Krek.
Arvy membuka pintu apartemennya karena ada seseorang yang mengetuk. Itu adalah Dio. Ia sengaja datang pagi-pagi untuk menjemput Amy.
"Akhirnya kau datang juga. Hoaaam" Arvy menguap lebar. Ia mengajak Dio masuk.
Dio tersenyum simpul melihat Arvy.
"Kau sudah banyak berubah, Kak."
"Tapi adikmu tidak berubah sama sekali. Dia tidak pernah memanggilku dengan sopan, selalu pakai nama langsung."
"Jangankan kau, aku saja tidak pernah dia panggil kakak."
Dio memeriksa Amy yang masih tertidur pulas di ranjang. Selimutnya acak-acakkan, tidur dengan kepala di bawah dan kaki di bantal. Dio mendecakkan lidah sembari menggeleng. Ia menutup pintunya kembali dan bergabung dengan Arvy yang meminum kopi di sofa ruang tengah.
"Minumlah," kata Arvy pada Dio sembari menunjuk dengan dagunya secangkir kopi di meja.
Dio duduk dan menyeruput kopi. Mereka berbincang sejenak.
"Kau masih tidak mau menjawab pertanyaanku kemarin?" tanya Arvy.
"Pertanyaan yang mana?"
"Tentang Amy, apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"
Dio tertawa kecil. Arvy terkejut melihat reaksinya.
"Responmu makin membuatku curiga."
"Kak Arvy, kau ingat saat kita pertama kali bertemu?"
Arvy menatapnya. "Apa?"
"Kita aneh sekali ya. Keluarga tapi tidak akrab satu sama lain. Kau sendiri jarang ikut makan malam atau pesta keluarga. Amy juga terpaksa mengikutinya. Sejujurnya aku sangat menyukai keluarga kita, tapi sepertinya tidak begitu."
"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan."
"Maksudku kau muncul pertama kali di hari kelulusanku. Itu aneh sekali tahu. Kenapa kau datang hari itu?"
Arvy terdiam. Ia menatap kedua mata Dio yang jernih. Aura wajahnya putih, warna tubuhnya berwarna merah maroon, seperti sunset yang menenangkan di sore hari. Warna yang jarang ia temui di zaman sekarang. Ia masih membeku, sejenak kemudian mengalihkan pandangannya. Dio menyadari Arvy yang sulit menjawab pertanyaannya.
"Kak Arvy," panggil Dio serius.
"Kau benar-benar penasaran?"
"Tentu saja. Selama itu kau tidak pernah menyapa keluarga kami. Aku ingin tahu apakah ada alasan khusus di balik itu?"
"Tidak ada. Aku cuma ingin melakukannya."
"Apa kau sama dengan Amy?"
Degh.
Arvy tersentak, ia tidak menyangka seorang Dio yang polos akan menanyakan itu padanya. Mereka berdua terdiam saling menatap satu sama lain.
***
Acara kelulusan Dio diadakan sehari lebih dulu dibandingkan acara kelulusan Amy. Sekolah mereka memang berdekatan. Acara utama di adakan di aula indoor yang luas. Pagi itu adalah pagi yang berbahagia bagi seluruh siswa kelas tiga yang selesai ujian dan para wali murid.
"Selamat kepada siswa-siswi yang telah menyelesaikan studi. Kalian semua sudah berjuang selama tiga tahun terakhir. Selamat atas kelulusan kalian!"
Semua siswa dan tamu undangan serta para guru bertepuk tangan bahagia.
"Kami umumkan siswa terbaik tahun ini. Selamat kepada Dio Saputra."
Semua orang bertepuk tangan. Holan terseyum lebar sembari berteriak swit-swit dengan jarinya, Amy menyenggol lengannya dengan sebal. Satu-satunya yang tidak tepuk tangan adalah dirinya.
"Ayah apaan sih? Norak tahu."
"Kau ini. Harusnya senang dan bangga melihat kakakmu. Lihatlah, inilah yang akan kau dapat jika jadi anak teladan. Ck ck ck bukannya malas-malasan sepertimu."
"Cih." Amy mengalihkan pandangan. Namun ia tersenyum kecil melihat kakaknya naik ke atas panggung dan memberi sepatah dua patah kata di podium.
"Sejak kapan dia jadi sekeren itu?" batinnya sembari menahan senyum.
Selesai acara penyerahan, banyak murid yang berswa foto dengan keluarga mereka. Ayah dan Amy sibuk mencari tempat kosong yang bagus untuk berfoto. Sesekali mereka juga bertengkar seperti anak-anak.
"Cepat ayo sana, ada spot yang bagus," ayah bersemangat. "Dio pasti suka."
"Ah coba lihat dulu. Apa ayah tidak lihat banyak yang mengantre? Kenapa banyak sekali yang foto di sana sih, sialan."
"Amy! Kenapa kau selalu mengumpat? Tidak bisakah kau perbaiki mulutmu itu?"
"Kenapa?"
"Aishh dasar anak ini, kau tidak mau dapat jatah bulan depan ya?"
"What?! Apa itu maksudnya?!"
Dari jauh Dio melihat ayahnya, rambutnya hampir seluruhnya memutih dan adiknya yang pendek tengah bertengkar seperti anak kecil. Amy memang kebalikan dari Dio. Nakal, susah diatur, selalu semaunya sendiri, ditambah lagi malas belajar. Dio melangkah mendekati mereka, namun seseorang menghentikannya. Ia menoleh terkejut.
"Maaf, siapa?"
"Arvy, anaknya Ardana."
"HA?"
Ardana menyentuh dagunya karena Dio menganga lebar sekali. Ia tersentak dan menjaga sikapnya, setengah gugup namun senang.
"Ma..maaf aku tidak tahu."
"Wajar sih, kita memang tidak pernah bertemu sebelumnya."
"Ada urusan apa, Kak? Mungkinkah kau mencari ayah?"
"Memangnya ada alasan apa lagi jika datang di hari kelulusan seseorang?"
Dio terdiam.
"Tentu saja untuk menyelamatimu."
Arvy memberikan sebuket bunga bertuliskan 'happy graduation' di depannya. Dio sempat menganga lagi, namun Dio mendecihkan lidah dan berkata sarkas namun hangat.
"Tidak seharusnya siswa terbaik terlihat bodoh seperti itu."
"Kenapa tiba-tiba seperti ini? Apa kau ingin menyuruhku melakukan sesuatu yang buruk? Atau Kak Arvy yang melakukan kesalahan?"
"Tidak ada yang seperti itu. Coba lihat ke sana, ayah dan adikmu yang aneh itu. Apa mereka anak kecil?"
Mereka melihat Holan dan Amy yang bertengkar gara-gara mencari tempat untuk mengambil foto.
Dio tertawa kecil. "Mereka benar-benar lucu."
Arvy melirik mata Dio yang berbinar. Mata kebahagiaan yang menyayangi keluarganya. Tawa yang lebar mengisyaratkan kalau dia anak yang baik. Arvy menyadari auranya yang jarang dimiliki orang jaman sekarang.
"Sebuah aura kebaikan dan ketulusan. Jadi benar-benar ada orang baik di dunia? Naif sekali," batinnya.
"Berapa usiamu sekarang?" tanya Arvy.
"18 tahun."
"Adikmu?"
"15 tahun.
"Tidak usah terlalu formal. Kita cuma beda dua tahun."
"Bolehkah? Oh iya, besok dia akan lulus dari SMP. Katanya dia mau masuk sekolah yang sama denganku. Melihat nilai rapor-nya yang buruk sepertinya akan susah."
"Bukankah kau tinggal mengajarinya?"
"Iya, benar juga." Dio tersenyum lebar. Arvy membalasnya dengan tersenyum simpul.
"Kau ingin masuk universitas yang sama denganku, kan?"
"Eh? Darimana Kakak tahu? Wah hebat."
Arvy tersenyum renyah. "Kau ini. Datanglah ke bar-ku. Bukankah kau sudah dewasa sekarang? Ujian masuk perguruan tinggi sangat ketat, kau tahu kan?"
"Tapi aku cukup percaya diri dengan nilaiku."
"Cih. Cepat scan nomorku." Arvy mengeluarkan ponselnya. Mereka bertukar nomor. "Kembalilah ke sana. Sebelum ayah dan adikmu perang dunia."
Dio tersenyum mendengar leluconnya. Arvy melangkah pergi dari sana sembari melambai hangat.
Dio menghela napas lega. Dilihatnya buket bunga itu, dipandangi tulisan happy graduation yang tertulis cantik dan lucu.
"Kak Arvy pasti mengetahui sesuatu tentangku. Dia tidak pernah datang ke makan malam kelaurga dan tidak pernah tertarik dengan masalah keluarga. Pasti ada hal yang membuatnya tertarik denganku. Aku yakin," batin Dio. Namun ia memilih untuk tidak terlalu berprasangka buruk.
"Kak Arvy!" teriaknya. Ia berlari mengejar Arvy.
Arvy berhenti dan menoleh.
"Kau tahu Gama?"
"Ha?"
Dio mengepalkan tangan lalu mengulurkannya ke depan. Arvy paham dan tertawa. Ia melakukan hal yang sama. Mereka melakukan tos dengan punggung tangan yang mengepal.
"Aku pasti akan datang ke bar-mu," kata Dio.
-Kembali ke masa sekarang-
Kenapa kau datang hari itu?" tanya Dio serius.
"Tidak ada alasan. Aku hanya mendengarnya dan iseng datang ke sana."
"Kak Arvy," Dio tersenyum sarkas. "Aku bukan remaja 18 tahun lagi. Sepertinya aku cukup dewasa untuk menyerap informasi yang lebih dari ini."
"Sekarang kutanya, apa yang kau dapat selama ini?"
"Apa?" Dio tidak paham.
"Sejak kelulusanmu, bukankah kau mencaritahu tentang diriku. Jadi aku tanya, selama itu, apa saja yang sudah kau dapatkan?"
Dio tersenyum simpul, lalu tertawa. Sepertinya ia baru saja mendapatkan jawabannya dari pernyataan itu. Arvy tak habis pikir melihat ekspresinya.
"Terlalu banyak orang abnormal di keluarga kita. Bukankah begitu, Kak?"
Arvy mengedikkan bahu, ia mengambil cangkir kopinya di meja dengan tenang.
"Apa sangat sulit mengatakan bahwa kau sama dengan Amy? Apakah sulit mengatakan kalau kau indigo?"
Arvy yang hendak menyeruput kopi, kini gelasnya tertahan di depan muka, tepi gelas belum menyentuh bibirnya. Ia menaruhnya kembali dan menatap Dio.
"Sepertinya kau sudah mengetahuinya sejak awal. Kenapa baru mengaku sekarang?"
Brak!
Terdengar suara pintu kamar terbuka. Amy menguap lebar sembari melangkah ke arah mereka. Ia menggaruk-garuk rambutnya yang acak-acakkan.
"Dio? Arvy? Siapa diantara kalian yang mau membuatkanku omeletto?"
"HA?!" teriak mereka berdua.