Arvy keluar lalu menaiki tangga menuju atas. Ia sengaja tak mengunci basemennya.
Ia melangkah menuju pintu dan membukanya.
"Kak Arvy, kenapa lama sekali?"
"Dio?"
"Chicken!" teriak Dio sembari sumringah menenteng kantong makanan di tangan.
Arvy yang tadinya berekspresi tegang berubah lega.
"Astaga kupikir siapa?' batinnya.
"Kau habis olahraga?"
"Tidak."
"Kenapa berkeringat sekali?"
"Iya, aku latihan di treadmill tadi."
"Pantas saja tidak mendengar bunyi pintu."
"Masuklah."
Mereka berdua masuk. Dio duduk di sofa dan melihat ada jus jeruk yang sudah diminum setengah. Sedang Arvy ke dapur mengambil beberapa kaleng minuman dan cemilan.
"Kau sudah makan?"
"Belum."
Dio mengeluarkan nasi hangat dan chicken serta pizza.
"Aku juga mau minum jus jeruk," kata Dio.
"Ha?" Arvy menoleh, ia masih di dapur.
Seketika ia ingat gelas jus yang diminum Valen tadi. Arvy membawa beberapa kaleng minuman dan cemilan lalu mengambil gelas sisa jus itu. Setelah menaruhnya di wastafel. Ia kembali ke ruang tengah.
"Aku tahu kau belum makan," kata Dio. "Oh ya, kau sudah memperbaiki pintunya kan."
"Eh?"
"Kulihat bel nya sudah berfungsi."
"Pintu?" Seketika Arvy ingat ia pernah bilang kalau monitor pintunya rusak. Ia segera memberikan alasan. "Iya. Aku sudah memperbaikinya."
"Syukurlah. Sekarang banyak pencuri, apalagi marak penculik baru baru ini."
"Tidak perlu khawatir seperti itu. Aku baik baik saja kok." Arvy tersenyum simpul mendengar Dio memperhatikannya.
"Penculik? Justru pria itu yang penculik, dasar." sahut Valen tak sengaja dengar dari basemen. Ia memiliki pendengaran yang baik (karena ia hampir selevel dengan pilar).
Arvy dan Alfa menikmati makanan mereka masing masing. Dio melihat Arvy tak makan pizza dan hanya nasi dan chicken
"Kau sedang menghindari fast food?" tanya Dio.
"Tidak. Aku akan memakannya nanti. Kau bolos kerja hari ini?"
"Aku akan berangkat setelah sarapan. Kau tahu betapa kesepiannya aku di rumah." Dio memasang wajah melas dan agak bercanda.
"Sepertinya kau tidak se kesepian itu." Arvy membalas candanya.
"Oh ya, kau sudah dengar kabar mereka?"
"Mereka siapa?"
"Syukurlah ia sudah bangun dari koma. Itu si Al…"
Arvy mengambil potongan ayam dan memasukkannya ke mulut Dio mendadak.
"Kak Arvy? Apa yang kau lakukan?"
"Sudah makan saja. Tidak usah berbicara."
"Sifat dinginmu sudah kembali rupanya, cih."
"Bicara saat makan itu tidak menghargai makanannya. Akan kutendang keluar kau kalau bicara lagi."
Dio menghela napas.
"Apa orang aneh itu dengar?" batin Arvy panik saat Dio akan menyebut nama Alfa. "Perasaanku tidak enak. Aku merasa orang itu musuh. Sebaiknya aku berhati hati dan lebih waspada. Jangan sampai Dio menyebut nama keluarga."
Selesai makan, Dio membereskan meja kecil di depan sofa dan karpetnya dengan vacum cleaner kalau ada kotoran.
"Biar aku saja yang membersihkan. Kau cepatlah berangkat sana."
"Tenang saja, aku tidak akan terlambat kok."
Arvy mengambil alih vacum cleaner tersebut.
"Aku bukannya khawatir denganmu tapi dengan vacum cleaner nya. Aku baru men servis nya kemarin."
"Sudah kuduga kau akan bereaksi seperti ini. Jujur saja, Kak. Apa kau ada masalah? Dari tadi sikapmu aneh. Apa kau salah makan atau apa?"
"Apanya? Aku memang biasanya seperti ini." Arvy membersihkan meja dan karpet. "Aku juga yang akan mencuci piringnya. Aku khawatir kau akan memecahkannya."
"Sepertinya kau tidak baik baik saja. Apa kau mengidap OCD?"
"HA?" Arvy berhenti membersihkan dan menaruh vacum cleaner di lantai. Ia mengambil tas Dio di sofa dan memberikannya dengan dingin dan datar.
"Kau seorang dokter kan? Bagaimana bisa kau bermain main di sini dan menelantarkan pasienmu?" ekspresi Arvy berubah serius.
"Kenapa tiba-tiba membicarakan itu? Sepertinya kau benar benar sedang kesal hari ini." Dio nampak sedih. "Baiklah aku akan datang lain kali lagi. Pizza nya masih sisa banyak. Kau bisa makan semuanya kan? Kalau begitu aku tinggal berangkat ya." Dio tersenyum ramah lalu melangkah ke depan pintu.
"Terima kasih makanannya."
Dio mengangguk.
"Aku pergi, Kak."
"Hati hati di jalan."
Setelah menutup pintunya. Dio memiringkan kepalanya berpikir "Dia seperti orang yang sedang menyembunyikan gadis di rumahnya."
Sementara itu Raven membuka pintu ruangan bawah tanah lalu menaiki tangga menuju atas. Arvy kaget melihatnya dan panik kalau kalau Dio masih di depan dan mendengar percakapan mereka.
"Kenapa kau naik?" kata Arvy berbisik.
Valen hanya mengedikkan bahunya santai.
"Sepertinya dia sudah pergi."
Arvy bernapas lega.
"Seharusnya kau tidak perlu kentara seperti itu. Dia berpikir kau sedang menyembunyikan wanita di apartemenmu."
"Aku tahu," batin Arvy, namun ia tak berniat menunjukkannya.
"Jadi namamu Arvy ya," kata Valen.
"Berani beraninya kau memanggil namaku."
"Anak tadi yang memanggilmu begitu."
"Silahkan, keluar dari sini," perintah Arvy dengan raut wajah datar. "Sebelum aku mengusirmu secara paksa."
"Ha? Mengusir? Kalau aku tidak mau?" Valen duduk di sofa sembari menyilangkan kaki lalu makan pizza di meja.
"Serius? Kau akan melakukan ini padaku? Keluar sekarang." Arvy memberi gerakan menunjuk pintu dengan sopan namun penuh penekanan. "Apa aku harus memanggil polisi?"
"Kau kira aku buronan."
"Sepertinya lebih buruk dari itu," balas Arvy membalikkan perkataan Valen sendiri di awal tadi.
Arvy malas menanggapinya. Ia naik tangga menuju basemen lalu mengunci pintu agar Rey tak keluar. Ia melihatnya masih pingsan dan tertidur di dalam di ranjang tipis. Ketika menoleh ke belakang, Valen sudah berdiri di sana.
"Woy. Sepertinya kau dari keluarga kaya raya. Izinkan aku tinggal di sini beberapa hari," pinta Valen dengan setengah hati dan terpaksa namun tak ada pilihan lain kecuali ia akan diburu Ramon dan Rataka.
"Kenapa aku harus membantumu?"
"Sialan!" Valen tiba-tiba meraih kerah leher Arvy. "Kau…tidak tahu siapa aku kan."
"Apa aku juga harus tahu siapa kau?"
"Kau yang menyelamatkanku kemarin jadi kau yang harus bertanggung jawab. Jangan setengah setengah."
"Apa?" Arvy tersenyum miris. "Sepertinya kau memang bukan buronan."
"Apa katamu? Kau mengolokku?! sialan."
"Kau diburu kan?"
Degh
"Orang ini. Bagaimana dia tahu? Aku memang sudah melihat auranya yang berbeda dari manusia biasa," batin Valen. "Orang yang di basemen dan orang bernama Arvy ini, mereka bukan orang biasa."
Valen akhirnya melepaskan kerah Arvy.
Arvy merapikan lagi bajunya.
"Dengarkan, aku bisa membunuhmu dengan mudah. Aku akan membuat skenario bahwa kau yang menculik pria basemen dan kau bunuh diri. Aku akan menulis surat wasiat untuk keluargamu," ancamnya.
"Baguslah. Kalau begitu bunuh saja aku sekarang."
"Ha?"
"Sebenarnya apa yang dipikirkan pria ini? Aku bahkan tak bisa mendengarnya." batin Valen mulai gugup.
"Kenapa? Kau takut? Kau tidak bisa membunuh orang?" Arvy melirik telapak tangan kanan Valen. "Tapi sepertinya kau pernah membunuh orang beberapa kali. Bukankah begitu?" Arvy tertawa sinis.
"Bocah sialan ini. Kau makin tidak tahu diri rupanya!"