"Ah itu..insentif ya. Kau benar-benar yakin bisa jadi pegawai tetap di sini? Kalian masih magang, ya magang juga ada kemungkinan mendapat insentif sih, tapi aku tidak tahu kriterianya karena bukan aku yang menggaji kalian. Tapi baru ini aku mendengar pertanyaan seberani ini dari pegawai magang. Aku akan menanyakannya pada atasanku. Sekian, sudah cukup. Aku akan mengakhirinya. Kalian bekerjalah dengan semangat sampai mendapat banyak insentif pribadi dari direktur," tawanya meremehkan sembari melirik ke arah Amy.
Setelah itu manajer keluar dan pegawai transferan senior mulai membantu mereka. Amy dan Alfa saling menatap satu sama lain, lalu melempar senyum. Keduanya juga mulai mengikuti bimbingan senior dan mulai bekerja.
Jam istirahat.
Seluruh pegawai termasuk Amy dan Alfa tengah makan siang di kantin. Keduanya melihat banyak pegawai yang memakai jas dan kemeja rapi, sedang mereka berdua berpakaian seperti cleaning service. Tapi bukan itu tujuan mereka datang ke sana. "Sepertinya kau dapat informasi penting tadi?" puji Amy pada Alfa, merujuk pada kejadian tabrakan di gudang.
"Tentu saja. Tapi bukankah kau yang paling puas sekarang?" Alfa menggodanya dengan menaikkan kedua alisnya.
"Ha?"
"Ayolah, jangan pura-pura. Pertanyaanmu tadi pada manajer, itu umpan kan?"
"BRAVO!" Amy memberikan gerakan menembak menggunakan jari tangannya. "Kau cerdas juga."
"Excuse me? Apa barusan yang kau bilang?"
Amy tertawa kecil lalu menggeleng. "Jadi apa yang kau dapat?"
Alfa melirik kanan dan kiri lalu mendekatkan wajahnya.
"Aku melihat dokumen yang sangat penting."
"Dokumen?"
"File pegawai transfer."
"Ada yang seperti itu?"
"Aku juga tidak yakin, tapi fakta bahwa pegawai gudang yang tingkatannya mirip cleaning service saja ada arsipnya, berarti memang penting."
"Aku memang tidak pernah mendengarnya, kalau pegawai transferan dari cabang kota, kenaikan pangkat dan PHK sepertinya pernah dengar. Tapi ini…"
"Bagaimana?" Alfa menaikkan alisnya beberapa kali dan tersenyum lebar. Ia mengira Amy memiliki pemikiran yang sama.
"Apanya?"
"Aishh dasar." Alfa duduk tegak kembali dan mengaduk kuah sayur di mangkuknya dengan kesal. "Apa aku harus menjelaskannya?"
"Cepat jelaskan. Aku memang tidak paham."
"Kurasa pilihanmu untuk tidak kuliah adalah jalan yang benar. Setelah kupikir-pikir aku jadi kasihan dengan Kak Dio."
"Cih."
"Kita harus mengambil dokumen itu, kita harus menyelinap ke kantor manajer dan mengambilnya, ya minimal mengambil fotonya lah."
"Apa kita akan menyelinap setelah makan?'
"Tidak bisa, kita harus melihat lebih dulu lokasi dan letak cctv. Kita harus menyusun strategi lebih dulu. Hari ini yang kita perlukan adalah mendapatkan denah kantor yang jelas, besok baru kita eksekusi."
"Lalu, survei gudangnya?"
"Kita tidak perlu survei gudang kalau punya dokumen itu."
"Ah begitu ya."
Tiba-tiba rombongan pegawai magang di gudang dua berdatangan dan duduk bersama. Mereka menikmati makan siang di meja yang sama.
Alfa dan Amy menyapa mereka ramah dan dengan cepat para pegawai magang itu menjadi rekan kerja.
Sepulang kerja, Amy dan Alfa kembali ke kamar masing-masing dengan badan kelelahan karena bekerja seharian, membuka kardus, memilah barang rusak, menatanya kembali, membuat daftar dan lain-lain. Keduanya baru pulang pada sore hari.
"Jangan lupa, kita akan membahasnya malam ini," kata Alfa mengingatkan.
"Hemmm baiklah."
"Jam 8 tepat, datang ke kamarku. Kita buat planning-nya. Jangan terlambat."
"Ya ya," bahu Amy turun. "Ini hari pertama kita, bolehkah aku tidur saja?"
"No no. Jangan sampai terlambat." Alfa lalu masuk ke kamarnya.
Amy mendumel tidak jelas.
Setelah mandi Amy menjatuhkan dirinya di ranjang dengan terlentang. Diliriknya jam dinding. Sangat malas untuk keluar kamar. Matanya berat, perlahan-lahan matanya menutup namun tiba-tiba…
Drfttt drfttt
Ia tersentak, diraihnya ponsel di dekat bantalnya, tertera nama partner di sana.
"Ahhhhh sialaaann! Aku mau tidur!"
Namun akhirnya, Amy beranjak dan membuka pintu. Ia melihat Alfa tak jauh dari kamarnya, berdiri di tengah koridor sedang menelepon seseorang. Amy menatap punggungnya, ia penasaran dan melangkah hati-hati mendekatinya. Berniat mengagetkannya dari belakang.
Alfa menoleh, dia melihat Amy tepat di belakangnya hendak mengejutkannya namun ketahuan lebih dulu.
"Apa yang kau lakukan?!" Alfa segera menutup panggilan telponnya dan memasukkannya ke saku jaket. Wajahnya pucat dan gugup.
"Eh?" Amy terkejut melihat reaksinya. "Respon apa ini? Kau gugup?" Amy mendekatkan wajahnya hingga Alfa mundur.
"Kau menyembunyikan sesuatu dariku?" Amy menyipitkan matanya.
"Tidak!"
"Jangan bohong, siapa yang kau hubungi itu?"
"Bukan siapa-siapa. Ayo kembali ke kamar saja."
Alfa memegang bahu Amy namun gadis itu makin curiga.
"Alfa…jangan bilang kau…"
Alfa membulatkan matanya. Ia menelan ludah. Amy menyudutkannya di dinding sembari menempelkan telapak tangan kirinya di dinding bak adegan film.
"A..apa?"
"Kau gugup sekarang. Ketahuan sudah. Jujur saja padaku."
"Jujur apanya, tidak ada yang kusembunyikan, sialan!"
"O? kau bahkan mengumpatiku dengan sungguh-sungguh?"
"Astaga kau ini kenapa sih?"
"Jangan-jangan kau….punya pacar kan??"
Alfa tertegun. Ia tertawa pelan dan melonggarkan ketegangannya.
"Aishhh kukira…"
"Jadi bukan itu?"
"Kalau aku punya pacar, bagaimana dengan kau? Kau akan jadi perawan tua selamanya."
"Sialan kau!"
Amy memukuli kepalanya dengan penuh emosi. Alfa hanya bisa tertawa sembari melindungi kepalanya dari hantaman. Ia kemudian menangkap dua tangan Amy. Lalu ganti menyudutkannya di dinding.
"Aku tidak punya pacar," katanya sungguh-sungguh.
"Memangnya aku peduli, cih!" Amy melepaskan tangannya. Namun kini tubuhnya dikunci dan tak bisa keluar. Ia melotot ke arah Alfa. "Apa?!"
Alfa tersenyum simpul. Sedetik kemudian wajahnya berubah serius.
"Jika aku menyembunyikan sesuatu yang penting apa kau akan semarah ini?"
"Jadi kau benar-benar merahasiakan sesuatu dariku?"
Alfa menggeleng. "Aku penasaran, kalau aku mempunyai rahasia besar yang kusembunyikan apa yang akan kau lakukan?"
"Kenapa tiba-tiba bertanya begitu? Kita kan tidak pernah merahasiakan apapun satu sama lain."
Alfa miris mendengarnya. Ia tidak kuasa membohongi gadis yang ia sukai. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Kenapa? Ada apa?" tanya Amy.
"Aku takut."
"Kenapa kau seperti ini?"
"Amy…"
"Kau ini kenapa sih?" Amy memegang ujung jaketnya. Ia tidak nyaman melihat Alfa yang biasanya konyol menjadi serius.
"Aku…" Alfa mendekatkan wajahnya ke wajah Amy. Jaraknya semakin dekat.
"Aku ingin melindungimu," batinnya, ia tidak bisa mengatakannya secara langsung. "Aku tidak akan membiarkan mereka melukaimu."
Alfa tersadar, ia dengan segera menjauhkan diri darinya. Begitu juga Amy yang menjadi kikuk dan canggung. Mereka tidak berani bertatapan.
"Kau salah makan hari ini, huh?" Amy berusaha mencairkan suasana.
"Maaf. Aku kelewatan." Alfa menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal.
"Bukankah kita harus membahas rencana malam ini?"
"Ah iya."
"Alfa," panggil Amy serius.
Alfa berdehem, ia berusaha mengendalikan gesture-nya.
"Aku tidak keberatan kalau kau punya pacar. Tapi aku mohon, tolong bilang padaku. Sejujurnya aku tidak tahu hubungan kita akan jadi apa jika kita tidak bekerja bersama. Jadi, aku tidak akan memarahimu kalau kau punya pacar. Tidak ada rahasia diantara kita, jadi jangan khawatir padaku. Kalau kau akhirnya menemukan seseorang yang kau sukai, kuharap kau memberitahuku." Amy menunduk.
"Apa yang kau bicarakan? Kenapa aku harus punya pacar?"
"Karena aku… yang menyukaimu lebih dulu…. saat masa sekolah." Amy mengingatnya dengan sedih. Ia merasa kalau Alfa tidak pernah menyukainya.
"Jika aku bilang aku menyukaimu sebelum kau menyukaiku, apa kau percaya?"
Amy mendongak, ia terkejut mendengarnya. Dalam hati ia mengumpat, kenapa dirinya tak bisa melihat warna Alfa. Mungkin karena alasan ini.
"Itu tidak mungkin."
"Aku menyukaimu lebih dulu," Alfa mendekat lagi.
Ia memegang tengkuk leher Amy, wajah gadis itu ia dekatkan ke wajahnya. Kini Alfa lebih percaya diri, tanpa ragu dan canggung. Keduanya saling bertatapan dari jarak yang begitu dekat. Alfa memiringkan kepala, lalu menciumnya.