"Aku mengerti. Dio hanya menyalahkan dirinya sendiri. Dia tidak yakin, mampu melanjutkan hidup tanpa ibunya."
Arvy melihat Dio dengan sedih, seolah melihat dirinya sendiri dahulu.
Bahkan sejak ibunya sakit, ia dan ayahnya juga tidak dekat. Tidak bisa seperti dulu lagi.
Flashback Selesai
Rataka tengah duduk di bangku taman. Ia menyilangkan kakinya dan menulis sesuatu di buku note nya.
"Pilar Harimau, markas Ramon, menemukan Valen, mencari Rey, Nadia, Raziva…" sembari menuliskannya di buku catatan kecil. "Hemmm…kenapa misiku jadi sebanyak ini?"
Rataka menghela napas. "Apa aku perlu ganti pekerjaan? Aku sudah menyiksa Liska terlalu lama."
Ia kemudian menyimpan buku nya ke dalam saku dalam coat. Lalu bangkit dari sana. Ia menelepon seseorang.
"Kak Taka." terdengar suara seseorang dari seberang telepon. Itu adalah Alfa.
"Aku lupa bertanya tentang pilar harimau kemarin."
"Akhirnya kau menghubungiku juga. Beruntung aku memaksamu bertukar nomor sebelum kau loncat dari apartemenku kemarin."
"Kau senang sekarang?" Taka bisa mendengar Alfa cekikikan.
"Tentu saja aku senang. Tapi, Kak, aku tidak terlalu tahu mengenai pilar. Sejujurnya mereka jarang muncul di depan orang biasa. Aku hanya pernah melihat Kak Okta sekali, pilar ke dua."
"Bagaimana dengan markas?"
"Itu…maafkan aku juga. Kau tahu sendiri kan aku tinggal di rumah susun kecil. Mereka tidak mengizinkanku tinggal di markas."
"Kalau begitu apa kau pernah dengar informasi tentang keduanya. Maksudku mendengarnya, pilar maupun markas mereka. Informasi apapun itu."
"Baiklah. Oh ya, Kak, kemarin kau meminta informasi tentang salah satu anak dari panti asuhanku kan?"
"Itu nanti dulu. Pastikan kau punya informasi pilar dan markas lebih dulu. Dengan begitu kita bisa cepat menyelamatkan Nadia dan Raziva, ibunya Amy dan Arvy."
"Baiklah. Aku akan jadi anak buah yang penurut. Jadi di mana kita bertemu?"
Rataka tidak sengaja melewati kafe cantik yang agak sepi.
"Temui aku di Cafe Punch dekat taman."
"Baiklah."
Rataka masuk dan berjalan ke depan meja pemesanan untuk memesan namun tiba tiba dari arah berlawanan seorang pria tidak sengaja menyenggol tangannya. Beruntung kopi yang dibawa pria itu tidak jatuh.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Taka. Ia melihat wajah pria itu. "Arvy?!" batinnya
"Tidak apa-apa. Maaf, aku yang tidak lihat lihat."
"Pakaian mu tidak terkena kopi kan?"
"Aku baik baik saja. Terima kasih, kukira kau akan marah."
"Tidak. Baiklah kalau begitu, permisi."
Mereka berdua mengangguk sopan, Arvy pun tidak pikir panjang dia berbalik. Namun ia memiringkan kepalanya sejenak lalu berbalik lagi ke arah Rataka.
"Anu…"
"Iya, ada apa?" Taka menanggapinya dengan segera. Sebenarnya dia sendiri juga penasaran dengan anak itu. Ini adalah pertama kalinya mereka berbicara langsung.
"Itu…" Arvy fokus melihat ke punggung Taka. "Apakah anda cosplay?"
"Cosplay? Apa itu?"
"Ah tidak tidak." Arvy tersenyum canggung sekaligus malu. "Yang di punggungmu itu…sepertinya sangat berat."
"Apa?!" Saking terkejutnya ia berteriak hingga beberapa pengunjung dan pelayan menatapnya aneh.
"Apa yang terjadi? Anak ini? Kenapa dia? Dia bisa melihat Liska?! Mana mungkin?!" batin Rataka.
"Tuan? Tuan?"
"Oh ya." Taka malah bengong sembari menatap Arvy.
"Kau baik baik saja?"
"Cosplay!"
"Maaf?"
"Saya cosplay hari ini. Ahaha." Taka tertawa garing.
"Ah begitu ya. Berarti pedang itu mainan kan? Soalnya terlihat sangat berat."
"Tentu saja ini mainan. Mana ada yang membawa benda seperti ini sekarang? Cosplay akhir akhir ini sangat populer. Jadi aku ingin mencobanya. Untuk orang yang paham cosplay, bagaimana menurutmu penampilanku?"
Arvy tersenyum kecil. "Sepertinya kau tipe cukup yang menarik."
"Maaf?"
Arvy tertarik pada Taka dan berbicara lebih dekat dengannya.
"Ah tidak tidak. Sepertinya kau tidak memakai make up. Aku penggemar anime dan juga cosplay, tapi aku tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Wajahmu tampan dan tubuhmu juga bagus. Apa kau sering olahraga?"
"Bagaimana bisa tubuhku tidak bagus, aku sudah mengalami perang seumur hidupku," batin Taka.
"Bagaimana kalau kita berbincang sebentar. Atau kau sibuk hari ini?"
"Tidak kok. Tidak sama sekali." Taka tersenyum.
Arvy lalu mencari meja yang kosong. Ia duduk dekat dinding sembari menikmati kopi dan buku yang ia baca. Di samping kopi ia menaruh ponsel dan kunci basemen. Taka memperhatikannya.
"Anak ini ternyata diam diam, indigo hampir setingkatku, mungkin hampir sejajar dengan Valen. Kalau dia bisa mendengar lawan bicara, sepertinya dia tidak akan tertarik. Itu berarti…" Taka berpikir serius. "Dia tidak bisa membaca apa yang kupikirkan."
Dan itu memang benar. Dari jauh Arvy menatap Taka yang tengah mengantre dengan beberapa pelanggan untuk memesan minuman. Ia sangat tertarik pada pedang di punggungnya yang nampak seperti asli. Besar dan terlihat berat. Arvy memegang bahunya saat tak sengaja menubruk tadi.
"Aura apa itu sebenarnya? Sejauh ini berbeda dengan Dio yang memiliki aura murni atau Amy yang terlihat kuat dan tangguh. Pria itu memiliki keduanya namun jauh, jauh lebih kuat dari indigo yang pernah kutemui. Oh iya!" Arvy tiba tiba mengingat satu orang. "Om Holan. Apakah dia hampir setara dengan Om Holan? Atau Kakek Rossan? Aku tidak tahu aura kakek. Aneh sekali, benar benar tidak terbaca. Apa karena itu kakek marah saat aku merahasiakan indigo milikku? Sepertinya orang itu memang setara dengan Om Holan."
Arvy menyadari bahwa ayah Amy bukan orang biasa. Siapapun indigo yang melihat Holan akan ketakutan karena dia masuk dalam aura tipikal tinggi. Arvy tidak paham tentang fyber, namun ia beberapa kali mendengarnya dan menjadi penasaran tentang itu. Ia ingin tahu lebih banyak dunia astral. Karena itu ia tertarik dengan aura Taka.
Di depan antrian, Taka menghubungi Alfa.
"Angkatlah Alfa," paniknya. "Bisa bahaya kalau Alfa datang dan keduanya bertemu. Alfa sekarang menjadi orang biasa, jadi kebohongannya pasti ketahuan. Ia tidak boleh datang hari ini. Cepat jawab anak murid sialan!" batin Taka. "Ah sial! Baru kali ini aku gugup bertemu dengan seseorang."
Klik. Alfa menjawab.
"Ada apa, Kak?"
"Woi ada dimana kau sekarang?"
"Apa kau begitu merindukanku. Tenang aku sudah ada di depan pintu kafe."
"Apa?!"
Taka menoleh dan melihat Alfa masuk dan perlahan menghampirinya. Taka panik apa yang harus dilakukannya.
"Tuan, pesanan kopi anda sudah siap."
Terdengar pelayan menyuguhkan secangkir es kopi di meja untuk diambil pelanggan. Taka mengambilnya cekatan lalu dengan sengaja menumpahkannya ke jaket yang dikenakan Alfa.
Byur!
Pelayan terkejut dan menutup mulutnya.
Alfa mematung. Ia terdiam memelototi Taka seolah menginginkan penjelasan. Mereka berdua saling bertatapan.
"Apa yang kau lakukan?!" teriak Alfa.
Arvy menoleh, memperhatikan mereka berdua.
Taka melihat jaket Alfa memiliki penutup kepala, dengan tergesa ia menutupi kepala Alfa dengan tudung jaketnya.
"Bisakah kau jelaskan padaku apa yang terjadi."
"Ma…maafkan aku, Tuan." Taka menunduk sopan.
Alfa bingung melihat reaksinya. Ia merasakan bahwa Taka sedang berakting dan ada yang tengah memperhatikan mereka. Ia mendekat dan berbisik.
"Apa aku harus mengikuti skenario?"
Rataka mengangguk.
Alfa merapatkan tudung jaketnya agar wajahnya tertutup. "Aku tidak tahu ada apa di sini, namun jika Kak Taka yang sakti ini melakukannya pasti ada tanda bahaya. Sepertinya ia sedang berusaha menyelamatkanku," batin Alfa yang segera berpikir dengan cerdas.
"T…tuan apa kau tidak apa-apa?" tanya pelayan yang khawatir melihat Alfa yang basah kuyup. "Kau pasti kedinginan."
"Tidak apa-apa, Mbak. Kopinya memang sangat dingin. Aku harus mengeringkan pakaianku. Bisakah kau tunjukkan kamar mandinya?"