webnovel

Tangan Kanan Iblis

Medi mengangkat kedua tangannya melakukan takbirtul ihram. Dia sholat bersama dengan yang lainnya yang belum sholat dhuhur. Aku dan Yasir duduk bersandingan setelah menghabiskan makan siang kami. Kami duduk diatas karpet tipis sambil melihat mereka yang sholat beberapa meter didepan kami. "Terimakasih", ucapku ketika Yasir memberikanku giliran air untuk minum. Setelah minum, aku kemudian menggilir teko air itu ke yang lainnya. Mereka pun minum dari teko air yang sama. Kali ini adalah giliranku yang melipat karpet dan meletakkannya kembali ke tempat semula. "Daiyan, dari tadi aku tidak melihat Midan. Dimana dia? Kok dia tidak ikut makan?" tanya salah satu temanku padaku.

"Midan ingin makan bersama kakaknya. Tadi dia bilang kepadaku kalau dia akan menunggu Medi selesai sholat." Aku membersihkan bajuku dari debu pasir yang berasal dari karpet. "Masyaallah, mereka sungguhlah kompak. Aku merasa iri dengan mereka. Semoga kelak aku diberikan anak-anak se-sholeh mereka", ucapnya dengan wajah yang sumringah. Tak lama kemudian Yasir menghampiri kami untuk mengambil sesuatu yang berada disebelahku.

Aku teringat akan sesuatu dan spontan menyela, "Jangankan punya anak, kau saja sampai sekarang tidak memiliki seseorangpun. Bagaimana kau akan punya anak?" Aku tertawa kepadanya. Mereka berdua juga tertawa mendengar leluconku. "Tetapi berbeda dengan Yasir, dia memiliki kesempatan yang besar untuk segera memiliki anak-anak seperti Medi dan Midan. Kita kalah jauh dengan dia." Aku menepuk-nepuk bahu lebar Yasir. "Benarkah itu Yasir? Siapakah wanita beruntung itu?" matanya terbelalak terkejut kearah Yasir. Laki-laki disebelahku ini hanya tersenyum tipis dan berkata, "Bukan dia yang beruntung, tetapi akulah yang sangat beruntung."

Dia, Shofiyah kekasihku. Kita akan segera menikah beberapa minggu lagi. Aku tahu bahwa ini sangatlah berat baginya untuk melepasku pergi. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa aku akan pulang dengan selamat ataukah pulang membawa kabar duka. Namun, kita berdua sangat memahami bahwa panggilan Allah dan agama adalah yang paling utama diatas segalanya. Tidak ada sedikitpun kerugian di medan jihad ini. Jika kita menang maka kita menang membawa nama besar Islam. Jika kita matipun, kita akan mati dengan kemuliaan.

Waktu aku bersiap-siap untuk berangkat, dia dan ibuku membantuku memasukkan segala sesuatu untuk kubawa. Walaupun dia diam seribu bahasa, aku dapat melihat dengan jelas suatu ketidakrelaan pada caranya memandangku. Matanya begitu sendu dan sedih. Ia tengah menyiapkan hati dan perasaan untuk melepasku pergi. Akupun juga melakukan hal yang sama. Sungguh berat ketika cinta dan kewajiban pada Allah bertemu. Dia mengelus lembut sarung pedangku dan senjata api laras panjangku. Seakan-akan ia sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi di medan jihad nanti.

"Tolong tetaplah hidup", kudengar lirih darinya. "Insyaallah." Dengan berat hati aku meninggalkannya. Aku tahu bahwa ia terus menatap kearahku seraya punggungku menjauh. Aku tidak tega untuk menoleh kearahnya. Aku takut kalau hati ini akan berpaling dan berubah pikiran. Aku tidak mau keraguan menghinggapiku. "Ya Allah, jagalah dia selama aku pergi." Aku terus melangkah kearah pasukan muslimin.

"Ya Allah, jagalah dia selama aku jauh darinya." Shofiyah menutup Al-Qur'annya dan meletakkan kembali ke tempat semula. Dia tak jemu-jemu mengirimkan doa pada sang kekasih hati. Ia bangkit dari karpet Masjid dan melipat rapi mukenanya. Ia menuruni tangga masjid yang terasa sangat dingin. Ia melangkah dengan hati-hati pada setiap keramik yang basah. Sedari subuh hujan gerimis yang tidak berhenti dari langit terus turun menghujani bumi cinta itu. Tak jauh diluar pagar besi Masjid, tampak seorang wanita yang seusia dengannya berlarian menuju kearahnya. Nafasnya tampak terengah-engah. "Ada apa Arumi? Kenapa kau terburu-buru?"

Wajah Arumi tampak cemas dan khawatir. Ketakutan tampak di sorot matanya. "Orang-orang itu ikut bersama mereka…. Orang-orang itu ikut bersama pasukan muslimin. Tidak tersisa satupun dari mereka yang tertinggal disini. Adnan pun juga berangkat dan bergabung dengan pasukan." Shofiyah terkejut mendengar berita itu. Kedua matanya tidak berkedip. Detak jantungnya menjadi berdebar-debar. Rasa takut dan khawatir menyelubungi lubuk hatinya. Ia memikirkan tentang nasib kekasihnya disana. "Ya Allah, bagaimana ini?"

Aku melepaskan tepukan tangan Daiyan pada bahuku dan meninggalkan mereka berdua. Senyumanku masih tersirat dibibirku. Lagi-lagi wajah Shofiyah muncul dibenakku. Aku sangat merindukan suaranya dan senyumnya yang manis itu. "Allahu akbar." Terdengar suara Medi yang memimpin sholat para prajurit dibelakangnya. Di raka'at kedua itu dia membaca surah Al-Fath dari ayat satu sampai ayat ke tujuh belas. Mereka tenggelam dalam bacaan indah Medi. Aku terus menikmati setiap bacaannya. Aku menutupkan mata dan mengikuti setiap bacaannya didalam hati.

Seusai salam dan wirid, kedua kakak beradik itu menuju kemah mereka untuk makan siang. Beberapa menit kemudian, panglima perang memerintahkan kita untuk berangkat lagi. Waktu istirahat hampir usai. Aku, Daiyan, dan yang lainnya di dalam kelompokku mulai mengemasi barang-barang kembali. Kemah-kemah dilipat dan pasukan berangkat bergiliran membentuk barisan yang lebar dan panjang ke belakang. Beberapa waktu berlalu. Kami sudah bergerak sejauh dua kilometer. Panas mentari siang itu terasa panas membakar lagi. Keringat bercucuran dan membakar energi kami lebih banyak lagi. Entah mengapa pasukan kali ini bergerak lebih lambat dari biasanya. Medi dan Midan pun terlihat lemas dan tidak bertenaga. Sedari tadi mereka diam saja tidak berkata satu patah katapun. "Ada apa, pahlawan?" Aku tersenyum sambil menyenggol lengannya pelan. Tak kusangka, badannya terhuyung kesamping. Aku spontan meraih lengannya untuk membantu keseimbangannya.

"Apakah kau sakit?", tanyaku khawatir. Midan diam saja tidak menjawabku. Medi akhirnya yang angkat bicara. Dia memelankan suaranya dan berbisik padaku, "Paman, apakah paman memiliki sisa makanan? Kami belum makan siang." Aku sontak terkejut mendengarnya. "Apa yang terjadi?" Mereka saling bertatapan satu sama lain seolah-olah mengirimkan sinyal dan kode-kode tertentu. Akhirnya Medi yang angkat bicara dan menceritakannya padaku.

Beberapa waktu yang lalu ketika Abdullah usai bertikai dengan Medi, dia kembali ke kemahnya dengan memegangi lehernya. Masih terasa sakit dibagian lehernya dikarenakan serangan dari Medi. "Darimana kekuatannya itu. Dasar anak iblis!" Sambil menggerutu kesal dia kembali ke kelompoknya di dalam kemah. Didalam sana ada sekitar tiga puluh orang yang sedang tertawa dan menyantap makan siang. Makanan begitu melimpah ditengah-tengah mereka. "Ada apa denganmu, Abdullah? Santailah sedikit dan makanlah bersama kami." Seseorang datang menyambut dan merangkulnya. "Medi, si anak iblis itu telah menyerangku." Seisi kemah sontak diam dan mendengarkan dengan seksama. Seluruh pasang mata mengarah padanya. Abdullah duduk diantara mereka dan menghirup nafas panjang. Ia kemudian meraih teko dan meminum darinya.

"Medi? Anak kemarin sore itu? Bagaimana bisa kau kalah dengannya? Hajar saja anak itu." Sahut beberapa dari mereka. Abdullah hanya berdecak lidah kesal. "Tidak apa-apalah. Nanti kita bisa membalasnya kalau ada kesempatan. Sekarang makanlah dan bersenang-senanglah bersama kami." Mereka bersorak-sorai kembali. Seseorang berdiri dari duduknya dan mengangkat tangannya untuk meminta mereka diam sejenak. "Terus lakukan tugas kalian dan menyebarlah ke semua sisi pasukan. Jalankan semua strategi yang telah kuperintahkan. Cepat atau lambat mereka semua akan pulang dan menyerah. Sampaikan pesanku ini ke seluruh kelompok kita yang tidak sempat berkumpul disini sekarang." Diwaktu yang bersamaan, Yasir lewat dibelakang tenda mereka untuk mengambir air dan menuangnya kedalam teko. Kedua mata hitamnya terbelalak kaget.

Bab berikutnya