Nama usaha Riski sudah cukup terkenal di seluruh kota ini, bahkan di bagian paling pelosok pun juga sudah mulai mengetahuinya. Riski sangat-sangat bersyukur akan hal ini, tetapi ia tak boleh puas dengan apa yang sekarang, ia harus selalu berinovasi agar dapat berkembang jauh lebih luas lagi.
Riski terkadang juga dapat pesanan dari rumah sakit, yang meminta untuk mengantarkan sayuran untuk kebutuhan pasien di sana.
Riski menemukan sebuah ide yang cukup baik menurutnya. Yaitu membuat jaket dengan logo usahanya, jadi setiap kali mengantarkan sayur, semua orang di jalanan dapat melihat usahanya itu. Ini juga merupakan media promosi, menurut Riski.
Riski memanfaatkan kecanggihan handphonenya untuk mencari tahu desain jaket yang bagus dan juga dimana tempat yamg bisa membuatkan desain yang Riski maksudkan.
"Kayaknya asik nih kalo ada jaketnya. Jadi, setiap mengantar sayur orang dijalanan juga akan tahu. Terus juga keliatan profesional ke pelanggan." batin Riski.
Riski memikirkan warna jaket yang cocok dengan usahanya, dan tentu saja warna yang cocok adalah hijau karena melambangkan sayur itu sendiri. Masalah warna, Riski sudah menemukan. Sekarang ia hanya perlu pergi ke tempat untuk membeli jaket beserta sablonnya.
"Dimana tempat sablon jaket?" tanya Riski ke Rudy yang sedang sibuk dengan tugas-tugasnya.
Rudy menoleh sekilas, "Buat apa?"
"Ya buat jaket itu, dimana?" Riski memang baru-baru ini pergi keluyuran natik motor, sebelumnya ia tidak pernah. Maka dari itu, Riski tidak hafal tempat di kota ini.
"Di Jalan Pahlawan." jawab Rudy seadanya karena memang sedang sibuk dengan tugasnya.
"Yang jelas dong. Kan jalan itu panjang." celotek Riski kesal.
Rudy menatap Riski tajam, "Cari aja, di sana cuman ada satu itu doang. Pasti ketemu, ada di pinggir jalan."
Riski hanya mengangguk pertanda ia sudah paham dengan penjelasan kakaknya.
Riski berjalan, tapi ia memutar kembali tubuhnya, "Oh iya, kalo untuk beli jaket polos. Dimana?" tanyanya lagi pada Rudy.
"Buat apaan sih tanya ituu." kesal Rudy, ia benar-benar tak bisa fokus mengerjakan.
"Penting ini mah." balas Riski, ia tak mau mengatalannya idenya sekarang.
"Agak jauh sih, di Jalan Diponegoro. Tau?"
Riski menggeleng pelan.
"Kiri jalan tempatnya. Di depan ada supermarketmya, gampang itu nemuinnya." jelas Rudy.
Riski kembali mengangguk dan berjalan keluar rumah. Ia berniat membeli jaket dan menyablonnya hari ini juga. Lebih cepat lebih baik, bukan?
Rudy menghembuskan napasnya kasar, lalu ia kembali fokus dengan tugas kuliahnya.
Riski sudah mulai memanaskan motornya, tapi saat hendak berjalan, handphonenya berbunyi. Riski lalu melihatnya terlebih dahulu, takutnya ada sesuatu hal yang lebih penting.
Riski kaget, karena di dalam pesan itu banyak sekali pesanan sayur. Riski sangat bahagia, tapi juga ragu-ragu akan hal ini. Apa mungkin di jam sore ini ada orang yang ingin memesan sayuran sebanyak ini? Ah tapi tidak boleh berprasangka buruk terlebih dahulu.
Riski mengurungkan niatnya membeli jaket dan lebih memilih untuk mengantarkan sayur itu.
Stok sayuran Riski di rumah juga masih tersedia banyak, niatnya itu untuk jualan besok. Tapi, berhubung ini ada yang memesan banyak, jadi mau tak mau harus menjualnya.
Pendapatan Riski dari hari ke hari terus meningkat, terkadang juga sampai keteteran dengan banyaknya pelanggan. Riski sebenarnya ingin mencari seorang yang membantunya, tapi ia belum percaya diri, ia masih takut jika tidak bisa konsisten. Maka dari itu Riski ingin memastikan terlebih dahulu, apakah usahanya ini bisa konsisten atau tidak.
Riski bersama Sastro sudah mulai membungkus dengan rapi sayuran yang di pesan itu, setelah kurang lebih 30 menit kemudian Riski mengantarkannya dengan hati-hati karena membawa banyak sayuran.
Setelah selesai mengantarkannya, Riski pergi ke sebuah toko jaket yang sudah ia rencanakan sedari tadi. Di depan toko itu, Riski mengenali sepeda motor, "Kayaknya ini milik Dela deh." ucap Riski dalam hatinya. Dela merupakan teman sekelasnya sewaktu di SMP, entah apa tujuannya ke sini.
Riski langsung masuk ke dalam toko itu setelah motornya sudah terparkir dengan rapi. Dan benar saja dugaannya, Dela berada di sana bersama Bundanya.
Ketika pintu toko terbuka, Dela dan Bundanya otomatis langsung melihat ke arah pintu, "Itu bukannya teman kamu, ya? Ngapain dia kesini?" kata Bunda Dela.
Dela hanya menggelengkan kepalanya, "Padahal dia anak orang miskin lho, bun." jawab Dela merendahkan seorang Riski. Padahal Riski di sini juga untuk membeli jaket, Riski ingin membeli jaket yang mahal karena agar bisa terpakai lama dan tidak gamoang rusak, apalagi warnanya juga tidak gampang luntur.
Riski langsung menuju ke arah yang ia ingin tuju, yaitu jaket polos berwarna hijau. Riski berjalan tanpa menggubris Dela yang berada di sana.
Riski memilih-milih warna hijau yang cocok, dan pilihan Riski jatuh ke warna hijau tua. Baru pertama kali melihat, ia langsung jatuh hati.
Riski tak berpikir lama dan langsung kengambilnya lalu membawanya ke kasir yang berada di depan.
Tak berselang lama, Dela dan Bundanya juga membawa sebuah jaket ke kasir.
"Ini mas." ucap Riski santai.
"Totalnya 450 ribu ya, Ris" jawab penjaga kasir itu, dan ia sudah kenal dengan Riski karena ibunya sering memesan sayur.
Riski mengangguk, dan mengeluarkan uang yang berada di saku celananya.
Dela terkejut, karena uang yang di keluarkan Riski sangat banyak, "Darimana dia mendapatkan uang yang banyak itu? Padahal keluarganya orang miskin, jangan-jangan diaa???" batin Dela dengan matanya yang melotot.
"Katanya anak orang miskin, itu buktinya dia membawa uang banyak." bisik Bunda Dela.
Riski tentu mendengarkannya.
"Kamu maling yaa?" tanya Dela langsung to the point.
"Enak aja, kalo lo nggak tau gue dapet uang darimana tolong jangan bilang yang enggak-enggak. Apalagi sampai nuduh kayak gitu, gue bisa laporin lo!" jawab Riski, ia sudah sangat kesal jika hasil kerja kerasnya di pandang remeh begitu saja.
Dela langsung terdiam dan menutup mulutnya.
Setelah mendapatkan barangnya, Riski langsung pergi keluar karena rasa sakitnya yang tak tertahan.
"Dia itu bekerja, mbak. Dia jualan sayur, sempet viral. Dia kebanjiran orderan setiap harinya. Kamu gak berhak hina dia seperti itu, dia memang dari keluarga yang miskin, tapi apa iya dia terus-menerus miskin?" kata penjaga kasir itu jleb. Pasti saat ini Dela sangat malu dengan mengatakan seperti itu.
"Pintar. Dia seusia kamu aja bisa kerja dan hasilin uang yang banyak, sementara kamu? Kamu gak layak sebenarnya nuduh orang seperti itu kalo belum tau kebenarannya." tambah Bunda Dela.
Dela semakin terpojok, dan tertunduk lemas. Dela harus minta maaf ke Riski jika bertemu dengannya lagi, atau Dela mendatangi rumah Riski untuk meminta maaf atas ucapannya tadi, padahal sebelumnya Dela menghina Riski tanpa meminta maaf.