"Aku harap kau tidak memberikan kesaksian palsu."
"Eh?"
"Kau tahu kau bisa dihukum karena itu kan?"
Alfa was-was. "Em, saya tahu. Saya memberikan kesaksian yang sebenar-benarnya."
"Ah sialan itu pasti bandar narkoba. Kami juga banyak menangani kasus yang semacam itu. Pasti ada tim gabungan nanti."
"Apa itu?"
"Aku tidak berada di divisi narkotika, tapi kekerasan dan genosida. Karena kesaksianmu ada kaitannya dengan narkoba, tidak hanya tim ku yang akan mengusutnya."
'Ah begitu ya."
"Tapi aku tetap menjadi tim penyelidikan. Kau tahu kan?"
Alfa tersenyum terpaksa. Polwan benar benar menyeramkan kalau berbicara.
***
"Kau baik-baik saja?" tanya Amy pada Alfa.
"Em. Terima kasih. Dan juga maaf tentang tadi."
"Tadi apa?"
Tiba-tiba mereka ingat ciuman panas Alfa pada Amy. Keduanya mengalihkan pandangannya masing masing karena malu bertatapan satu sama lain.
"I…ya. Lain kali jangan begitu," kata Amy.
"Lain kali aku akan minta izin dulu."
"Jadi…"
"Jadi…"
Keduanya tak sengaja mengatakan hal yang sama, mereka akhirnya malu sendiri.
"Kau duluan saja," kata Alfa.
"Apa hubungan kita sekarang?"
"Itu…aku juga tidak tahu."
Mereka saling pandang dengan tegang dan awkward. Tiba-tiba keduanya tersenyum, perlahan kemudian tertawa lebar.
"Ah kenapa jadi begini sih, haha." Amy tertawa.
"Bukankah kita malah jadi seperti Dilan dan Milea, ah benar-benar dialog yang sangat aneh." diikuti Alfa yang juga tertawa.
"Kita keluarga kan?" kata Amy kemudian.
'Em. Tetaplah seperti ini. Menjadi keluarga, sahabat, dan juga pacar," Alfa senyum-senyum sendiri. "Aku akan jadi apa saja yang kau butuhkan."
Amy mengangguk dan tersenyum.
"Bolehkah aku menciummu lagi?" canda Alfa.
"Sialan kau!" Amy memukul lengan Alfa pelan.
Keduanya tertawa.
***
"Aku menyukaimu," kata Gita.
Arvy menatapnya dengan kesungguhan, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Gita. Ia menempelkan bibirnya ke bibir Gita, melumatnya dengan perlahan dan berirama sembari menutup mata.
Mereka masih berciuman panas. Tangan Arvy merayap ke bahunya, menyingkirkan helaian rambut di lehernya. Ia memiringkan kepala dan berganti ke leher gadis itu, menyingkap sedikit baju tipis di area bahunya.
Gita mendesah.
Arvy memeluknya.
"Hentikan!" tiba-tiba Gita menangis dan memukul-mukul dada bidangnya.
Arvy terkejut. Ia mundur dan hendak melihat wajah Gita, namun bukan gadis itu yang di sana melainkan telah berubah menjadi Amy, keponakannya sendiri. Tengah menangis dan memohon agar Arvy tak meneruskan perbuatannya.
"Amy!" teriak Arvy.
Brak brak brak!
Terdengar suara pintu digedor dari basemen, meskipun terdengar sangat pelan, karena letaknya di ruang bawah tanah.
Arvy terkesiap, rupanya itu semua hanyalah mimpi. Ia terbangun dan ternyata tertidur di sofa ruang tengah. Kemudian duduk dan memegang kepalanya yang sakit, dahinya ia pijat-pijat pelan.
"Astaga apa yang sudah kumimpikan tadi."
Ia bangkit dan melangkah menuju basemen untuk memeriksa. Ia membuka pintu, namun belum sempat pintu terbuka sepenuhnya, Arvy terdorong ke belakang dengan kuat, hingga terjatuh. Ia memegang dadanya yang nyeri seolah dipukul seseorang. Pintu terbuka dan ia mendapati seseorang berdiri di sana.
Arvy terbatuk-batuk.
"Siapa kau?" tanya Valen. Ia menatap tajam ke arah Arvy.
"Kau sudah sadar?" Arvy berdiri dan membenahi pakaiannya.
"Kau pikir ikatan tali seperti itu mempan padaku?"
"Ha?"
"Dasar manusia lemah."
"Manusia? Jadi maksudmu kau bukan manusia?"
"Ah sudah kuduga," Valen menghela napas. "Kenapa aku bisa di tempat ini?"
"Kau tidak ingat?"
Tiba-tiba Valen bergerak secepat kilat dan tiba-tiba berdiri di depan Arvy. Ia mencekik lehernya.
"A…apa yang…kau lakukan?" Arvy mengumpulkan udara untuk bernapas, nadi lehernya seolah mau putus. Cekikan itu sangat kuat.
"Jawab pertanyaanku. Kenapa aku berada di tempat ini? Kau menculikku?"
"Le…lepaskan ta…tanganmu dulu."
Valen melepaskannya dengan ekspresi datar.
"Uhuk uhuk uhuk."
"Dasar manusia. Sama saja."
"Kau benar-benar tidak ingat? Aku sendiri juga tidak tahu kenapa kau ada di sini. Kemarin kau tiba-tiba ada di beranda jendela. Kamarku di lantai atas, bagaimana kau bisa ada di beranda jendela? Kau jatuh dari atas? Atau kau terbang atau bagaimana? Harusnya aku yang tanya kenapa kau ada di tempatku?"
"Apa? Jatuh?" Valen berusaha mengingat ingat. "'Aarrrgghh." tiba-tiba Valen mendengar suara suara sialan itu lagi di kepalanya, dengungan yang menyakitkan. Kutukan mantra penghubung fyber.
"Rataka si sialan itu, apa dia berniat menghabisi seluruh orang indigo dan para fyber? Br*gsek!"
"Fyber? Rataka?" batin Arvy. "Bukankah itu yang ada dalam diri Rey?"
"Woy manusia," panggil Valen. "Kau benar benar tidak menculikku kan?"
"Sudah kubilang tidak kan tadi." Arvy mendecakkan lidah.
"Lalu kenapa ada pria yang kau ikat di ruang bawah tanah itu?" Valen penasaran karena melihat ia diikat dengan cara yang sama dengan Rey, makanya ia mengira itu penculikan."
"Itu bukan urusanmu."
"Apa katamu? Apa jangan jangan kau pembunuh? Seperti film film psikopat manusia?"
Valen melangkah menuju sofa panjang dna duduk santai sembari meminum jus di depannya.
"Ah itu…punyaku…sialan." batin Arvy.
"Kau ini siapa? Kau ini apa?" tanyanya.
"Aku sedang dalam pelarian br*gsek diamlah."
"Apa kau buronan."
"Lebih buruk dari itu."
Arvy menelan ludah. Ia tak berharap mendapat jawaban, toh orang asing itu akan segera ia usir. Ia memanfaatkanya untuk mencari informasi lebih dulu.
"Kenapa kau mau melaporkan aku ke polisi? Setelah kau menculik pria di basemen itu?"
"Sudah kukatakan aku tidak menculiknya!"
"Cih. Dilihat dari penampilanmu….yah memang sepertinya bukan sih."
"Bukan sepertinya, aku memang bukan penculik."
Mereka berdua berbincang dengan aneh sesaat.
"Biarkan aku bersembunyi di sini sebentar. Aku akan pergi nanti."
"Kenapa aku harus melakukannya?"
"Bukankah kau yang membersihkan sisa darah di kaki dan tanganku?"
Arvy tak bisa mengelak, karena benturan dengan pagar besi, tubuh Valen luka-luka. Ia bahkan bisa melihat lukanya yang belum kering. Diingatnya lagi apa yang terjaid padanya, tidak mungkin ia takut pada Ramon dan memutuskan mengakhiri loncat dari gedung kan. Ia benar-benar tak bisa mengingatnya.
"Kalau bukan si Rowlett aku pasti sudah ditunjuk Ramon sebagai pilar, kenapa juga aku hanya jadi pendamping. Aiishh sialan." batin Valen.
***
Rowlett kembali tertidur di ranjang. Rataka menyelimutinya. Lalu keluar dna mengunci pintu. Ia sengaja tak menggunakan mantra, agar anak itu tak merasa terkurung, yang ia mantrai penghalang adalah bar nya. Taka melangkah menuju tempat di sudut tempat ia menyimpan Liska. Pedangnya telah membaik, kondisinya kembali normal. Taka menatapnya sembari menyilangkan kedua tangan dan melamun.
"Tidak! Lepaskan aku!" Rey meraung begitu melihat Rataka mengeluarkan pedangnya dari sarung yang bahkan tak bisa ia lihat.
"Kau ini sebenarnya siapa? Siapa huh?!"
Rey memegang dadanya, mulutnya mengeluarkan darah dan ia sudah kehabisan tenaga melawan Rataka.
"Kalau kau bukan bawahannya Ramon, pergilah."
"Apa?"