"Kak Arvy? Ada apa?"
"Aku harus pergi."
"Apa ada masalah?" tanya Dio lagi.
"Dio maafkan aku. Semua yang kukatakan tadi sungguh sungguh, jadi aku akan menerimamu kapan saja. Jadi jangan sampai kau merenung sendirian. Okey?"
"I...ya." Dio bingung melihat Arvy yang nampak buru buru.
"Aku harus pergi. Dr. Yohan, terima kasih buahnya. Manis sekali, seperti kumis tipismu yang cocok dengan om om sepertimu. Aku pergi dulu."
Arvy keluar dan meninggalkan ruangan.
"Tunggu, apa dia baru saja melecehkan kumisku?"
Dio tertawa kecil.
"Jika bukan Tuan Muda, pasti aku sudah mengumpatinya, cih."
"Kau boleh mengumpatinya di depanku kok, Kak." Dio tertawa.
"Oi jangan tertawa."
Namun Dio masih tertawa.
"Ah ya, aku harus mengecek pasien di bangsal 4." Yohan berdiri dan merapikan jas putih yang ia kenakan. "Kau tidak apa apa sendirian?
"Tidak apa apa. Pergilah, tidak usah khawatirkan aku."
"Besok kau sudah boleh pulang. Aku akan menghubungi doktermu (psikiater spesialis) untuk memeriksamu nanti sore.
Sementara itu Holan di tengah perjalanan menuju rumah sakit, ia melihat televisi besar ketika berhenti di lampu merah.para pejalan kaki juga ramai melihatnya. Itu adalah berita mengenai buronan Valen. Ciri cirinya sudah di sebarluaskan bahkan bagi yang melaporkan akan mendapat imbalan.
"Asya bertindak lebih cepat dari dugaanku. Mari kita lihat Ramon, siapa yang akan lebih dahulu menangkap cacing tanah yang badannya tinggal setengah itu, kau atau polisi." Holan yang melihatnya tersenyum puas.
Dio tengah memandangi wallpaper ponselnya itu adalah foto di hari kelulusannya, ada dirinya di tengah, ayah dan Amy di sisi kanan dan kirinya. Amy yang memakai topi wisudanya dan ayah merangkul bahunya, sedang Dio membawa buket bunga kelulusan yang diberikan Arvy. Ia tersenyum melihat foto itu sembari mengusapnya pelan. Mendadak ia merindukan keluarga lengkap yang bahagia, termasuk ibu.
Tiba tiba pintu terbuka, seseorang masuk.
"Sudah kubilang aku tidak ap.." Dio mengira itu Yohan. Ia melihat siapa itu. "Ayah?
Holan menghampirinya lalu memeluk anaknya.
"Dio. Maafkan ayah. Maafkan ayah, Nak."
"Ayah, bagaimana ayah tahu?"
"Kau ini bicara apa? Tentu saja aku tahu. Aku ini ayahmu."
"Maaf selama ini aku sudah menyusahkan ayah dengan penyakitku." Dio menunduk. "Aku bersikap kekanak kanakkan. Aku ingin sembuh. Aku takut Amy melihatku seperti ini. Aku takut ibu kecewa padaku. Aku hanya ingin menjadi anak yang baik untukmu dan ibu.
"Ayah tahu, Nak. Ayah tahu." Holan memeluk Dio. "Ayah akan lakukan apapun untukmu."
Setelah cukup lama berbincang, tiba tiba Holan bertanya.
"Kudengar tadi kau bersama Arvy. Di mana dia?"
"Kak Arvy?"
"Syukurlah kau dekat dengan anak es batu itu. Aku tidak menyangka dia bisa meleleh."
"Mungkin karena aku sepanas oven."
"Hahaha, ada ada saja."
"Dia tadi terburu buru pergi setelah melihat berita pelaku penyerangan Alfa di televisi."
"Benarkah?"
"Iya. Dia sangat terkejut dan panik. Kupikir dia polisi yang menangkap penjahat." namun justru itu yang membuat Holan berpikir.
"Tidak mungkin!" teriak Holan dalam hatinya. Matanya terbelalak dan tidak mempercayai pemikirannya sendiri.
"Apa dia bilang mau pergi ke mana?"
"Dia tidak bilang apa apa. Jadi aku tidak tahu."
"Ah begitu, ya."
"Mungkin hanya pemikiranku saja." batin Holan berusaha mengenyahkan intuisinya.
Dr. Yohan dan Holan membahas di kantor mengenai perkembangan Dio. Mereka membahas tentang perawatan intensif Dio ke depannya.
"Pak Jeno akan kemari nanti sore, saya sudah membuatkan jadwalnya."
"Aku sangat berterima kasih karena sudah mengawasi Dio selama ini, kau juga mengawasi Alfa, Amy saat sakit, bahkan menjadi perawat pribadi isteriku. Aku sangat bersyukur memiliki dokter kepercayaan di sisiku."
"Tidak perlu mengatakan itu Tuan Holan. Bukankah anda yang membawaku ke rumah sakit ini. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan anda."
"Eh?" Holan mengingat ingat lagi. Karena sebenarnya Rataka lah yang meminta Holan untuk membawa mahasiswa kedokteran pintar itu menjadi bagian dari orang orang terpercaya keluarga Satria. "Oh itu, aku sempat lupa."
"Anda mungkin lupa karena anda terlalu baik pada anak anak biasa sepertiku."
"Yohan,"
"Iya, Pak."
"Kau sudah seperti adikku. Jadi kau harus bilang kalau menikah suatu hari nanti. Kupastikan wanita yang kau nikahi adalah yang wanita yang baik."
"Astaga. Tidak perlu seperti itu. Tapi terima kasih."
Mereka berdua saling melempar senyum.
***
Buk buk buagh buagh buk buk
Pukulan demi pukulan Arvy layangkan ke Valen. Perutnya, wajahnya, kakinya ia tendang, bahkan kepalanya ia benturkan ke dinding, hingga dindingnya retak.
"Siapa kau! Siapa kau sebenarnya?! Siapa atasanmu? Siapa?!"
Entah bagaimana mata Arvy berubah kemerahan gelap. Valen yang melihatnya dengan samar samar karena saking bonyok matanya tidak percaya melihatnya. Dia yakin seratus persen pria ini bukan pria biasa. Warna matanya hampir berubah.
"Jadi selama ini kau yang membuat adikku hampir mati? Kau yang selama ini membuat adik adikku tersiksa? Huh?! Menyerahkanmu pada polisi? Maaf tapi aku tidak sebaik itu. Hari ini…kau akan mati di tanganku… jasadmu akan kukubur di gunung sampai kau jadi tengkorak. Orang orang akan mengecapmu sebagai buronan yang tidak akan hidup lama dalam ingatan orang-orang."
Buagh buagh buagh
"Sebenarnya apa yang kau katakan, Sialan?"
"Buronan? Pengedar narkoba? Tidakkah kau tahu berapa anak muda yang mati karena narkoba huh?!"
"Jelaskan dengan benar dan jangan memukulku sepihak seperti ini!" Valen yang wajahnya lebam lebam mendorong tubuh kekar Arvy dan akhirnya lepas dari cengkeramannya.
"Adikmu siapa huh?! siapa yang buronan? Siapa yang pengedar narkoba?!" Valen marah dan balas memukul Arvy.
Hingga muncul darah segar di sudut bibirnya.
Arvy meraih kerah bajunya yang belakang lalu menyeretnya ke lantai atas. Kemudian menyalakan televisi.
"Bisa kau jelaskan itu?!" Arvy menunjuk wajah Valen yang terpampang di sana.
"A…apa ini?" Valen shock. "Buronan? Pengedar narkoba? Alfa?"
"Sudah ingat sekarang?"
"Aku tidak pernah mendengar si br*ngsek Alfa itu punya kakak."
"B*engsek kau bilang? Kau yang br*ngsek."
Buk buk buk.
"Hentikan!"
"Kau kira apa yang sudah kau lakukan pada Alfa bisa dimaafkan? Dia hampir mati gara gara kau!"
Arvy mendorong Valen ke lantai hingga tersungkur. Pria itu sudah tidak memiliki tenaga. Arvy malah makin frustasi karena orang yang dia lawan terlalu lemah dan dalam kondisi tidak sehat. Ia sedikit merasa tidak adil, namun benar benar ingin membunuhnya.
"Si Alfa sialan itu, berani beraninya dia memfitnahku sebagai pengedar narkoba, padahal dia yang kecanduan alkohol dulu."
"Apa?"
"Adikmu itu…dulunya pecandu alkohol, sialan! Cuih!" Valen berdiri dengan sisa tenaga dan meludahkan darah di lantai. Giginya dipenuhi darah.
"Apa menurutmu aku akan percaya?"
"Terserah padamu, dasar Psikopat! Si Alfa itu pengkhianat kelompok kami! Dia pengkhianat! Harusnya dia menjadi mata mata untuk gadis yang akan ditumbalkan Ramon! Tapi malah menyukainya seperti pria yang dibutakan cinta! Adikmu itu pengkhianat!"
Arvy mematung mendengarnya. Ia masih tak paham dan berusaha mencerna.
"Pengkhianat? Ramon? Tumbal?" batin Arvy.
"Apa yang kau katakan, br*ngsek?!"