webnovel

Chapter 68 Barbara Flashback

"Aku belum pernah melihat hal yang seberantakan ini," Ariya melihat sekitar bersama Barbara yang mengikutinya di belakang, mereka sudah samai di lantai tujuan dan di sana aman aman saja.

"Mungkin karena mereka panik kemudian buru buru untuk pergi begitu saja.... Dan meninggalkan pekerjaan mereka," tambah Barbara.

"Oh ya, ngomong ngomong soal pekerjaan, apa pekerjaan Barbara sebelum nya?" Ariya menatap mencoba akrab.

"Hm... Aku dulu adalah seorang fotografer yang belum terkenal, sebenarnya hanya sebatas menikmati hobi tapi ketika aku dapat uang dari sana, aku menganggap nya pekerjaan," kata Barbara.

"Dulu, sebelum kiamat ini terjadi, aku adalah seorang fotografer dari studio ku sendiri," tambahnya.

--

Terlihat di sebuah garasi kecil yang hanya berbentuk persegi dengan atap segitiga. Di sana ada cahaya pemotretan yang terang di antara malam yang begitu gelap di luar sana.

"Oh, itu bagus kawan, lakukan itu gadis," kata Barbara menatap kamera mahal nya yang di arahkan ke seorang wanita yang menggunakan pakaian tipis seksi dengan rantai mengikat kedua tangan dan kakinya, dia tersenyum haus darah, sepertinya dia adalah model dari pemotretan Barbara.

"Apa ini cukup... Raw...." Wanita itu menatap sok cantik.

"Yah, terus lakukan itu, katakan padaku jika rantai nya sakit, itu hanya properti," Barbara kembali memotret.

Kemudian Barbara baru saja menyelesaikan sesi pemotretan terakhirnya untuk hari itu di studio kecilnya yang terletak di pinggiran kota. Studio tersebut adalah ruang yang nyaman dan artistik, penuh dengan perlengkapan fotografi, kain backdrop, dan beberapa furnitur antik yang sering digunakan sebagai properti. Sebuah pintu besar di sisi belakang studio terhubung dengan garasi, tempat Barbara menyimpan peralatan yang lebih besar dan sesekali digunakan untuk proyek khusus.

Sore itu, matahari mulai tenggelam di balik horizon, menciptakan suasana keemasan yang menyelimuti studio. Barbara menatap jam dinding, lalu mengalihkan pandangannya ke arah model wanita yang tengah berganti pakaian di balik tirai. Wanita itu, seorang model muda berambut cokelat panjang, sedang menata kembali gaun yang baru saja dipakainya untuk pemotretan.

"Terima kasih sudah datang hari ini," ucap Barbara sambil membereskan kamera dan lensa di meja kerjanya. "Hasil fotonya pasti akan luar biasa. Gaun itu sangat cocok denganmu."

Model itu tersenyum sambil mengikat rambutnya. "Terima kasih juga, Barbara. Kau benar-benar tahu cara membuat seseorang terlihat cantik di depan kamera."

Barbara tersenyum. "Kau sudah cantik dari sananya. Aku hanya membantu menonjolkan apa yang sudah ada."

Mereka berbincang ringan tentang proyek-proyek lain yang mungkin akan mereka kerjakan bersama, rencana liburan, dan berita terbaru di televisi. Suasana di dalam studio terasa hangat dan nyaman, meskipun di luar, hari semakin gelap.

"Ah, aku harus cepat pulang. Hari sudah mulai malam," kata model itu sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. "Apa kau masih akan tinggal di sini?"

Barbara mengangguk. "Masih ada beberapa hal yang perlu dibereskan. Aku akan pulang setelah ini."

Mereka berpisah di depan studio, dan Barbara kembali masuk untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sementara model itu keluar dari pintu depan, Barbara menuju ke garasi di belakang studio untuk menyimpan beberapa properti yang tidak lagi diperlukan. Ia menyalakan lampu kecil di sudut garasi, menerangi ruangan yang sepi dan sedikit berdebu.

Saat ia membereskan alat-alat dan kain-kain besar yang telah digunakan, sebuah suara aneh terdengar dari luar garasi. Barbara berhenti sejenak, mengernyitkan dahi, dan mendengarkan dengan seksama. Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, seperti sesuatu yang berat menggesek lantai.

"Siapa di sana?" panggil Barbara dengan nada waspada. Ia mendekati pintu garasi yang terbuka setengah, namun tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menjawabnya.

Merasa sedikit cemas, Barbara melangkah lebih dekat ke pintu, mencoba melihat ke luar. Dalam cahaya yang redup, ia tidak bisa melihat apapun dengan jelas, hanya bayangan-bayangan samar dari benda-benda di luar.

Namun tiba-tiba, tanpa peringatan, pintu garasi terdorong dengan keras, dan sebuah tubuh roboh ke dalam ruangan. Barbara terkejut, mundur dengan cepat saat melihat model yang tadi baru saja pergi, sekarang tergeletak di lantai garasi. Wajahnya penuh luka, dan darah segar mengalir dari goresan-goresan di seluruh tubuhnya. Matanya terbuka lebar, menatap Barbara dengan ketakutan yang mendalam.

"Apa yang terjadi?" seru Barbara, mendekati wanita itu. Namun sebelum dia bisa menyentuhnya, sebuah geraman rendah terdengar dari luar garasi.

Barbara mendongak, dan hatinya tercekat melihat beberapa sosok bergerak perlahan ke dalam garasi. Mereka adalah manusia, tapi bukan manusia biasa. Wajah-wajah mereka rusak, tubuh mereka bergerak dengan gerakan yang tidak wajar, dan bau busuk menguar dari tubuh mereka yang membusuk.

"Tidak mungkin..." Barbara tampak tak percaya melihat itu, darahnya terasa membeku.

Para zombie itu menyerbu masuk ke garasi, mata mereka yang kosong menatap langsung ke arah Barbara. Wanita model itu, meskipun dalam keadaan sekarat, mencoba merangkak menjauh, tapi salah satu zombie menangkapnya dengan cengkeraman kuat dan mulai menyerangnya tanpa ampun. Jeritan pilu model itu memenuhi ruangan, tapi Barbara tahu dia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Akhhhh!!!!! Ah hhhh!!!"

"(Aku tak bisa melakukan apapun??)" dengan cepat, Barbara melompat ke atas papan kayu yang tergantung di dinding garasi. Ia berpegangan kuat pada palang yang terpasang di sana, tubuhnya gemetar hebat. Dari atas, ia hanya bisa menyaksikan dengan ngeri saat wanita itu dicabik-cabik oleh para zombie yang lapar. Darah memercik ke mana-mana, mengotori lantai garasi yang sudah berantakan.

"Jangan panik… tetap tenang," Barbara berbisik pada dirinya sendiri, mencoba berpikir jernih. Zombie-zombie itu sekarang berkeliaran di bawahnya, mengendus-endus bau manusia, tapi mereka tidak bisa mencapainya di atas papan kayu itu. Namun, Barbara tahu bahwa ia tidak bisa bertahan di sini selamanya. Ia harus mencari jalan keluar dari studio sebelum zombi-zombi itu menemukan cara untuk mencapai dirinya.

Matanya menyapu ruangan, mencari sesuatu yang bisa digunakannya untuk melarikan diri. Ada sebuah jendela kecil di ujung garasi, cukup tinggi di dinding. Mungkin itu satu-satunya jalan keluar. Namun, untuk mencapai jendela itu, Barbara harus melewati para zombi yang masih berkeliaran di bawahnya.

Pikirannya bekerja cepat. Ia harus menciptakan gangguan atau menarik perhatian mereka ke tempat lain. Barbara melirik sekelilingnya, mencoba menemukan sesuatu yang bisa digunakannya. Di atas papan kayu, ada beberapa alat tukang dan benda berat. Ia meraih sebuah kaleng cat tua yang tergeletak di sudut papan.

Dengan hati-hati, Barbara mengangkat kaleng itu, lalu melemparkannya ke sudut lain garasi. Kaleng itu jatuh dengan suara dentingan keras, membuat para zombi berbalik menuju suara tersebut. Mereka bergerak lambat, tapi jelas tertarik oleh suara keras itu.

Kesempatan ini tidak bisa disia-siakan. Dengan sekuat tenaga, Barbara melompat turun dari papan kayu, mendarat dengan lutut yang hampir lemas. Tanpa berpikir panjang, ia berlari menuju jendela kecil itu, memanjat dengan cepat menggunakan rak yang ada di bawahnya.

Saat ia mencapai jendela, ia bisa merasakan tubuhnya mulai kehabisan energi. Dengan usaha terakhir, ia berhasil membuka jendela dan meloloskan diri ke luar. Nafasnya terengah-engah, tubuhnya bergetar, tapi ia berhasil.

Di luar, malam sudah sepenuhnya tiba. Barbara berlari ke jalan utama tanpa menoleh ke belakang. Bayangan zombie yang ada di garasi masih menghantui pikirannya, tapi ia tahu ia harus terus berlari, mencari tempat aman.

Barbara tahu bahwa dirinya baru saja selamat dari maut, tapi di dalam hatinya, ada ketakutan yang dalam bahwa ancaman yang lebih besar mungkin masih mengintainya di luar sana. Namun untuk sekarang, yang penting adalah selamat. Ia harus menemukan tempat berlindung dan mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Zombie-zombie itu, dan dunia yang sekarang dihadapinya, adalah sesuatu yang belum pernah dia bayangkan sebelumnya. Dan dengan setiap langkahnya di malam yang dingin itu, Barbara sadar bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Barbara berlari tanpa henti di jalanan sepi yang membentang di hadapannya. Hawa malam yang dingin menusuk kulitnya, namun adrenalin yang mengalir di tubuhnya membuatnya terus bergerak maju. Kaki-kakinya semakin lelah, tapi pikiran tentang apa yang baru saja ia alami di studio membuatnya tak berani berhenti. Bayangan model yang dicabik-cabik oleh zombie masih jelas di pikirannya, dan suara jeritannya terus menggema dalam benaknya.

"Apa yang terjadi? Kenapa ada zombie di sini?" gumam Barbara pada dirinya sendiri, nafasnya terengah-engah. "Ini tidak mungkin nyata… apa ini mimpi buruk?"

Ia terus berlari, namun kecepatan langkahnya mulai berkurang. Jalanan yang gelap dan sepi, dengan hanya lampu jalan yang jarang menerangi, membuat suasana semakin mencekam. Tidak ada satu pun mobil atau manusia yang terlihat, hanya kesunyian yang menyelimuti. Barbara mulai merasakan kesepian yang luar biasa, ditambah dengan ketakutan akan bahaya yang mungkin mengintainya di setiap sudut.

"Aku harus bersyukur aku selamat," katanya pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan dirinya untuk tetap tenang. "Tapi… bagaimana kalau zombie-zombie itu mengejar ku? Bagaimana kalau mereka ada di mana-mana?"

Kaki Barbara akhirnya menyerah. Tubuhnya terjatuh di atas aspal keras, dan ia tidak mampu lagi untuk bangkit. Ia tergeletak di sana, terengah-engah, seluruh tubuhnya bergetar karena kelelahan dan ketakutan. Rasanya seperti semua energi dalam dirinya telah terkuras habis.

"Aku tidak bisa terus seperti ini," Barbara bergumam, air mata mulai menggenang di matanya. "Aku tidak bisa terus berlari… aku lelah… sangat lelah."

Di tengah keputusasaannya, pikiran gelap mulai menyusup ke dalam benaknya. "Mungkin lebih baik aku menyerah saja," katanya, suaranya terdengar putus asa. "Apa gunanya bertahan hidup kalau dunia sudah dipenuhi oleh monster-monster itu? Mungkin… mungkin lebih baik aku mati saja daripada menghadapi mimpi buruk ini sendirian."

Ia menatap ke langit yang gelap karena keadaan kiamat itu, tanpa bintang, dan merenungkan apa yang harus dilakukannya. Di kepalanya, suara-suara internal berdebat, sebagian mengajaknya untuk menyerah, sebagian lagi memaksanya untuk bertahan. Namun, di tengah kebimbangan itu, sesuatu menarik perhatiannya.

Dari kejauhan, seberkas cahaya muncul di ujung jalan. Itu adalah lampu depan sebuah mobil, yang perlahan mendekat. Barbara terkejut, lalu dengan cepat bangkit dari tempatnya terjatuh. Mungkin ini adalah kesempatan untuk menyelamatkan diri, pikirnya.

Barbara berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga dalam dirinya. Dengan sekuat tenaga, ia melambai-lambaikan tangannya di tengah jalan, berharap pengemudi mobil itu akan melihatnya.

"Tolong! Tolong aku!" serunya, suaranya terdengar putus asa di tengah keheningan malam.

"(Apakah aku punya harapan hidup?)"

Bab berikutnya