webnovel

Festival Northendell

Ronan menepati janjinya untuk menemani Arielle untuk datang ke festival yang diadakan di alun-alun kota. Namun, sebelum meninggalkan istana, Ronan melepaskan topengnya dan menggantinya dengan melilitkan kain untuk menutupi wajahnya. Selain itu Ronan juga tak lupa memasang tudung mantelnya sehingga orang-orang tak bisa mengenalinya dengan warna netranya.

"Apakah Yang Mulia tak merasa sesak?" tanya Arielle khawatir melihat kain hitam yang menutupi setengah dari wajah pria itu.

"Tidak. Aku cukup nyaman dengan ini," jawab Ronan.

Keduanya berkuda di satu kuda yang sama meninggalkan istana. Tentu juga ditemani oleh beberapa ksatria yang mengenakan pakaian biasa. Pakaiannya yang serba hitam berbanding terbalik dengan pakaian Arielle yang berwarna putih. Meskipun gaun tersebut cukup sederhana namun rambut Arielle yang putih membuat Arielle terlihat seperti peri salju.

Sesampainya di dekat alun-alun, Ronan membantu Arielle turun. Salah seorang prajurit bertugas menjaga kuda sang raja.

Ronan menawarkan lengannya yang diterima oleh Arielle untuk dipegang. Keduanya terlihat sangat berbeda. Satu dengan aura yang gelap dan satunya lagi penuh akan kecerahan. Arielle mengetatkan mantelnya karena udara malam sangat dingin.

Namun saat dirinya melewati seorang pria yang mengenakan pakaian mirip para murid pendeta di Cathedral suhu udara menjadi sangat hangat membuat wajah Arielle merona.

"Bagaimana bisa?" tanya Arielle bingung.

"Ada enam pendeta yang tersebar mengelilingi alun-alun untuk memberi kehangatan kepada orang-orang yang datang untuk menikmati festival."

"Termasuk Pendeta Elis?"

"Tentu tidak. Pendeta Elis selalu dibutuhkan di Cathedral. Mereka adalah murid-murid yang kamarnya sempat kau bersihkan."

Arielle menatap kagum remaja yang tengah membentuk trigram panas tersebut. Arielle yang tak lagi merasa dingin melepaskan mantelnya. Dan benar saja, angin yang menerpa cukup hangat, mengingatkannya akan udara di Niverdell.

Di alun-alun, banyak digantung lampion yang terbuat dari kertas berwarna-warni. Setiap orang berkeliling melihat apa pun yang para penjual tawarkan. Banyak tenda makanan atau barang-barang dibuka.

Mulut Ariell ternganga karena merasa terpukau melihat ini semua. Festival di Northendell terlihat jauh berbeda dari yang ia bayangkan. Alun-alun yang dikunjunginya ini terasa hangat akan cengkerama berbagai orang di setiap sudutnya. Orang-orang bergerombol tertawa dan memainkan alat musik mereka. Anak kecil berlarian saling kejar-kejaran di antara orang dewasa yang sibuk menikmati kebahagiaan mereka.

"Ingin mencoba sesuatu?" tawar Ronan.

"Apakah Yang Mulia memiliki rekomendasi?"

"Tentu saja."

Arielle digiring ke sebuah meja yang berjualan makanan. Arielle megenali tempat ini. Di belakang tenda orang berjualan itu adlaah penginapan yang sama tempat ia menemukan Tania.

"Bukankah ini adalah penginapan itu?"

"Benar."

Arielle melihat papan nama penginapan dan mulai menyebutkan abjad yang tertulis di sana.

"F-A-M-I-L…. er… J?"

"Itu adalah Y."

"Oh, Ya! Aku ingat.. Y. Kemudian… I-N-N!" seru Arielle antusias. Ia menoleh ke arah Ronan meminta penilaian.

"Sempurna. Semuanya dibaca, family inn."

Arielle mengangguk merasa senang. Hanya sehari ia sudah mulai tahu abjad yang sering ia hiraukan. Ronan membayar untuk segelas jagung rebus yang telah dipisahkan kemudian ditaburkan cairan gula."

Ariele bersenandung bahagia saat lidahnya mengecap rasa manis itu. Tak sampai di sana, Ronan terus menawarkannya berbagai jenis makanan. Mulai dari yang sangat manis hingga sangat pedas.

"Perutku sudah tidak mampu menampung makanan lagi, Yang Mulia," ujar Arielle.

"Tapi kau akan menyukai ini."

Arielle benar-benar merasa perutnya sudah di ambang batas. Namun Ronan terus menariknya untuk ikut. Ronan membawanya ke orang yang berjualan buah. Mata Arielle yang mulai lelah seketika membulat. Dibalik kain yang menutupi wajahnya, Ronan tersenyum lebar melihat binar di kedua mata Arielle saat melihat buah Frostberry.

Ronan membeli satu wadah berukuran sedang, berisikan beberapa belas buah Frostberyy. Pria itu mengajak Arille untuk duduk di dekat patung serigala di tengah alun-alun.

Beberapa anak mulai berlarian membawa petasan membuat mereka kena tegur oleh orang dewasa yang merasa terganggu. Arielle tertawa melihatnya. Ronan meraih mantel yang Arielle bawa sedari tadi agar gadis itu bisa makan buah-buah itu dengan leluasa.

"Tadi Tuan Putri bilang bahwa sudah merasa kenyang?"

Arielle berhenti, tak jadi memasukkan buah Fostberry tersebut ke dalam mulutnya.

"Aku bilang aku tak bisa menampung makanan lagi. Tapi aku masih bisa menampung buah," jawab Arielle lugas.

Ronan mengangkat jarinya untuk menghapus sisa kemerahan dari cairan buah Frostberry di pinggir bibir Arielle.

"Apakah Anda sering keluar istana seperti ini, Yang Mulia?"

"Seperti apa?"

"Dengan menutupi wajah Anda."

Ronan bergumam panjang. Pria itu mengistirahatkan dua tangannya di pangkuan kemudian melihat langit gelap di atasnya. "Tidak, seperti ini lebih baik. Aku ingin mereka menikmati malam-malam berbahagia seperti ini tanpa terusik oleh kehadiranku."

Kembang api mulai dinyalakan serempak. Saat pria itu mendongak, cahaya kembang api memantul di netra merahnya. Musik di sekeliling semakin ramai dan orang-orang bersorak lebih riuh. Arielle menatap sekeliling dengan bingung karena orang-orang di sekitarnya mulai berdiri dan berjalan cepat ke arah utara.

"Ada apa?"

"Sebentar lagi puncak acaranya," jawab Ronan santai.

"Apakah ada pertunjukan?"

"Hm-hm. Kau ingin melihatnya?"

"Tentu saja!"

Arielle bergegas meletakkan buah-buah Frostberry tersbeut dan menarik tangan Ronan untuk bergegas. Ronan hanya tersenyum saat Arielle dengan tubuh kecilnya memaksa masuk di sela-sela tubuh pria dewasa yang jauh lebih besar darinya. Gadis itu sangat ingin berada di baris terdepan. Ronan mengikuti langkah Arielle dari belakang.

Yang membuat Ronan begitu terpukau adalah bagaimana Arielle terus menyerobot masuk dan mengucapkan kata maaf dengan begitu mudah. Ronan hampir tertawa melihat wajah Arielle yang berpura-pura merasa bersalah saat tak sengaja menyikut seorang pria yang tubuhnya dua kali lebih besar dari tubuh gadis itu sendiri.

"Hei, apa yang kau lakukan!" protes pria tersebut.

Ronan menurunkan sedikit kain penutup wajahnya agar pria itu bisa melihat matanya. Dari belakang tubuh Arielle, Ronan menunjukkan cincin tanda kerajaan membuat pria itu terbungkam seketika.

"Ya-Ya-Yang Mulia…"

Ronan mengibaskan tangannya meminta pria itu memberi jalan untuk Arielle. Pria itu pun mundur satu langkah dan Arielle bisa lebih leluasa menerobos orang lainnya. Sesampainya di depan, kerumunan lebih padat membuat tubuh keduanya menempel lekat.

Ronan pun berdiri di belakang Arielle untuk menjaga gadis itu.

"Ugh… Tuan… bisakah kau memberiku jalan….."

Arielle menoleh ke samping melihat seorang anak laki-laki kesusahan menerobos tubuh Ronan. Arielle yang merasa kasihan meminta Ronan untuk bergeser sedikit dan menginginkan anak itu untuk berdiri di depannya.

"Terima kasih, Nona," ujar anak tersebut tersenyum lebar menunjukkan salah satu giginya yang bolong. Arielle menepuk pelan rambut anak itu.

"Dengan senang hati," balasnya.

"Mengapa kau memberikan tempatmu padanya?" tanya Ronan.

"Ia hanyalah anak kecil. Lihatlah, bahkan tingginya tak mencapai perutku. Aku masih bisa melihat dengan leluasa."

Ronan tak membalas. Ia membiarkan Arielle melakukan apa pun sesuka hatinya.

Pertunjukan dimulai dengan kemunculan seorang prajurit perang yang gagah. Seorang narator memperkenalkan pria itu sebagai raja pertama Northendell. Arielle bertepuk tangan antusias bersama para penonton lain saat Raja Northendell berhasil mengalahkan para musuhnya dan membangun kerajaan bersama para prajurit juga warganya.

Suatu hari sang raja bertemu dengan seorang wanita di pegunungan Birwick. Wanita itu sangat cantik digambarkan memiliki warna rambut seputih salju. Alis Arielle otomatis terangkat melihat aktris yang menggunakan wig berwarna putih itu. Ia melihat rambutnya kembali namun Arielle mencoba tak terlalu memikirkannya karena di sekelilingnya banyak orang yang memiliki warna rambut berbeda. Pirang, cokelat, hitam, hingga merah.

Mungkin hanya kebetulan semata, pikir Arielle.

Raja Northendell jatuh cinta pada pandangan pertama kepada wanita itu. Saat dibawa kembali istana, wanita itu menyadari bahwa dirinya bukanlah yang pertama. Raja Northendell sudah memiliki ratu dan dirinya hanya akan menjadi selir.

Meskipun Raja Northendell telah menunjukkan kasih dan cintanya, tetapi wanita itu tak merasa puas. Ia selalu iri melihat ratu yang bersahaja. Hingga pada suatu hari, wanita tersebut bersekongkol dengan penyihir hitam dari gunung Birwick.

Dengan sihir hitamnya ia membunuh ratu. Setelah melewati masa berkabung, raja memutuskan untuk mengangkat wanita berambut putih itu sebagai ratu. Meskipun begitu anak yang dikandungnya tidak bisa menjadi pewaris tahta kerajaan karena Northendell telah memiliki putra mahkota dan seorang pangeran lain dari mendiang ratu.

Merasa tak puas, wanita berambut putih itu mengutuk pangeran mahkota menjadi seekor serigala tepat di malam bulan purnama. Raja pun mengetahui apa yang telah wanita itu lakukan selama ini. Termasuk telah membunuh mendiang ratu.

Bersama para pendeta dan seluruh prajurit yang dimilikinya, Raja mengusir wanita itu untuk kembali ke gunung Birwick. Namun wanita itu semakin dendam karena gagal menjadi seorang ratu.

Kemarahan wanita itu memperkuat sihir hitamnya dan menyiksa putra mahkota dengan menghilangkan sisi manusianya setiap bulan purnama tiba. Hingga bulan purnama selanjutnya, sisi hewani putra mahkota tak dapat lagi dibendung dan akhirnya melukai sang adik hingga tewas.

Tak sampai di sana, ia mengutuk seluruh kerjaan agar tidak pernah lagi mendapatkan sinar matahari. Sejak saat itu salju tak pernah berhenti turun di Northendell. Banyak ladang yang gagal panen dan orang-orang mengalami hipotermia.

Raja yang patah hati oleh kondisi putra mahkota serta salju abadi di kerajaannya, diliputi oleh amarah. Bersama seluruh prajuritnya ia menuju gunung Birwick dan membakar hidup-hidup wanita itu beserta bayinya yang baru lahir.

Sang penyihir pun dibinasakan. Dan hari itu beberapa prajurit yang mengalami hipotermia parah perlahan mulai menghangatkan tubuhnya dengan mana yang terbuka secara alami.

Sejak saat itulah Northendell perlahan mulai bangkit dari keterpurukan dan mampu bertahan di cuaca ekstrem ini. Namun, hingga saat ini dikabarkan sisa kutukan itu masih terus dibawa oleh keturunan putra mahkota pertama.

Pertunjukkan diakhiri dnegan membakar jerami yang dibentuk sedemikian rupa layaknya seorang perempuan. Semua orang bertepuk tangan bersorak gembira namun Arielle masih termenung memikirkan cerita tadi.

Ia menoleh ke belakang untuk bertanya. "Apakah benar demikian?"

"Aku tidak bisa mengatakan hal itu benar. Itu adalah mitos yang telah terjadi ratusan tahun lamanya. Cerita itu telah diceritakan dari mulut ke mulut sehingga pasti ada banyak hal yang dilebih-lebihkan," jawab Ronan tanpa ekspresi.

Arielle mengangguk. Para aktor dan aktris pertunjukan mulai membagikan bunga kepada setiap pengunjung di barisan terdepan. Arielle mendapatkan satu bunga mawar merah. Pemeran wanita yang menjadi penyihir berambut putih itu menatap Arielle dengan ekspresi terpukau. Ia mengerjap-kerjapkan matanya berkali-kali melihat keindahan rambut putih milik Arielle.

Wanita itu mendongak kemudian mendapatkan tatapan tajam Ronan. Seketika itu juga sang aktris menundukkan kepalanya dan mengundurkan diri.

"Aku mendapatkan bunga," ujar Arielle dengan senang.

Ronan melembutkan tatapannya. "Cocok denganmu."

"Terima kasih, Yang Mulia."

Semua orang mulai meninggalkan alun-alun dan udara semakin dingin tanda para murid Cathedral telah berhenti bekerja. Ronan membantu Arielle menganakan kembali mantelnya.

Arielle menyimpan bunga pemberian aktris tadi. Anak laki-laki kecil yang berdiri di depannya tadi memanggil Arielle.

"Nona! Tunggu dulu!"

Arielle dan Ronan pun berbalik. Anak Itu mengulurkan tangannya yang terdapat bunga mawar yang sama seperti yang Arielle terima.Wajah anak itu merona dan ia melirik ke arah Arielle malu-malu.

"Ini apa?"

"Ambillah. Anak laki-laki sepertiku tak membutuhkan setangkai bunga mawar. Jadi kuputuskan kuberikan kepada nona saja karena sudah membantu memberikan ruang untuk menonton pertunjukkan."

Arielle merasa terharu. Namun saat ia ingin menerima bunga itu Ronan menghalanginya.

"Apakah kau tak memiliki seorang saudara perempuan atau ibu? Berikan saja kepada mereka," tukas Ronan ketus.

Anak itu melirik Ronan dengan ekspresi tak tertarik. Setelah memperhatikan Ronan dari atas hingga bawah, anak itu berdecak membuat darah pria itu mendidih.

Berani-beraninya seorang bocah tengik berdecak di depannya!

"Nona, tolong sampaikan kepada mengawal Anda agar tidak ikut campur urusan Anda."

"Apa kau bilang?" geram Ronan kesal. Arielle menahan tubuh Ronan agar tidak membalas ucapan anak itu.

"Terima kasih atas bunganya. Senang bertemu denganmu," ujar Arielle dengan ramah.

Wajah anak itu merona semerah tomat. Ia mengulurkan tangannya sekali lagi dan Arielle yang bingung lalu menerima uluran tangan itu. Ronan hampir mengeluarkan pedangnya saat anak itu dengan dengan beraninya mencium punggung tangan Arielle.

Anak itu lalu berlari meninggalkan Arielle yang terpaku di tempat. Namun sebelum jauh ia berbalik lagi. "Nona! Tunggu aku hingga beberapa tahun ke depan! Aku akan datang melamarmu!"

Arielle tersenyum lebar mendengar ucapan sang bocah lelaki yang menurutnya lucu itu.

"Awww… bukankah dia sangat imut?" tanya Arielle kepada Ronan yang tengah menggertakkan giginya menahan amarah.

Arielle mengangkat tangannya, membalas lambaian tangan anak itu yang kemudian menghilang dengan orang-orang yang meninggalkan alun-alun.

"Ayo, kita juga harus kembali," ajak Arielle.

Ronan yang masih kesal, hanya memilih diam. Di atas kuda pun pria itu tetap merasa kesal setiap kali Arielle menatap dua tangkai bunga mawar di tangannya. Rasanya ia ingin menginjak-injak salah satu tangkai mawar itu.

Melewati gerbang istana, salju mulai turun kembali dan Ronan mengantarkan Arielle hingga halaman istana Whitethorn. Pria itu segera berbalik tanpa mengucapkan selamat malam membuat Arielle bingung. Namun sebelum Ronan melangkahkan kakinya, Arielle segera meraih mantel pria itu.

"Yang Mulia? Anda baik-baik saja?"

"Tidak. Aku sedang tidak baik-baik saja."

Arielle berjalan mengitari pria itu untuk berhadapan langsung. "Ada apa?" tanyanya lembut.

"Aku tidak suka anak laki-laki tadi."

"Huh? Apa yang anak itu perbuat? Aku rasa dia cukup manis."

"Manis? Arielle, aku tidak menyukainya karena anak itu mencium tanganmu. Juga mengatakan ia akan menikahimu."

Hah? Arielle hampir tertawa lepas mendengar ucapan sang raja. Namun, melihat tatapan tajam yang Ronan berikan ia hanya bisa mengulum bibirnya.

"Yang Mulia… Apa yang membuat Anda kesal? Aku tidak akan benar-benar menikahinya, kok. Aku akan kembali ke Nieverdell sebelum anak itu tumbuh menjadi remaja."

Ronan merasa resah. Kekesalannya benar-benar tak berdasar. Namun melihat wajah anak itu sungguh mengusiknya, terutama karena anak itu dengan berani melamar Arielle di depan wajahnya.

Seandainya saja anak itu tahu bahwa ia adalah seorang raja. Ronan ingin sekali melihat wajah ketakutan anak itu. Terlebih lagi Arielle menambahkan bahwa ia akan kembali ke Niverdell…

Ronan melangkah maju dan merengkuh tubuh Arielle erat. "Hei, bisakah kau tinggal lebih lama di utara? Meskipun keluargamu telah mengirim bayi serigala pengganti tapi aku harap kau bisa tinggal lebih lama di sini."

Arielle membalas melingkarkan tangannya pada sang raja. "Anda bisa mengundangku berkali-kali jika ingin. Kita berteman, bukan?"

"Hm-hm."

Arielle menjauhkan tubuhnya dan sekarang Ronan merasa lebih baik. Ia menyentuh wajah Arielle yang mulai merona akibat dinginnya suhu malam hari. "Untuk yang terakhir, bagaimana perasaanmu tentang festival malam ini?"

"Sangat menyenangkan! Aku akan selalu mengingat malam ini sepenuh hatiku. Dan semua ini… berkat Anda, Yang Mulia."

"Aku senang jika kau merasa bahagia."

"Tapi izinkan aku membalas kebaikan Anda," pinta Arielle.

"Dengan?"

"Bisakah Anda menutup mata Anda, Yang Mulia?"

"Sekaarang?" Arielle mengangguk. Ronan melihat sekeliling mencari tahu dengan apa Arielle akan membalasnya.

"Bisakah Anda memejamkan mata Anda lebih cepat? Malam sudah semakin dingin," ujar Arielle dengan senyum lebar. Uap yang keluar dari mulutnya semakin tebal membuat Ronan merasa bersalah telah menahan Arielle cukup lama.

Pria itu pun menutup matanya. Arielle meraih kerah baju Ronan untuk menariknya mendekat. Pria itu terlalu tinggi dari jangkauannya.

Sebagai rasa terima kasihnya, Arielle memberikan sebuah kecupan singkat di pipi kanan pria itu.

Ronan butuh waktu beberapa detik untuk memproses apa yang terjadi. Ia menegakkan kembali tubuhnya untuk menatap Arielle lekat-lekat.

"Apa yang barusan kau lakukan?"

"Memberikan Anda sebuah kecupan?" jawab Arielle yang juga ragu.

"Kenapa kau tak memberi tahuku terlebih dahulu?"

"Kenapa?"

Ronan membuka kain penutup wajahnya membuat Arielle bingung.

"Bisakah kau mengulanginya?"

"Huh?

"Lakukan sekali lagi tanpa ada kain ini yang menutupi wajahku."

"Yang Mulia?"

Ronan mengambil satu langkah maju membuat Arielle mundur tanpa sadar. Pria itu mencondongkan tubuhnya memberikan pipinya ke arah Arielle. Ronan memejamkan matanya menunggu bibir gadis itu mendarat di pipinya.

Namun bukan sebuah kecupan yang didapat. Yang ada Arielle lari kabur membuat Ronan tersenyum getir.

"Mungkin belum saatnya," gumamnya kemudian berlalu meninggalkan istana Whitethorn untuk kembali ke istana Blackthorn.

Malam itu tiba-tiba malam jadi terasa sangat hangat bagi Ronan meskipun salju terus turun hingga pagi hari.

Bab berikutnya