Mereka masuk dan dikejar banyak zombie itu, lalu Dian dan Ariya mendorong lemari besar menahan pintu itu dan mereka sementara bisa bernapas lega di sana. Lalu Roland meletakkan Kachi di bawah.
"Apa yang sakit, katakan padaku," tatapnya dengan serius.
"Tak ada, tak ada yang sakit," Kachi membalas, ia membuang wajah merahnya. Lalu Roland bernapas lega, tapi ia melihat bahwa lutut Kachi berdarah tergores. "Sial... Kau bilang tidak ada yang sakit?!" ia menatap.
"Eh, itu memang tidak berasa tadi."
"Sebentar," Roland berdiri, ia mengacak-acak rak maupun kardus di sana hingga menemukan perban putih kecil. Ia segera kembali berlutut dan membalut luka Kachi.
Sementara Ariya menatap situasi di luar melalui jendela gudang.
"Bagaimana situasinya?" tanya Roland.
"Tidak aman sama sekali. Banyak dari mereka dan sekarang zombie luar telah masuk kawasan ini," kata Ariya, ia melihat pagar kawat itu terbuka dan satu per satu, per kelompok masuk semua.
Lalu Roland terduduk di bawah dan menghela napas panjang putus asa. "Kita terjebak di sini."
"... Tunggu, aku masih bertanya-tanya soal di klinik itu," tatap Dian. Lalu Roland terdiam mengingat bahwa ketika di klinik itu, Dian tidak digigit zombie yang akan menyerangnya.
"Benar juga, itu karena apa?" Roland kembali berpikir.
"Hah, itu memang benar, aku melihat Kachi juga tidak tergigit," tambah Ariya mendekat.
"Apa maksudmu?"
"Kachi, kau ingat, ketika kita di kantin," tatap Ariya pada Kachi.
"Ya, dia memang benar," balas Kachi membuat Roland semakin terkejut.
Sebelumnya ketika wabah belum masuk ke kawasan pelatihan.
Kachi ada di kantin. "Banyak sekali orang di sini," gumamnya. Lalu melihat pelayan wanita terus mondar-mandir membawakan makanan untuk para tentara yang datang satu per satu.
Lalu di saat itu juga Ariya datang. "Kachi, maaf menggangu," tatapnya.
"Ah halo, di mana Roland?" Kachi menatap.
"Senior sedang berjaga di klinik, bagaimana, apa kau sudah memakai losion yang aku berikan, itu sangat efektif untuk menghindari nyamuk luar di sini?" kata Ariya.
"Ya, aku sudah mencobanya di seluruh lenganku dan hasilnya benar-benar memuaskan. Terima kasih," tatap Kachi. Lalu Ariya mengangguk.
Tapi siapa sangka, ada zombie yang masuk menerobos membuat semuanya terkejut, zombie-zombie itu menyerang mereka yang sedang makan dan semuanya membuat Ariya dan Kachi terkelilingi ketakutan.
"Apa yang terjadi?!" Kachi panik dan tiba-tiba ada yang akan menyerangnya.
"Kachi?!" Ariya berteriak panik. Tapi rupanya zombie itu terdiam tidak menyerang Kachi yang menutup mata gemetar ketakutan.
Zombie itu mengendus-endus Kachi dan langsung menoleh ke Ariya yang terdiam. Seketika zombie itu menyerang.
"Akhhh, pergilah," Ariya tidak selemah yang dipikirkan, ia kuat memukul pipi zombie itu hingga membuat zombie itu tumbang dan Kachi terpelongoh melihat itu.
"Kachi, lewat sini!!" dia menarik lengan Kachi masuk ke gudang kantin yang di mana tempat itu ditemukan Roland dan Dian yang mendobrak pintu itu.
--
"Ya, apa yang terakhir kamu pakai?" tatap Roland pada Kachi.
"... Aku memakai losion nyamuk itu," balas Kachi yang baru ingat.
"Ya, ya, aku juga memakai losion itu, dokter apa kau ingat, kau memberitahuku bahwa kau sudah tahu aku memakai losion pada mataku," tambah Dian.
"... Itu mungkin memang benar, jadi losion itu..."
Seketika mereka bertiga berdiri dan mencari-cari, menggeledah rak penuh kardus itu mencari losion yang tersisa.
Tapi tak ada tersisa sama sekali.
"Sial, ini benar-benar merepotkan," Roland kesal sendiri memegang keningnya dengan beban pikiran banyak.
"... Aku akan melakukannya," Kachi berdiri membuat mereka menoleh. "Aku akan ke pusat pemutaran suara itu dan memutar suara untuk kalian bisa keluar," kata Kachi.
"Hah, kau ini jangan sembarangan, jika kau mati, aku juga akan mati nantinya, kau tahu bahwa adikmu itu akan mengadu pada Line-
"Aku tahu itu," Kachi langsung menyela. "Tapi apa kau mau kita terus di sini menunggu mereka mendobrak dan menggigit maupun memakan kita, tidak kan, jadi biarkan aku yang melakukannya," tambah Kachi. Ia lalu melihat jendela di atas.
"Cepat, angkat aku," tatapnya dengan serius.
Roland terdiam, ia lalu akan mendekat tapi baru ingat. "E... Kau saja," tatapnya pada Ariya membuat Ariya bingung.
"Kenapa?"
"Kau tanya kenapa, aku sudah punya pacar."
"Tapi kau baru saja menggendongnya tadi," tatap Dian membuat Roland terdiam kaku.
"Ya, itu karena itu adalah lawan yang berbeda, dia sedang terluka dan aku menggendongnya tadi, tunggu... Kau terluka, kau tak boleh melakukan itu!!" Roland menatap panik.
"Haiz terserah," Kachi menatap serius lalu Roland terdiam, ia menatap ke bawah lalu menghela napas panjang. Ia menatap Ariya dan mengisyaratkan kepala untuk Ariya mendekat ke Kachi.
Lalu Ariya berjalan mendekat ke Kachi dan mengulurkan tangan pijakan. Kachi memegang pundak Ariya dan menginjak tangan Ariya, ia lalu melewati jendela dan keluar.
"... Tunggu, kepalaku... Kachi!! Aku berubah pikiran, kembalilah!!" teriak Roland membuat semuanya terkejut.
Hal itu juga membuat Dian dan Ariya menahan kedua lengan Roland agar tidak ikut keluar. "Senior, kendalikan dirimu, dia sudah pasti aman."
"Akhhh... Sialan... Kita juga tak bisa di sini terus, cepat ambil peralatan yang bisa membuat pertarungan dengan mereka," kata Roland. Lalu Dian dan Ariya mengangguk. Mereka bertiga mulai mencari peralatan yang bisa membantu bertarung.
Sementara itu, Kachi berjalan melewati para zombie itu yang terdiam di tempatnya. Zombie-zombie itu tidak berjalan dan hanya bergerak dengan tubuhnya di tempatnya karena merasakan tak mendeteksi mangsa. Beberapa kali zombie-zombie itu merasakan Kachi lewat tapi tidak bisa mengira Kachi manusia karena losion itu.
Kachi terdiam ketakutan, hingga ia melihat ada tempat siaran musik diputar, tepatnya di lantai dua. Ia segera ke sana dan tempatnya kosong, melihat banyak kaset di sana. "Yang benar saja, ini sudah dunia canggih, masih saja memakai yang seperti ini, apa mereka tidak mengerti zaman?" gumam Kachi, ia lalu asal memasukkan kaset, tapi siapa sangka. Kaset yang diputarnya itu bukan kaset penurunan bendera melainkan seperti kaset untuk senam olahraga.
"Apa itu?" Ariya dan Dian yang mengintip dari jendela menjadi bingung mendengar suara itu dan para zombie itu bergerak akan menggila.
"... Apa kau bercanda," Kachi panik dengan tangannya, ia melepas kaset itu dan langsung memasukkan kaset yang lain dan syukurlah kali ini benar, kaset itu diputar, kaset penurunan bendera.
"Bagus, itu sudah waktunya," kata Ariya. Lalu mereka berdua menatap Roland yang mengumpulkan peralatan, ia merancang seperti kapak dan pemukul kepala.
"Baiklah, ayo kita buat prinsipnya," kata Roland sambil meletakkan kapak itu di bahunya. "Lari, pukul dan lawan," tambahnya. Lalu Ariya dan Dian mengangguk mengerti dengan wajah serius.
Mereka keluar melewati jendela tadi, berjalan di antara zombie yang terdiam mendengar suara lantunan itu terdiam diri dengan tubuh yang mencoba tegak.
Tapi tiba-tiba saja kaset itu berubah menjadi kaset senam lagi membuat mereka bertiga terdiam menatap ruang siaran.
"Sial, apa yang dilakukan wanita itu," Roland kesal.
---
"Apa ini, kenapa berubah," Kachi mencoba mengubah atik itu.
Tapi sepertinya banyak zombie yang akan menyerang ketiga lelaki tadi.
"Ahkk sialan... Lawan mereka!" Roland memukul semua zombie itu dengan kapaknya. Mereka bertiga melawan semua zombie yang datang pelan-pelan itu.
Tapi ketika ada zombie yang menggigit Dian dari belakang, suara penurunan bendera itu telah muncul membuat semua zombie itu terdiam kembali.
"Cepat," Roland berjalan duluan.
---
"Apa sudah bunyi?" Kachi mencoba melihat keluar satu jendela dan semua zombie itu benar terdiam, ia berhasil memperbaikinya. "Zombie gila," gumamnya.
Tapi tiba-tiba suara itu kembali berubah membuatnya terkejut segera mengotak-atik lagi.
Alhasil zombie itu bersemangat menyerang ketiga lelaki tadi.
"Kachi!! Sialan... Berhenti main-main!!" teriak Roland. Ia lalu menatap tiang bendera di sana. "Cepat panjat!!" ia menatap mereka.
Lalu Roland memanjat duluan di susul Dian memanjat dan Ariya yang terakhir.
Semua zombie itu mengeroyoki mereka, menggoyangkan tiang mereka dan itu membuat tiang bendera itu termiring jatuh mengenai balkon, itu membuat jalan untuk mereka.
Roland benar-benar kuat, dia memanjat ke sana dan mengangkat tubuhnya dengan tangannya hingga berhasil berdiri di balkon.
"Hei cepatlah," ia mengulur lengan. Tapi Dian tak bergerak sama sekali, hanya bisa memeluk tiang itu dengan tangan dan kakinya yang sudah gemetar tidak kuat.
"Kopral, apa yang kau lakukan panjatlah!!" tambah Ariya dari atas memberitahu Dian.
"Aku tidak bisa, tanganku tidak kuat!!"
"Kau tidak kuat!! Ibumu saja bisa melakukan ini!!" teriak Ariya.
"...Jangan bawa-bawa nama ibu ku, dia sudah mati," kata Dian, hal itu membuatnya menaiki tiang itu dan menerima uluran tangan Roland.
Dia akhirnya bisa melakukan itu, lalu mereka berhasil naik ke balkon dan aman di sana.
"Bagus, kita jemput Kachi sekarang," kata Roland.
Lalu mereka masuk ke tempat siaran musik itu dari jendela dan melihat Kachi masih mengotak-atik benda itu.
"Hei, hentikan itu, itu akan rusak."
"Hah, bagaimana kalian bisa cepat kemari?!" Kachi menoleh dengan terkejut panik.
"Kami bisa sendiri, kau yang payah," cengir Roland.
"Apa?! Setidaknya aku sudah berusaha," Kachi ikut menatap kesal.
"Kita harus segera pergi dari sini," kata Dian, ia melihat banyak zombie yang akan ke sana. Lalu mereka pergi melewati jendela lagi dan berlari menuju jalan keluar.
"Senior, kita akan kemana?" Ariya menatap. Lalu Roland terdiam, mereka belum turun di balkon itu.
"Benar juga, kita akan kemana?" Roland juga terdiam bingung.
Tapi tiba-tiba ada insting kuat milik Roland. Ia menatap jalan pagar kawat itu.
"Kita akan berlari hingga keluar," kata Roland. Lalu ia menggendong Kachi membuat Kachi terkejut berwajah merah.
Mereka bertiga berlari keluar dan Ariya tercatat sejarah yang paling terakhir lari menutup pagar kawat itu sebelum banyak zombie di sana yang mengejar, ia menutup pagar kawat yang besar dan tajam itu dan menguncinya. Lalu berlari menyusul mereka yang hampir jauh.