Kyoto, 7 Desember. Flashback Kachi
"(Hari ini akhirnya hujan berhenti setelah tujuh hari berlalu, setelah semua berita yang mengatakan bahwa ada yang aneh dengan hujan, aku jadi teringat dengan kata kata Umin juga bahwa dia mengatakan hujan nya sangat aneh, jadi aku memang harus waspada dengan air hujan nya, selama 7 hari ini aku mencoba menghindari air hujan itu dan rupanya sekarang hujan nya sudah berhenti dengan sendirinya, aku yakin berita akan segera meliput kabar baik ini dan sekarang aku bisa pergi ke tempat kerja tanpa khawatir apapun, sayang nya sih, jarak kantor ku juga masih jauh dengan tempat aku tinggal sementara, tapi aku tetap mencoba untuk terbiasa,)" Kachi berjalan di kota sebelah dari sana. Ia sudah mulai bekerja dengan tenang tanpa cuaca yang mengganggu. Dia berjalan sambil memegang ponselnya karena ada panggilan masuk yang harus ia jawab, rupanya yang menghubungi nya adalah Tuan Rudi.
"Ada apa Tuan Direktur?" tanya Kachi pada ponsel di telinganya.
"Kachi, pergilah ke apartemen nomor 57, panggilkan seseorang di sana. Aku harus bertemu dengannya... Aku dengar orang itu telah berhutang banyak pada perusahaan ini," kata Tuan Rudi.
"Ah, baik," Kachi membalas. Lalu ia pergi ke tempat yang diminta. Sesampainya di sana, tampak apartemen biasa yang ada di sana. Kachi bingung.
"(Eh, kenapa aku bingung? Seharusnya aku tidak bingung, kan orang ini telah berhutang, pantas saja tempatnya begini dan bobrok,)" pikirnya, lalu ia berdiri di depan pintu apartemen nomor 57. Ia mengetuk pintu tapi tak ada yang membuka setelah beberapa menit. Lalu kembali mengetuk pintu. "Halo.... Ada orang di dalam?" panggilnya. Tapi tak ada yang menjawab. Kachi terdiam, ia lalu membungkukkan badan dan membuka lubang pemasukan surat di pintu itu. Ia membukanya dan melihat ada seorang wanita yang terbaring tidur di atas ranjang yang terlihat di sana. "(Jadi seorang wanita.) Halo... Bagi yang di dalam, mohon maafkan aku mengganggu, tapi aku ingin bertemu dengan Anda, jadi tolong buka pintunya..." panggil Kachi.
Lalu wanita itu bergerak dari ranjangnya membuat Kachi terus terkaku melihatnya dan menunggunya.
Tapi tiba-tiba saja, wanita itu bangun tidak wajar, ia lalu jatuh dari tempat tidur dan terdiam membuat Kachi semakin terkaku, dengan tingkah aneh itu.
Lalu dilanjutkan dengan wanita itu yang berkejang-kejang seperti ikan yang baru saja jatuh ke lantai.
Ia lalu bangun lagi dan merangkak lemas seperti sesuatu mengendalikannya. Ia merangkak ke arah pintu dan Kachi masih terdiam melihat itu.
Tiba-tiba saja wajah wanita itu terlihat dan wajahnya seperti mengerikan, seperti terkena virus yang akan datang.
Kachi terkejut tapi tiba-tiba wanita itu membuka pintu yang tidak terkunci itu dan menyerang Kachi membuat Kachi harus menahan tubuh wanita itu agar tidak mendekat menyerangnya dengan wajah yang menjijikkan itu.
"Ah, lepaskan aku!!" Kachi terus mendorongnya.
Tapi mendadak wanita itu menggigit baju Kachi membuat Kachi terkejut, dengan segera wanita itu menarik baju Kachi membuat Kachi tertarik ke dalam dan pintu tertutup.
"Ahh, lepaskan aku!!" Kachi memberontak dan dengan cepat mendorong wanita itu membuat wanita itu tertindih olehnya sekarang. Dia seperti ingin bangun duduk dengan gigi yang terus ia tunjukkan menunjukkan ingin menggigitnya.
Kachi mendorong kepala wanita itu ketika ia hendak bangun, dan tak disangka-sangka, ia mendorongnya sangat cepat dan suasana terdiam ketika wanita gila itu juga terdiam seperti orang mati.
Kachi masih menatap dengan jantung yang berdegup sangat cepat, dan tak lama kemudian, muncul darah sangat banyak dari kepala bagian bawah wanita itu. Sudah jelas, wanita itu telah mati karena benturan yang didorong oleh Kachi tadi.
Kachi menutup mulutnya dengan tak percaya. Ia segera beranjak dan berlari pergi menutup pintu, tapi ia terdiam sebentar dengan napas terengah-engah. "(Aku membunuh orang itu?)"
Ia segera berlari pergi dengan rasa takut meninggalkan mayat wanita itu. Ia berjalan melewati jembatan atas penyebrangan dan tak disangka-sangka, ia melihat ada wanita yang berjalan buru-buru berpapasan dengannya dan anehnya, wanita itu terus memegangi lengan yang terlihat berdarah. Ia hanya berjalan sambil menundukkan wajah pada Kachi yang masih terdiam tak mengerti.
"(Aku tak bisa begini, aku harus menemui seseorang,)" ia berlari dan ke apartemen yang lain. Ia berniat akan menghampiri temannya. Tapi ketika ia masuk, ia melihat satu lelaki gendut yang berdiri menatap televisi. Dia menoleh ketika mendengar orang masuk. Kachi masih terdiam memandangnya.
"Kachi," lelaki itu rupanya rekan dari Kachi, tapi Kachi terdiam kaku ketika melihat baju lelaki itu berlumur darah dan di tangannya ada tongkat pemukul.
"A... Ada apa denganmu?" tanya Kachi dengan gemetar.
"Kemarilah,"
Kachi terdiam mendengar itu, lalu ia membungkukkan badan akan melepas sepatunya, tapi lelaki tadi melarangnya. "Hei, jangan lepas sepatumu, di sini kotor, sebaiknya kau pakai saja," tambahnya.
Kachi lalu berdiri dan berjalan perlahan melihat di samping lelaki itu dan betapa terkejutnya dia bahwa di dinding bawah, ada lelaki temannya yang mati dengan kepala pecah dan darah berciprat sangat banyak di sana yang membentuk banyak cairan darah yang tak akan bisa hilang.
"A... Apa yang kau lakukan?! Apa kau gila?!" teriak Kachi.
". . . Apa kau tidak mendengar berita?!" tatap lelaki itu. "Banyak orang bertingkah aneh, mereka menyebutnya itu virus dari awal memang begitu karena hujan ini membawa bencana besar meskipun hanya satu. Dan tebak, semuanya sudah tergigit karena orang ini," lelaki itu menunjuk mayat tadi.
Kachi yang sudah di ujung ketakutannya akan berbalik pergi tapi lelaki itu berteriak menghentikannya. "Hei, tunggu, kau tidak butuh ini?" ia menunjukkan tongkat kayu yang ia pegang.
"Kau akan dalam bahaya jika tidak butuh ini," tambahnya.
"Lalu bagaimana denganmu?" tanya Kachi.
"Aku tidak akan bertahan lama, lihat, aku sudah digigit," lelaki itu menunjukkan kakinya dan Kachi melihat gigitan berdarah di kaki lelaki itu.
Tapi tiba-tiba saja lelaki itu merasakan aneh dalam tubuhnya. Dari lehernya, muncul otot hitam yang mengarah ke matanya, matanya berubah menjadi akan copot. Ia berubah sangat cepat karena gigitan itu. "Ekhggg, pergilah!!" tatapnya. Ia lalu berlari mendekat ke meja dan mengambil silet di sana. Ia mengatur kepanjangan silet itu dan dengan cepat menusuk lehernya sendiri dan menyayatnya, seketika ia jatuh dan mati di tempat.
"Ahhhhh!!!!" Kachi sudah semakin takut melihat itu. Ia lalu berbalik dan berlari pergi dari sana. Tapi anehnya, semuanya, di kota itu terlihat tenang saja. Kachi terdiam bingung dengan napas masih terengah-engah.
"(Apa? Apa yang terjadi, kenapa di sini semuanya tenang? Tidak mungkin itu tadi hanya perasaanku kan? Aku tidak percaya ini, tapi?)" ia berbalik menatap apartemen tadi, ia menjadi berimajinasi bahwa banyak orang gila yang akan keluar menyerangnya dan itu membuatnya takut.
"(Tidak, tidak, aku percaya dengan apa yang barusan terjadi dan aku sekarang takut!!)" ia memilih kembali berlari ke pinggir jalanan bawah karena dia tadi ada di jembatan penyeberangan.
"(Aku tak tahu apa yang terjadi dengan dunia ini, tapi aku tahu bahwa ini adalah kekacauan. Aku harus segera pergi dari sini tapi aku tak tahu harus ke mana karena sejauh yang aku lihat, semua orang yang aku lihat tidak menunjukkan sifat yang sama. Apa aku seperti dipermainkan oleh seseorang? Tapi aku benar-benar sudah melihat banyak darah hari ini,)" pikir Kachi. Ia memikirkan darah yang baru saja ia lihat, beberapa kali melihat hal yang sebelumnya tak pernah ia lihat.
Kachi menjadi mual sendiri hingga ia benar-benar menemukan ide untuk keluar dari masalah di jalanan itu.
"(Dimana... Salah satu cara aku keluar dari sini adalah mencari alternatif yang bisa mengantarku..... Yah, taksi!)" ia melihat ada taksi dan Kachi berlari menuju satu mobil taksi yang ada di pinggir jalan yang sedang menganggur. Di sana ada pria supir taksi yang tengah tertidur menunggu pelanggan. Kachi mengetuk-ngetuk kaca dengan keras dan panik di pintu mobil itu sambil memohon pintunya dibukakan. "Tuan!! Tuan!! Biarkan aku masuk!! Aku akan segera terkejar!!" teriak Kachi. Hal itu benar-benar membuat pria supir itu terbangun masih mengumpulkan nyawanya. Ia menatap Kachi dan membuka pintu.
"Nona, masuklah, ingin kemana?" tatapnya.
"Cepat pergi saja!! Ke tempat aman!!" teriak Kachi sambil masuk ke pintu tengah.
". . . Apa maksud nona?" sang supir tak mengerti.
Tapi tiba-tiba saja ada yang membuka pintu tengah dan duduk di samping Kachi dengan terengah-entah, seorang pria tidak dikenal. "Cepat jalankan taksinya!!" teriaknya. Seketika sang supir menginjak gas dan mereka pergi.
Tak disangka, di belakang taksi tadi ada salah satu infected yang terdiam ditinggalkan taksi itu karena mangsanya tadi pria yang datang tadi. Ia lalu melihat sekitar dan berlari menyerang di sana sehingga keributan terjadi.
Pria di dalam taksi itu membuka ponselnya dan menghubungi seseorang yang membuatnya berbicara. "Apa yang kalian lakukan!! Kenapa kalian hanya diam saja!! Di sini banyak orang-orang yang menggila dan saling menyerang, cepat kerahkan semua militer di sini!!" teriaknya. Tapi yang terhubung itu menjawab hal yang membuatnya kesal. "Maafkan aku Tuan, tapi para militer belum diizinkan untuk menembak karena belum dapat perizinan."
"Sialan!! Cepat suruh mereka.... Hoi...!!!! Hoi...!!!!" pria itu berteriak lagi dan rupanya panggilannya tertutup.
"Sialan..." dia tambah kesal dan meletakkan ponselnya di pangkuan, tapi tak lama kemudian bertingkah aneh dan mulai gerah. Ia menggulung lengan bajunya dan di saat itu juga Kachi terkejut melihat sesuatu di lengan pria itu. Di lengan pria itu ada gigitan virus yang sama yang ia lihat pada rekannya tadi. Lalu muncul otot hitam yang berjalan ke wajah pria itu seperti menggerogoti tubuh pria itu.
"Ehskk.... Supir, tisu," pria itu tak sadar dengan tubuhnya.
"Baik, ini Tuan," sang supir yang belum tahu dengan hal itu hanya asal memberikan tisunya dengan tangannya ke belakang. Hingga sesuatu yang sudah tertebak terjadi.