webnovel

25. Tentang Michael

Aku mengompres sisi bibirnya yang sudah terlihat membiru. Sesekali melirik padanya yang juga mencuri-curi pandang padaku. Kami canggung sekali saat ini, Michael bertingkah seakan kepergok melakukan hal buruk dan merasa bersalah padaku, "Aneh.." bisikku, tak terlalu yakin untuk melanjutkan kalimatku.

"Hm?" Michael menoleh padaku, matanya membulat penuh tanya.

"Begini Michael. Bukankah kau pandai berkelahi? Lantas kenapa kau membiarkannya memukulmu?" alisku saling bertautan. Hal ini sangat mengangguku, tentu saja karena pemuda di hadapanku ini percaya tida percaya telah mengalahkan 5 preman berbadan kekar sekaligus dalam hitungan menit. Tapi tadi, dia bahkan tersungkur hanya karena sebuah tinju yang bahkan terlihat tak begitu keras.

Mendengar pertanyaanku, Michael langsung memalingkan wajahnya. Ia tak ingin percakapan ini berlanjut dan aku memahaminya, aku harus berhenti bertanya perihal ini. Bahkan seorang Michael yang suka menceritakan hal-hal remeh semacam tali sepatu yang baru ia beli saja, memiliki satu dua hal yang ingin disembunyikan.

Tak ada jawaban yang bisa aku dapatkan.

"Oh iya! Aku bawakan cake untukmu." Aku meraih Paper bag yang sejak beberapa menit lalu terlupakan. Ah.. cake yang malang. Ia sempat terjatuh saat aku melindungi Michael, jadi bentuknya tak seperti pada awalnya. Aku tertawa namun kecewa, menunjukan cake itu pada Michael. Kuharap dia tak kecewa dengan bentuknya.

Tapi, mata Michael seketika berbinar saat box cakenya aku buka, "Astaga Maria, kau susah payah membuat dan mengantarnya untukku?!" Sekarang pandangan berbinar itu menatapku, sungguh menyilaukan. Seakan cahaya Tuhan memancar dari matanya. "Terimakasih banyak Maria!!" Michael berseru, aku bisa merasakan pancaran rasa terimakasih yang meledak dan menghempasku. Oke mungkin aku berlebihan.

"Sejujurnya aku menunggumu datang, sejak pagi.." aku terus memandangi jalanan dari pintu garasi yang terbuka setengah, "tapi kau tak kunjung tiba," Suasana di sini sangat sepi dan tak banyak orang berlalu lalang. Rasanya, tempat ini seperti terisolir dari dunia luar, tak ada suara-suara kehidupan yang kudengar dari luar. Bahkan suara burung.

"Maafkan aku Maria, sebenarnya aku juga ingin ke rumahmu tapi ada banyak hal yang tejadi." Michael menggaruk pipinya. Ia cengengesan, persis seperti remaja yang malu-malu sehabis melakukan kebohongan.

Pandanganku beralih dari luar sana pada wajah Michael yang seperti biasa, tampan. Aku sebenarnya sangat penasaran dengan apa yang terjadi padanya, tapi jika Michael tak ingin membicarakannya aku tak akan bertanya.

"Tidak apa-apa, yang terpenting cake ini sudah ada padamu sekarang," Aku tersenyum padanya, aku ingin perasaanku tersampaikan dari cake buatanku padanya. Karena aku membuatnya sambil terus memikirkan Michael.

"Maria, mau makan di atas? Setidaknya di atas ruangannya lebih tertata." Michael bangkit dari duduknya, menunjuk ke arah tangga dengan ibu jarinya. Pandanganku mengikuti arah yang ia tunjuk, meski yang kulihat hanya sebuah anak tangga yang terbuat dari beton di sudut ruangan. Beralih melihat ke arah Michael, mengangguk pelan lalu tersenyum.

Ada rasa was was dalam diriku, karena kami hanya berdua di sini. Tapi, Michael telah berjanji padaku untuk tidak melakukan hal yang tidak aku inginkan dan tidak aku sukai. Bukankah tadi Michael meminta izin terlebih dahulu jika ia ingin memelukku? Aku bisa mempercayai pria ini sekarang.

Langkahku pelan mengikuti Michael, meninggalkan ruangan besar yang sejujurnya memang diperuntukkan untuk garasi, namun Michael menyulapnya menjadi sebuah ruang tamu besar dengan tiga sofa berbahan kulit imitasi dan meja bundar di depannya. Langkahku menaiki satu demi satu anak tangga, hanya punggung Michael yang bisa aku lihat saat ini, punggung yang lebar dan kokoh.

Lalu perlahan, pemandangan sebuah ruangan masuk ke dalam ruang penglihatanku. Ruangan itu berisi sebuah ranjang minimalis dengan sprei abu-abu, ada sebuah gitar akustik berwarna coklat tua yang di sandarkan di sisinya. Sebuah jendela besar berada di tengah-tengah dinding, kusennya dicat merah marun senada dengan warna pintu garasi di lantai bawah. Sedangkan kordynnya berwarna abu-abu tua. Sesekali angin dari luar jendela membuat kordyn gelap itu berayun, Lalu ada sebuah ruangan terpisah di sebelah kanan. Dari puncak tangga aku bisa melihat bahwa ruangan itu adalah dapur dan sebuah pintu minimalis yang aku tebak kamar mandi.

Masih berdiri di puncak tangga, Michael mengibas-kibaskan tangannya di depan wajahku sehingga akhirnya aku menoleh padanya, Michael tertawa.

"Ada apa? Kau melamun," suara kekehan masih terdengar darinya.

"Rumahmu terasa sangat nyaman. Kecuali bagasi di bawah," Aku berkata jujur. Garasi di bawah terkesan seperti tempat pertemuan para geng kriminal.

Michael tertawa lagi, lalu melangkah menuju dapur. Mempersiapkan alat-alat makan untuk menyantap cake buatanku. "Duduk dimana pun kau suka, Maria. Di dalam sini aku tak punya kursi."

Akhirnya aku mendudukkan diri di atas kasurnya yang terasa hangat dan lembut. Di sinilah Michael biasa tidur, aku bahkan bisa menghirup aroma parfumnya samar-samar.

Tak lama Michael datang dengan sebuah meja kecil lipat di tangan kanannya dan tumpukan piring serta pisau dan garpu di tangan kirinya. Aku membantunya membukakan meja dan membuka box kue yang sempat aku buka di bawah tadi. Michael duduk di lantai menghadap cake dan meraih sebuah lilin kecil dari kantung bajunya.

Mataku membulat ketika ia menancapkan lilin kecil itu dan mulai menyalakannya. Tunggu .. cake ini kan hanya makanan iseng yang aku buat. Apakah ini hari ulangtahun Michae?!

"Michael.. apakah hari ini hari ulang tahunmu?" Aku gelagapan. Kalau memang iya, kenapa dia tak mengatakannya? Aku tak sempat menyiapkan Hadiah apa pun.

"Ya, mulai saat ini." Dia menatapku lalu tersenyum-senyum. Pipi putihnya merona, terlihat begitu bahagia.

Tunggu.. apa maksudnya itu?!

"Serius Michael! Aku akan keluar sebentar untuk mencari sebuah hadiah, bisa kita tunda ini?" Aku sudah bangkit, tapi Michael meraih tanganku.

"Aku bahkan tak tahu kapan aku dilahirkan, Maria. Oleh siapa tepatnya dan di musim apa itu.." tatapan Michael menjadi sendu sekarang. Kesedihan yang ia rasakan seakan menular dari sentuhan tangannya. Aku kembali duduk di lantai, menatap jari jemari Michael yang kuku-kukunya sedikit kotor karena noda oli.

'Michael Brown?'

Suara pemuda di jalan tadi terngiang di kepalaku. Sebuah nama yg ia sebutkan adalah milik Michael. Tapi aku tak mengetahuinya.. Nama, tanggal lahir, makanan dan minuman favorit, tempat yang biasa ia kunjungi, semuanya..

Aku tak tahu apa pun tentangnya.

Tanganku masih dalam genggaman tangan Michael yang kasar dan besar. Dengan kedua tanganku aku membuka telapak tangan Michael. mengelus permukaan kulit arinya yang keras di beberapa bagian. Dia adalah pria pekerja keras, kapalan di tangannya memberitahukan itu padaku.

Aku tak tahu apa yg sedang Michael pikirkan sekarang, tapi yang pasti aku ingin perasaanku ini mengalir padanya.

***

Bab berikutnya