareina.

Lareina mengambil rapor tersebut dengan kedua tangannya, "Terima kasih, Bu. Kalau gitu, Lareina izin pamit soalnya masih ada latihan untuk sore ini," ucap Lareina lalu keluar dari kelas dengan perasaan lega.

Gadis itu tersenyum melihat rapornya yang menunjukkan nilai yang sangat memuaskan. Lareina lalu mengamati sekolahnya yang besar dan dipenuhi dengan murid-murid yang juga sedang memegang rapor. Namun, pengamatannya itu terhenti ketika ia melihat sosok pria menggunakan seragam sekolah seperti biasa dan membawa beberapa buku ditangannya.

Satu kata yang dapat menjelaskan sosok yang Lareina lihat, tampan. Selama ia bersekolah, ia tidak pernah menyadari bahwa ada murid pria yang sangat tampan hingga menarik perhatiannya seperti pria yang sedang berjalan dihadapannya ini.

Lareina yang seperti tersihir oleh ketampanan pria itu tanpa sadar telah melangkahkan kakinya untuk mengikuti pria tersebut. Langkah kakinya membawa ia ke perpustakaan sekolah. Tanpa ragu-ragu, Lareina bergegas masuk agar tidak kehilangan jejak pria tersebut.

"Dek, isi daftar pengunjung dulu," ucap penjaga perpustakaan yang membuat Lareina menoleh.

Gadis menuliskan namanya tepat di bawah nama seseorang pria bernama Arkana Sean Kavindra. Lareina mengembangkan senyumnya ketika melihat nama itu, yang ternyata merupakan nama pria yang berhasil membawa ia ke perpustakaan tanpa sadar.

Pandangannya terpaku pada seseorang dengan tinggi setidaknya lebih dari 180 cm yang sedang meletakkan buku di rak tinggi tanpa memperlukan alat bantu tangga. Lareina mengendap-endap untuk mendekatkan dirinya kepada pria bernama Sean itu. Setelah dirasa sudah berada di posisi yang aman, Lareina pun berdiam dan memperhatikan Sean dari samping.

Sean yang sepertinya sadar akan pasangan mata yang terus menatapnya itu menoleh ke arah kanan dan melihat Lareina yang sedang bertopang dagu sembari memperhatikan Sean. Lareina yang tertangkap basah pun terkejut dan memejamkan matanya karena malu.

Kring…kring….kring….

Lareina membuka matanya dan terbangun dari tidurnya karena dikejutkan oleh suara kencang dari alarm. Dalam keadaan setengah sadar, Lareina memperhatikan sekelilingnya dan betapa leganya ketika ia mendapati dirinya masih berada di kamar tidurnya, bukan di perpustakaan. Ia bingung kemana harus ia membuang mukanya apabila ketahuan mengikuti Sean diam-diam.

Untuk seseorang yang jarang sekali bermimpi, Lareina merasa mimpinya itu terlalu jelas. Ia dapat mengingat semua adegan yang terjadi di mimpi itu. Gadis itu berpikir bahwa ia terlalu serius saat membaca buku harian tadi malam hingga pertemuan pertama Lareina dan Sean itu muncul dimimpinya.

Iya, seperti yang ada di dalam mimpi itu lah pertemuan pertama mereka dan alasan Lareina menyukai Sean yang tertulis dalam buku buku hariannya. Lareina berpikir bahwa keterampilan berimajinasinya sangat baik sehingga ia dapat menggambarkan situasi dalam buku harian itu dengan jelas dimimpinya.

Ada sedikit keanehan dalam mimpi itu. Ia melihat sosok dirinya menggunakan jaket merah-putih dengan lambang burung garuda, jaket yang biasa digunakannya saat masih menjadi atlet nasional. Namun, Lareina tidak berpikir panjang mengenai hal tersebut, mungkin saja imajinasinya tercampur atau entah bagaimana. Ia tidak akan bisa dan tidak perlu juga mengatur mimpinya.

"Anak-anak, kumpul dulu sini!" teriak Pak Johan, guru olahraga.

Semua murid kelas 12-A mengikuti perintah Pak Johan dan berdiri berbaris di tengah lapangan. Mata pelajaran Kedua hari ini adalah pelajaran Olahraga.

"Seperti biasa, kita pemanasan dulu, terus lari empat keliling, paham?" ujar Pak Johan yang dibalas secara serempak oleh murid kelas 12-A dengan teriakan 'paham'.

Pemanasan dimulai dengan Darrel, selaku seksi olahraga, mencontohkan berbagai gerakan pemanasan yang dilakukan. Setelah selesai melakukan pemanasan, semua murid berbaris memanjang dan mulai berlari mengelilingi lapangan.

Lareina sudah melatih untuk menguatkan fisiknya setidaknya selama seminggu, namun hasilnya nihil. Lareina hampir mati kehabisan nafas ketika ia menyelesaikan putaran ke empat.

Lareina, Moezza, dan Cherryl mendudukan diri mereka sembarangan ketika menyelesaikan putaran ke empat. Lareina dengan sigap meluruskan kakinya untuk merelakskan ototnya, begitupula dengan Moezza. Namun, Lareina yang melihat Cherryl duduk dengan kaki terlipat dengan refleks menepuk kaki temannya itu.

"Lurusin, kalo gak mau keram," ujar Lareina membuat Cherryl dengan sigap meluruskan kakinya.

Pak Johan yang sedang berdiri dibelakang mereka pun mengacungi jempol pada Lareina, "Betul kata Lareina. Bagus, kamu ngingetin temenmu."

Kemudian Pak Johan menepuk tangannya untuk mendapatkan perhatian dari murid-murid kelas 12-A dan meminta mereka untuk kembali berkumpul di tempat ia berdiri sekarang. Pak Johan menjelaskan bahwa materi pertama yang akan dipelajari adalah materi bola kecil. Untuk minggu ini khususnya, mereka akan mempelajari tenis meja atau pingpong.

Pak Johan dan para murid kelas 12-A pun berpindah dari lapangan menuju ke sebuah kelas kosong tempat mereka akan melaksanakan semua cabang olahraga yang dapat dilakukan di dalam ruangan.

"Anak-anak, kali ini kita akan mempelajari tenis meja. Abis Bapak menjelaskan sebentar mengenai materinya, kalian boleh langsung latihan bareng. Bapak kasih waktu 20 menit untuk latihan, sisanya kita coba buat tanding seru-seruan aja, gimana?" tawar Pak Johan ketika melihat para muridnya sudah bersemangat bahkan ada yang sudah memegang bet, raket yang digunakan untuk bermain tenis meja.

"Setuju!" balas murid-murid 12–A lalu dilanjut dengan penjelasan dari Pak Johan mengenai materi tenis meja.

Lareina tersenyum melihat peralatan tenis meja yang ada dihadapannya. Meskipun Lareina merupakan atlet senam ritmik, gadis itu memiliki hobi untuk menekuni cabang olahraga lain. Tenis meja adalah salah satunya. Keterampilan Lareina dalam bermain tenis meja tidak perlu diragukan karena ia sendiri sering bermain dengan para atlet tenis meja.

Selesai mendengar penjelasan dari Pak Johan, Lareina menarik Moezza ke meja tenis yang berada pojok ruangan. "Lo bisa mainnya gak?" tanya Lareina.

"Bisa sih. Gak jago-jago banget tapi," balas Moezza sembari mengambil bet yang ada di atas meja tenis tersebut.

"Ayo main."

Moezza tertegun ketika menyaksikan Lareina yang mendapatkan 11 poin dan memenangkan permainan dengan mudah dan cepat.

"Rei, bukannya lo gak suka olahraga? Kok tiba-tiba jago?" tanya Moezza tidak terima, sedangkan Lareina hanya tersenyum puas.

"Anak-anak, sudah 20 menit, sini ngumpul!" teriak Pak Johan. "Sekarang berarti waktunya tanding. Untuk menghemat waktu, gender gak dipisah. Jadi anak perempuan bisa aja tanding sama anak cowo. Ayo mulai!"

Lareina mengajukan diri untuk menjadi peserta pertama dalam pertandingan. Radithya pun ikut mengajukan diri karena ingin melawan sepupunya itu.

"Kalau kalah, jangan nangis ya," canda Radithya yang dibalas dengan tatapan tajam Lareina.

Lareina memenangkan pertandingan tenis meja ini. Ekspresi yang dikeluarkan oleh Radithya sama persis dengan ekspresi Moezza ketika kalah dari Lareina.

"Kok bisa? Curang ya lo?" tanya Radithya yang masih terkejut.

"Bacot," balas Lareina lalu tersenyum sinis, "Next!"

Pertandingkan kembali berlanjut. Selama kurang lebih satu jam, Lareina telah bertanding tenis meja dengan setidaknya 20 murid kelas 12-A. Gadis itu terus bermain karena ialah yang terus memenangkan pertandingan. Teman-temannya bahkan Pak Johan pun tidak paham bagaimana seorang murid kutu buku yang tidak begitu menyukai olahraga dapat memenangkan pertandingan dengan mudah.

Pada ronde atau pertandingan akhir, Sean lah yang maju untuk melawannya. Gadis itu tanpa sadar tersenyum ketika melihat lawannya yang sedang bersiap.

"Kalo cuma tanding doang, bosen gak sih? Taruhan gimana? Yang kalah, traktir yang menang. Boleh taruhan, kan, Pak?" saran Lareina yang tentu saja ia lakukan karena Sean adalah lawannya.

Pak Johan memikirkan hal tersebut lalu menjawab, "Kalau buat seru-seruan boleh aja. Yang penting kedua pihak setuju. Asal bukan Bapak yang bayar, ya, gak apa-apa hehe," ujar Pak Johan menyetujui.

Lareina menatap Sean dengan tatapan penuh harap yang jarang sekali ia lakukan, kecuali saat sedang berakting dalam sebuah film. Teman-teman kelasnya pun menyorakkinya agar segera setuju dengan pertaruhan tersebut yang membuat Sean mau tidak mau mengangguk setuju.

Pertandingan kali ini berbeda karena kemampuan bermain tenis meja Sean tidak bisa dikatakan buruk. Namun, pertandingan sengit ini akhirnya tetap dimenangkan oleh Lareina. Meskipun, skor mereka hanya memiliki perbedaan satu poin.

Lareina menuju ke arah lawan bermainnya dan mengulurkan tanggannya. Sean yang melihat adegan itu memiringkan kepalanya, menanyakan maksud dari Lareina.

"Jabat tangan lah. Mau menang atau kalah, harus diterima. Simbol menghargai lawan," jelas Lareina.

Sean tersenyum kecil lalu menjabat tangan Lareina, "Hari ini lo ada kegiatan gak? Gue traktir pulang sekolah."

Lareina menggeleng sembari melepaskan jabatan tangan mereka, "Hari gue gak bisa. Pokoknya hari sekolah gak bisa. Harus weekend, gue harus make up dulu soalnya kalo mau pergi," balas Lareina lalu pergi karena bel istirahat telah berbunyi.

Bab berikutnya