webnovel

Chapter 45 Lead The Way

Di sisi lain, sebelumnya di waktu yang sama, ada seorang gadis dan satu anjing jenis pelacak German Shepherd.

"Kemarilah, Frank," sambil menggenggam busur silang, gadis itu tampak duduk di batang pohon yang tumbang dan memanggil anjingnya itu yang bernama Frank. Frank berlari kembali menuju padanya dari jarak yang cukup dekat.

"Ini adalah kaleng terakhir kita..." gadis tersebut terdengar sedikit putus asa seraya menahan air mata. Setelah berpisah dengan orang tuanya, gadis itu dan Frank telah berkelana di gurun selama tiga hari.

Gadis itu bernama Maddie, gadis pemberani ini sudah hidup sangat lama sendirian sejak kiamat itu terjadi.

"Waa... waa..." tiba-tiba seseorang di dekat mereka sedang menangis. Maddie menghapus air mata dan mengambil busur silang miliknya. "Frank, di reruntuhan sebelah sana!"

Zombi tengah mendekati seorang gadis kecil.

Bolt Maddie melesat menembus kepala zombi. Zombi itu terjatuh tepat di depan gadis kecil itu dan membuatnya menangis semakin kencang.

Maddie berusaha menyembunyikan emosinya sambil berjalan mendekati gadis kecil itu, lalu duduk dan menenangkannya. "Jangan takut, gadis kecil. Monster itu sudah mati. Kenapa kau seorang diri?"

Gadis kecil itu rupanya adalah Nian. Rupanya juga gadis itu belum mati. Kenapa dia bisa sampai sejauh itu, mungkin karena ia terus berlari sangat jauh. "Di mana orang tuamu? Atau ayahmu?" tanya Maddie.

"Ayahku... aku tak punya ayah... aku terpisah dari kakak Roland dan sekarang aku tidak tahu harus apa... di mana dia, huhu," gadis kecil itu terisak-isak.

"Kakakmu?... Apa dia mengatakan ke mana dia pergi?"

"Kakak Roland pergi untuk memburu monster saat itu tapi malam itu, aku melihat mereka membunuh semua orang tersayangku," Nian masih mengingat ketika Tuan Rudi dan yang lainnya dibunuh dan Imea yang terjun di jurang laut itu.

Frank mengelilingi dan mengendus Nian. Ia lalu berlari menuju belakang dinding yang tidak jauh dari reruntuhan. "Guk! Guk!" tatapnya pada Maddie.

Maddie mengeluarkan sebuah kaleng dari tasnya dan membukanya dengan susah payah.

"Ini, ambillah. Jangan pergi ke mana-mana. Aku akan segera kembali."

Nian perlahan menerima kaleng tersebut dan mengangguk malu.

Maddie mengikuti gonggongan Frank ke sisi lain dari dinding dan langsung terkejut dengan apa yang dia lihat.

Dua zombi terbaring di bawah bayang-bayang dinding dengan tengkorak yang terbuka. Tanah dipenuhi dengan lendir berwarna kuning kehijauan yang berceceran.

Di sebelah bayangan tersebut, seorang pria paruh baya dan zombi saling merangkul. Sebuah tongkat kayu runcing, yang salah satu ujungnya masih berada di tangan pria itu, menembus tubuh mereka. Ketika bergulat, dia memilih untuk mati bersama zombi itu.

"Sangat aneh," gumam Maddie. "Frank, ayo kembali," tambahnya.

Maddie menghampiri Nian dengan berat hati. Dia mengusap kepala Nian untuk membuatnya tenang, seperti yang biasa dilakukan ayahnya.

"Apa makanannya enak?" Maddie melakukan yang terbaik untuk mengabaikan rasa mualnya.

"Ya, terima kasih."

Maddie mengusap kepalanya lagi. "Siapa namamu?"

"Nian."

"Nian, apa kau mau pergi bersamaku? Mari cari kakakmu itu. (Di dunia kejam ini, pastinya kakaknya itu juga mati, aku benar-benar merasa kasihan,)" pikir Maddie yang menganggap Roland yang dibicarakan Nian sebagai kakaknya telah mati. Padahal saat ini Roland sehat walafiat.

"Aku... ingin menunggunya saja," kata Nian.

Maddie merasa sangat ingin menangis dan dia tidak tahu harus mengatakan apa kepada Nian. Karena Maddie memang menganggap Roland mati. "Bagaimana jika aku mengajakmu untuk mencari kakakmu? Dengan begitu kau bisa cepat bertemu dengannya."

Gadis kecil itu ragu, namun akhirnya mengangguk.

Maddie khawatir tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya dan apa yang sebenarnya terjadi pada keluarganya. Dia ketakutan dan mau tidak mau terbayang akan apa yang dia lihat di balik dinding. Dia terus mendengar bahwa seseorang sedang membangun permukiman tidak jauh dari sana. Ini adalah satu-satunya harapan bagi Maddie dan Nian. Dan kini, Nian selamat terbawa Maddie meskipun keselamatan mereka berdua benar-benar tidak terjamin.

--

"Kakak, di mana orang tuamu?" tanya Nian.

"Orang tuaku bercerai," balas Maddie dengan sangat sedih.

--

Malam itu, ibuku memutuskan bahwa dirinya tak lagi tahan dengan suaminya dan mantap untuk meninggalkannya. Orang tuaku menantikan keputusannya perihal dengan siapa ia akan tinggal selanjutnya.

Saat itu aku benar-benar dipenuhi kebimbangan selagi menatap anjingku, yang menempel di sisinya. Anjingku menyandarkan kepalanya yang besar ke lututku layaknya anak kecil. Ini mengingatkanku pada perkataan ayah delapan tahun silam ketika aku pertama kali bertemu Franky.

"Binatanglah yang memilih tuannya, bukan sebaliknya. Anjing seperti ini berada di puncak rantai makanan, dan oleh karena itu, tak akan pernah bisa dijinakkan sepenuhnya."

Pada hari itu delapan tahun silam, ayahku, yang pulang terlambat, memanggilku ke halaman belakang. Ia bertingkah misterius dan terus mengatakan bahwa ada kejutan untukku. Ia berjalan ke halaman belakang hanya untuk menemukan Franky menggigit sarden di pojokan.

"Aku pergi memancing di sepanjang sungai di sekitar belakang gunung sore ini. Coba tebak apa yang aku temui di sepanjang jalan? Tiga pemburu sial yang mencoba menangkap induk beruang dan semuanya terbunuh. Sayangnya, induk beruang juga terluka dan tidak selamat. Hanya anak anjing kecil yang malang ini yang tersisa."

*Anak anjing itu, merasakan Maddie dan ayahnya mendekat, menjatuhkan makanan dan berbalik dengan curiga. Matanya waspada. Kejadian yang ia alami baru-baru ini telah membuatnya memusuhi manusia. Ayahnya melindungi Maddie di belakangnya.*

"Tunggu sebentar, aku segera kembali." Saat itu aku punya ide dan berlari kembali ke rumah dengan langkah tergesa, membawa kembali stoples kaleng daging dari dapur.

Aku membuka stoples kaleng itu. Anak anjing itu kemudian menciumnya dan mulai maju mendekat, tak mampu menahan godaan enak di hadapannya. Aku mengambil beberapa sendok daging kaleng dan memberi makan anak anjing yang lapar. Melihat ekspresi senang anjing kecil yang polos itu, hati Maddie luluh.

"Boleh kita pelihara?" tanyaku kepada ayah.

"Yah, kita harus bertanya kepada pemiliknya tentang hal ini," ayah mengedipkan mata padaku dan terkekeh.

"Pemilik?" Aku pun menyadari bahwa "pemilik" yang dimaksud ayah adalah dirinya.

"Jika kamu melakukan pekerjaanku, kau pasti paham kalau hewanlah yang memilih tuannya, bukan tuannya yang memilih hewan. Beri dia nama. Dia akan menjadi bagian dari keluarga ini mulai sekarang."

"Ayo kita panggil dia Franky," aku langsung membalas.

"Ha, nama yang bagus."

"Dilihat dari ukurannya, Franky baru berumur beberapa bulan. Mulai sekarang kamu yang akan memberinya makanan anjing, ia memang masih kecil sekarang, tapi ia akan menjadi pejuang yang kuat di masa depan."

Lamunannya pecah dan Maddie kembali ke masa sekarang. Delapan tahun kemudian, Franky setinggi anak berusia 10 tahun.

Maddie telah mengambil keputusan. Ia akan meninggalkan rumah yang bobrok ini. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia akan selalu membawa Franky-nya.

Ikatan manusia-anjing ini akan berlanjut selama bertahun-tahun. Bahkan akhir dunia pun tak akan bisa mematahkannya, sama seperti ikatan antara seorang sahabat.

Bagaimanapun, anak anjing menganggap orang yang pertama merawatnya sebagai orang tuanya, meskipun Maddie baru berusia enam tahun ketika mereka pertama kali bertemu.

"Apa kakak sekarang baik-baik saja tanpa orang tua?" tanya Nian dengan polos dan masih mengikuti jalan Maddie.

"Ya begitulah, meskipun aku terlihat berani begini, umurku tak jauh darimu... berapa umurmu?"

"Umurku sudah 11 tahun sekarang," balas Nian.

"Oh benarkah, apa aku bilang. Aku juga masih 16 tahun," kata Maddie. Gadis itu rupanya anak akhir zaman.

"Beneran?! Kakak berumur segitu?! Itu masih sangat muda?!" kata Nian dengan tak percaya.

"Yah begitulah, jika aku bisa kuat, kau pun juga harus kuat. Mengerti, tak perlu menangis jika ada sesuatu."

"Ya, aku akan menjadi kuat," balas Nian dengan semangat.

Mereka tersenyum bersama tapi wajah Maddie menjadi kembali sedih.

--

Tenis adalah bagian besar dari hidup Maddie semasa kecil.

Setelah orang tuanya bercerai, dia sering keluar ke lapangan dan memantulkan bola tenis ke dinding—Frank biasanya membantu memunguti bola.

Setelah dunia berakhir, Frank masih suka dengan permainan ini. Dia telah belajar menangkap segala jenis bola, termasuk kepala zombi!

Busur plastik ini adalah hadiah dari ibu Maddie. Ia bisa menembakkan anak panah kecil yang dapat menempel. Saat Maddie kecil, dia suka menembakkan anak panah ini ke teman maupun lawannya.

--

Malamnya, Nian tampak menatap perapian dan di hadapan perapian depannya ada Maddie dan Frank yang tertidur di sampingnya.

Maddie menatap ke Nian yang tampak terdiam dengan wajah khawatir akan sesuatu, sepertinya dia memang sedang memikirkan sesuatu.

"(Apa yang terjadi pada kakak Roland dan kakak Imea sekarang... apa mereka masih hidup, aku benar-benar lupa bagaimana ku meninggalkan bayi kecil saat itu... sekarang aku tak tahu arah mana yang aku tuju, pastinya mereka yang masih hidup akan berpikir bahwa aku telah tergigit dan mati sehingga mereka tak perlu merasa bersalah memikirkan ku lagi... aku hanya gadis kecil yang tidak berguna...)"

"Hei, apa yang kau pikirkan, kau tidak tidur? Jangan khawatir, aku tak akan meninggalkanmu," kata Maddie menatap Nian yang menoleh padanya ketika mendengar dia bicara.

"Aku hanya... memikirkan, hidup di dunia ini mungkin akan sangat berbahaya untuk gadis kecil seperti aku, apalagi aku tak bisa bertarung dan pastinya hanya akan menjadi beban," kata Nian dengan khawatir.

Tapi di sini, Maddie tersenyum kecil dan mengatakan sesuatu. "Kita bisa melakukan apapun tergantung lingkungan, jangan khawatir kau menjadi beban karena jika kau yakin bisa hidup di dunia ini, maka lakukanlah dan fokuslah bahwa kau bisa hidup dan melindungi dirimu sendiri... Jangan berpikir kau beban, selagi mereka masih menganggapmu tak bisa apa-apa, belajarlah mulai dari sekarang agar kau bisa terbiasa dengan dunia yang sudah berbeda..." kata Maddie membuat Nian terdiam mendengar itu. "(Mungkin, memang benar... aku harap kakak Roland dan yang lainnya masih bisa dikatakan hidup di dunia ini,)" pikir Nian sambil menatap langit malam dan begitulah, dia aman bersama dengan gadis yang bernama Maddie dan anjingnya, Frank.

Bab berikutnya