"Uminoke, kau baik-baik saja, bukan?" Line menatap.
"Ya, aku baik-baik saja.... Bagaimana dengan Roland dan Imea, apa kau sudah menemukan mereka?" kata Uminoke sambil masih memeluk Line.
"Aku belum menemukan mereka," Line menatap, ia juga menempelkan tangannya di punggung Uminoke. Lalu Barbara dan Nikol datang, mereka berdua terkejut melihatnya.
"Line," Steve mendekat. Lalu Line tersenyum menantang. "Ada apa, apa kau juga ingin menangkapku?"
"Tidak akan," kata Steve, ia langsung menundukkan badannya. "Jangan khawatir, aku tak pernah tahu hal tentangmu soal pemburuan, aku hanya senang jika gadis ini sudah bertemu denganmu, aku akan melanjutkan perjalanan... Ngomong-ngomong, gadismu sangat manis," kata Steve yang berbalik.
"Tu-tunggu... Terima kasih untuk semuanya," Uminoke menatap. Lalu Steve tersenyum kecil lalu berjalan pergi.
"Siapa dia?" bisik Barbara ke Nikol.
"Siapa mereka, Line?" Uminoke menatap.
"Hai... Aku Barbara dan dia Nikol," kata Barbara.
"Ah, hai, aku Uminoke."
"Baiklah, bisa kita pergi sekarang?" Line menatap. Lalu ketiga orang itu mengangguk.
--
Terlihat Roland sudah selesai memperbaiki busnya, ia mengendarainya sendiri di kota yang sepi karena tak tahu di mana Tuan Rudi dan yang lainnya, ia memutuskan berhenti di tempat yang sudah disepakati ia dan Tuan Rudi untuk bertemu di sana.
"(Mungkin mereka belum sampai, aku akan memakan sesuatu dulu,)" Roland turun dan melihat ada supermarket jadi ia masuk ke sana.
Setelah itu ia keluar dan tak sengaja melihat sebuah tas hitam besar di antara sampah samping supermarket. Karena penasaran, ia membukanya dan rupanya isinya sebuah bom peledak jenis anti hard dan ada satu kotak medis kecil berwarna hitam.
"(Ini pasti ditinggalkan seseorang,)" Roland membuka kotak itu dan rupanya itu adalah serum ke-5. Ia menjadi terkejut. Namun hal tak terduga terjadi, ada beberapa zombie yang muncul di gang sampingnya. Ia menoleh dan merasa lega karena hanya sedikit zombie, ia jadi maju sendirian dengan sebuah tongkat. Namun rupanya banyak disusul zombie lainnya dari belakang.
"Apa yang...?!" Roland terkejut, ia akan melarikan diri dari arah sebaliknya namun di arah itu juga muncul banyak zombie dari semua gang jadi ia berlari masuk ke gedung dengan membawa tas tadi.
"(Kenapa mereka ada ribuan di sini?)" ia berlari ke atas diikuti banyak zombie yang sebagian larinya juga cepat hampir dapat mengejarnya masuk ke dalam gedung itu. Terlihat sekali dari luar banyak sekali zombie berdatangan masuk ke gedung itu karena sudah mengetahui keberadaan manusia.
--
"Apa kalian mendengarnya?" kata Line yang menyetir.
"Mendengar apa?" Barbara menjadi bingung lalu Line menghentikan mobilnya di depan sebuah perempatan lalu lintas. Dia menghentikan mobilnya agak jauh dari perempatan.
"Aku merasa ada sesuatu yang banyak di jalan kiri dan itu jalan yang akan kita lewati."
"Apa zombie?" Uminoke menatap.
"Mungkin," Line membalas lalu ia akan berjalan keluar.
"Line, kau akan ke mana? Di sana berbahaya," Uminoke menahan tangannya.
"Aku akan ikut," kata Nikol yang keluar.
"Jangan khawatir, aku akan kembali," Line menatap lalu Uminoke perlahan melepas genggaman tangannya. Line keluar dan menutup pintu lalu Nikol memberikan pistol tembakan. Mereka berdua sama-sama memegang senjata jarak jauh.
Nikol melihat dari sebuah gang dan ia terkejut melihat sebegitu banyaknya zombie yang mengerubungi sebuah gedung saja.
"Apa yang ada di dalam sana sehingga membuat mereka masuk seperti itu?" Nikol menatap.
"Mungkin seseorang di sana," kata Line yang ada di belakangnya memasukkan peluru ke dalam senapannya.
Di dalam gedung itu ada Roland yang berlari hingga sampai ke balkon. Ia menahan pintu balkon dengan besi panjang, dia tahu itu tak akan bertahan lama. Untungnya dia menemukan sebuah tali panjang yang kuat. Ia mengikatkan tali itu beberapa kali di ujung besi balkon gedung sementara itu para zombie sudah menemukannya dan memaksa masuk ke dalam sana.
"Cih... Cepatlah," ia buru-buru mengikatkan tali itu pada tubuhnya. Tiba-tiba besi panjang itu tak kuat menahan dorongan zombie-zombie yang kuat itu hingga mereka berhasil masuk. Roland terkejut dan langsung berlari ke ujung gedung, ia menjatuhkan tas berisi bom itu di antara mereka. Tanpa rasa takut, ia melompat dari gedung yang sangat tinggi itu dan bom itu meledak tepat saat zombie-zombie itu berkumpul di balkon.
Nikol dan Line yang mendengar ledakan besar itu pun juga terkejut.
Roland meluncur sangat kencang dan akan menabrak satu gedung di depannya. Ia segera memutus talinya dan melompat menerobos kaca besar gedung itu hingga ia masuk ke sana dan berguling-guling.
"Huf... Huf..." ia terlentang lelah lalu melepaskan kotak medis hitam kecil di tangannya. Gedung yang tadi sudah roboh mengubur banyak zombie di sana karena ledakan itu.
Nikol dan Line sebelumnya tahu gedung itu akan roboh, mereka masuk mobil dan melaju mundur agar tak terkena puing-puing gedung yang sangat tinggi itu.
Sementara itu Roland berdiri dan berjalan keluar.
"(Rasanya sudah sangat lama melakukan hal yang begini.)"
--
"Apa itu tadi?" Uminoke menatap.
"Rupanya memang benar, ada orang di sana," kata Nikol.
"(Hanya satu orang yang bisa melakukan hal itu tadi,)" Line berpikir dan terlintas Roland di pikirannya. Ia langsung menghentikan mobilnya.
"Barbara, gantikan aku menyetir," kata Line yang berjalan keluar.
"Kau akan ke mana?!" Nikol berteriak.
"Pergilah ke tempat aman, di sini ada parkiran gedung aman, kalian harus ke sana, aku harus melakukan sesuatu," kata Line yang membuka bagasi mobil mengambil sebuah pedangnya lalu menutup bagasi itu. Barbara menyalakan mobil lalu berjalan meninggalkan Line.
"(Line...)" Uminoke menjadi khawatir. Lalu Line berlari pergi kembali ke gedung roboh itu dengan pedang yang ada di punggungnya.
"(Uhk...)" Roland terkejut dan berhenti sambil memegang dada kirinya. Dia hampir jatuh ke depan namun sebuah ujung pistol menghalangi jatuhnya di depannya. Ia terkejut dan menoleh ke samping, terlihat Line di sampingnya.
"Sudah kuduga kau ada di sini, junior," dia tersenyum sombong.
"Heh... Kau benar-benar menjengkelkan, tak menolong juniormu sendiri ini," kata Roland.
--
Malamnya terlihat di tengah hutan yang aman. Barbara duduk di depan perapian sementara Uminoke mengobati Roland di sisi lainnya. Line dan Nikol berada di sungai dekat mereka.
"Kau pernah berpikir sesuatu yang luar biasa, malaikatku~" Nikol menatap sambil duduk di atas batu dekat sungai sambil merokok.
"Tidak pernah, semuanya tak pernah luar biasa bagiku," kata Line sambil memasukkan tangannya ke air sungai.
"Kalau begitu bagaimana dengan dirimu yang dulu, seharusnya kau punya imajinasi yang hebat, bukan?" Nikol menatap. Line hanya melirik dingin lalu kembali fokus pada air.
"Uh dasar, kau cuek juga ya, tapi aku suka sikap itu... Kenapa dari tadi kau seperti itu?"
"Hanya melakukan yang aku mau," kata Line, seketika air yang ada di dekatnya mulai memunculkan butiran cahaya dan tak lama kemudian muncul ikan-ikan sungai yang terlihat besar di dekat lengannya. Nikol yang melihat itu menjadi terkejut.
"Ba... Bagaimana itu bisa terjadi?" Nikol mengucek mata miliknya dengan rasa tak percaya.
"Kau ingin tahu..." Line meliriknya dengan senyum licik.
"Itu tadi... sihir?"
"Pft... Memangnya ini spiritual... Itu adalah teknik yang aku pelajari saja," kata Line. Tapi Nikol masih terdiam tak percaya, bagaimana bisa ikan itu datang begitu saja di tangan Line.
Akhirnya malam itu mereka memakan ikan yang dibakar dari perapian.
Namun Line hanya diam duduk di bawah pohon yang agak jauh dari mereka, lalu Uminoke mendekat dan duduk di sampingnya.
"Kau tidak makan?"
"Makanlah saja terlebih dahulu," kata Line. Lalu Uminoke melihat ke topi Line yang dari tadi tidak dilepasnya sama sekali, lalu ia sadar bahwa rambut Line tumbuh sedikit.
"Line, apa kau mau melakukan permohonanku?" kata Uminoke lalu Line menoleh bingung.
"Aku ingin kau mengecat rambutmu menjadi perak, apa itu tidak sulit?"
"... Kenapa kau tiba-tiba ingin aku mengecat rambut?"
"Emh... Tidak ada, aku hanya berpikir kau terlihat bagus dengan warna itu," kata Uminoke yang berkata dengan sedikit malu, lalu Line tersenyum kecil. "Jadi... Kau sudah mengakui ku."
"Apa..." Uminoke bingung dan menoleh dan tiba-tiba Line mencium bibirnya. "Apa yang?! Kau lakukan?!!" Uminoke terdiam dan terkejut, ia langsung mendorong Line, di saat itu juga topi Line lepas dan terlihat rambut perak yang tumbuh di atas rambutnya. Uminoke terdiam dan terpelongoh.
Line menjadi tersenyum manis membuat Uminoke terpesona. "Kau sudah melihatnya, Uminoke," dia mendekat lalu memeluk Uminoke.
"(Line, rambutnya...) Bagaimana bisa.... Apa itu semacam gen?" Uminoke masih bingung apa yang terjadi pada rambut Line.
"Yah... Mungkin bisa disebut begitu... Warna asli rambutku adalah perak, bukan hitam... Ini dari gen orang tua ku."
"Begitu, ngomong-ngomong soal orang tua... Kau tinggal di mana?" tatap Uminoke.
Line menjadi terdiam lalu menghela napas panjang. "Aku bukan berasal dari Tokyo ataupun Jepang ini."
"Hah... Lalu dari mana?"
"Aku lahir di Swiss dan pindah ke London untuk urusan sesuatu. Waktu itu umurku masih sangat kecil..." kata Line.
"(Jadi..... Dia bukan dari sini?)" Uminoke menjadi terdiam.
Sementara itu Roland mengambil senapan miliknya lalu berjalan ke dalam hutan tanpa berpamitan pada siapa pun karena dia khawatir pada Imea dan yang lainnya.
"(Jika tak salah... Hutan ini langsung mengarah ke jurang laut, mungkin aku bisa menenangkan diri di sana,)" dia semakin berjalan. Tapi tiba-tiba, ia terdiam mencium bau busuk dan darah.
"(Ada makhluk di sini?!)" dia menyiapkan senapannya dan semakin masuk ke semak-semak. Tapi saat ia keluar, ia terdiam menjatuhkan senapannya dengan tak percaya.
Tuan Rudi dan Anna mati dengan bekas sobekan di tubuh mereka. Di sana, mereka mati karena saat itu.
"Tidak.... Tidak.... Imea.....!!!" Roland berteriak mencari dengan panik.
Ia bahkan mencari di setiap bawah mayat-mayat itu. Ini benar-benar hal yang tak terduga.
"Imea.... Di mana kau!!! IMEA!!" dia mencari hingga ke ujung jurang laut sambil bernapas panik.
"(Imea.... Nian.... Dan bayi kecilnya!! Hanya mereka yang tak ada di sini... Tapi ini sudah jelas mereka mati di sini... Kenapa aku bodoh sekali,)" Roland terdiam terlutut tak percaya. Dia kehilangan mereka semua.