webnovel

Berdamai

"Apa yang kau ketahui tentang pilar harimau?"

"Aku tidak tahu aku hanya melayani si nomor 2, namanya Okta, aku juga dengar ada pilar perempuan tapi aku juga tidak mengetahui tentang itu. Yang memukuliku adalah Valen, dia adalah anggota yang suka adu domba. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa mendapat informasi sebanyak itu. Dia bawahan para pilar namun dia paling dekat dengan Kak Okta. Semua urusan pekerjaan kotor adalah Valen."

"Jadi Amy mengetahui tentang dirimu yang sebenarnya saat itu?"

"Tidak tahu. Dia tidak tahu. Kami bertemu saat naik kereta api. Tapi dia lari, kemudian paginya aku sengaja dipindahkan ke sekolah yang sama dengannya oleh Valen. Aku mengira Amy benci padaku ternyata sebaliknya, dia sangat merindukanku, karena itulah ia lari. Bodohnya aku yang lamban memahaminya. Jadi itulah yang membuatku hilang kendali di ruang uks. Aku benar benar…." Alfa memegang kepalanya dan menarik rambutnya. Matanya berkaca kaca.

Taka memegang pergelangan tangannya. "Hentikan. Semua itu sudah berlalu. Kau dan Amy saling membutuhkan. Jadi jangan bodoh dengan menyakiti diri sendiri. Kau paham?"

Alfa berkaca kaca ketika mengingatnya kembali.

"Maaf, Kak. Aku hanya ingin melupakan kenangan buruk sekaligus memalukan itu."

"Jangan membuangnya."

"Eh?"

"Teruslah ingat, dan jadikan alasan kenapa kau harus melindungi dirimu sendiri dan melindungi orang yang kau sayangi."

"Kalau begitu…" Taka berdiri dari kursinya. "Kita lanjutkan saja cerita tentang si nomor 2 nya besok."

Alfa mendongak menatapnya.

"Aku pasti akan lega kalau mereka menyayangimu layaknya keluarga yang sesungguhnya, tapi aku tidak memaafkan mereka jika hanya memanfaatkan perasaanmu dan membuatnya seolah olah kalian adalah keluarga. Kau tahu maksudku kan?"

"Kak Taka…"

"Pulanglah. Aku harus menemui seseorang."

Taka tersenyum, ia lalu menuju kasir dan membayar tagihan kopi miliknya dan Alfa, kemudian melambai ke arah Alfa.

"Pulanglah," kata Taka tanpa bersuara, karena ia sudah berdiri di ambang pintu.

Alfa hanya mengangguk dan memberi tanda dengan jari jempolnya.

Setelah Taka benar benar meninggalkan kafe, Alfa masih duduk di sana. Ia menatap kopi di hadapannya dan melamun.

"Lain kali aku harus menceritakannya tanpa harus emosional. Kak Taka benar, itu semua sudah masa lalu, aku yang sekarang adalah Alfa yang berharga yang harus melindungi semua orang dan juga diriku sendiri," batinnya.

Sesaat kemudian ia akhirnya tersenyum ikhlas dan meminum minumannya dengan lega.

"Kak Taka pasti sengaja memberiku waktu."

Sementara itu Taka keluar dari kafe, ia berjalan santai sembari menghubungi seseorang.

"Ayo bicara," kata Taka.

"Sekarang?"

"Kau di kantor?"

"Aku akan datang satu jam lagi."

"Aku tunggu di bar."

Satu jam kemudian, mereka berdua telah berada di bar dan tengah membahas kelanjutan misi. Terutama mengenai Arvy, cucu satu satunya keluarga Satria.

"Kau sudah berbicara dengan Alfa?" tanya Holan.

"Sudah, dia sepertinya masih belum berdamai dengan masa lalunya."

"Eh?"

"Dia menyayangi musuhnya seperti seorang keluarga, sementara orang yang disayanginya hanya menganggapnya boneka yang sudah tidak memiliki fungsi lagi. Dia masih terguncang."

"Lagipula dia tidak bisa menghindari hal itu."

"Arvy…" Taka agak ragu namun akhirnya memberitahu Holan. "Bisa melihat Liska."

Holan tersedak minumannya.

"Apa?! dia bisa melihatnya di saat aku saja tidak bisa melihatnya?!"

"Tidak hanya itu, auranya kuat sekali, intuisinya bagus, cekatan, jeli dan tubuhnya memiliki spontanitas yang baik. Dia benar benar sempurna untuk ukuran cucu original keturunan Satria. Kau…"

"A…apa?"

"Kenapa kita tidak pernah memikirkan dia? Dia seperti terlewat dari pandangan kita. Kenapa kau tidak bilang sebelumnya?!" karena kesal dengan ketidaktahuannya Taka malah membentaknya.

"Ah aku sendiri tidak dekat dengan keluarga adik iparku. Apa yang kau harapkan. Beberapa hari ini aku memang sering menemui Arvy, kau tahu, ketua tim yang menangani kasus Valen bertanya apakah Arvy tertarik untuk menjadi polisi atau tidak."

"Lalu apa jawabannya?"

"Kupikir kau sudah bisa menebaknya."

Holan dan Taka sama sama menghela napas. Tentu saja Arvy si muka batu tidak akan tertarik dengan pekerjaan merepotkan itu. Ia pasti memilih bersantai di barnya sembari melayani pengunjung yang kadang ramai dan kadang sepi.

"Ibunya, Raziva, apa sudah dipindahkan ke rumah sakit keluarga?"

"Itu…belum. "

"Kau beberapa hari kemarin sering menemuinya kan? Dia yang membawa Valen dan Rey."

"Kau tahu itu? Rey juga?"

"Kenapa kau tidak memberitahuku?" Taka protes. "Jangan coba menyembunyikan apapun. Kau pikir kau bisa menyelesaikan semuanya sendirian tanpa bantuanku, dasar."

"Arvy memang cukup misterius. Kau pasti bertanya tanya mengapa aku bisa tahu mengapa Valen bisa berada di tepat Arvy.

Taka memandangnya dan menunggu penjelasan.

Holan mendekat dan menceritakannya.

"Dio melihatnya gugup dan kembali pulang saat melihat berita di tv kalau Valen ternyata adalah buronan. Aku mengikutinya dan mengunjunginya, kulihat dia berkeringat dan menyembunyikan kunci di sakunya. Padahal rumahnya kan memakai kunci elektrik jadi kupikir itu ruang tertentu di apartemennya. Aku terkejut saat mendengar suara dari bawah ternyata itu adalah…"

"Apa?"

"Ruang bawah tanah. Basemen."

"Apa?"

"Aku menemukan Valen dan satu pria lagi yang ia panggil Rey."

"Rey, ya." Taka tersenyum menaikkan salah satu sudut bibirnya.

"Bagaimana kau bisa tahu tenat Rey. Apa dia kenalanmu?"

"Tidak, dia cuma seseorang yang kukenal. Sepertinya aku tidak bisa menemuinya sekarang."

"Kenapa? Woi sekarang malah kau yang menyembunyikan sesuatu dariku. Cepat katakan?"

"Ini tidak ada hubungannya dengan keluarga Satria atau Ramon. Ini masalahku sendiri."

"Misi kita selanjutnya adalah Arvy…kita harus mendapatkannya," smabungnya.

"Apa maksudmu?"

"Buatkan aku pertemuan dengan Ardana."

"APA!"

"Kenapa reaksimu berlebihan begitu?"

"Kau gila?! Kami bahkan tidak pernah bicara lebih dari lima detik selama bertahun-tahun. Bagaimana bisa kau memintaku untuk bertemu dengannya?"

"Bukan kau, tapi aku."

"Ya sama saja. Kau memintaku untuk membuat janji dengannya kan? Apanya yang tidak ketemu!"

Holan marah marah.

"Kalau begitu dengan Arvy bagaimana? Tapi bukan dengan aku, kau saja yang ketemu dengannya. Kau kan pamannya."

"Anak itu bahkan lebih sulit diajak bicara dari ayahnya."

"Kau yakin kalau kalian ini keluarga?" Rataka mendecakkan lidahnya sembari menggeleng geleng miris. Bagaimana bisa kau sejauh itu? Aku tidak habis pikir.

"Apa kau punya anak? Apa kau punya adik ipar? Kau tidak akan tahu betapa menyusahkannya itu sampai kau mengalaminya. Kau haru segera menikah, dasar orang tua!"

"Orang tua katamu?! cih!"

Mereka berdua malah berakhir ledek ledekan.

Karena Rataka sendiri adalah makhluk immortal, dia pun tidak bisa memiliki hubungan yang dekat pada seseorang dalam waktu yang lama. Dia tentu mempunyai alasan tersendiri. Namun Holan sering menggunakannya sebagai lelucon, iya karena dia memang sudah setua itu. Di mata Holan, Rataka hanyalah kakek tua yang berinang di tubuh pria muda.

"Bukannya Arvy dekat dengan anak anakmu?"

"Y kalau begitu kau minta saja pada mereka untuk bertemu?"

"Sialan kau!"

"Aku tahu kalau kau tertarik dengannya, aku juga begitu. Apalagi saat dia bilang menyelamatkan Valen. Benar benar tidak bisa dipercaya. Saat aku tanya alasan mengapa Valen jatuh, dia tidak tahu. Saat itu hujan dia pikir dia perlu menyelamatkan orang yang jatuh di balkonnya. Kau tahu? Anak itu tidak punya niat menolong sama sekali, dia hanya melakukan sesuatu yang dia anggap itu menarik, dulu Ardana juga sama dengannya, karakternya menurun ke anaknya."

Bab berikutnya