"Ikut aku!" Tiba-tiba pria itu menarik tangannya, membuat Agatha tersandung-sandung mengimbangi langkah lebarnya.
Kemudian dengan kasar mendorong Agatha ke tembok, membuat punggung gadis itu membentur permukaan datar. Agatha meringis dan mendelik tajam untuk berniat memakinya, akan tetapi begitu menyadari posisi mereka sekarang membuat kata-kata kasar Agatha tertahan di tenggorokan.
Tubuh besar pria ini sudah menghimpitnya, memblokir jalan kabur bagi Agatha dengan kedua lengan kokoh yang terjulur di kedua sisi tubuhnya. Perbedaan tinggi badan di antara mereka, membuat kepala Agatha mendongak ke atas yang seketika membuat napasnya tercekat ketika wajah pria itu terlihat terlalu dekat.
"Siapa namamu?" tanya pria nyentrik ini, mengintimidasi. Rambutnya dicat merah sesuai dengan setelan jasnya yang cerah.
Agatha menelan salivanya dengan berat. "Namaku Agatha," jawabnya merasakan tenggorokan yang serat.
"Berikan ponselmu," pinta pria ini memerintah. Lantas Agatha menurut dengan menyodorkan ponsel miliknya dari saku. Sejenak pria itu mengotak-atik ponselnya cepat. Agatha hanya melihat dengan muka melongo. Tidak tahu apa yang sedang dilakukan pria ini pada ponselnya.
Kemudian ponsel itu dikembalikan lagi. Seringai sinis terbentuk di bibir mengilap pria ini. "Agatha, mulai sekarang kau tidak akan bisa lepas dari pengawasanku lagi," tandas pria itu bernada mutlak. Dia menjauh dan berlalu begitu saja meninggalkan Agatha mematung di sini.
Agatha langsung memeriksa ponselnya. Dengan segera dia menemukan pesan baru di kotak pesan. Lalu Agatha mengerti. Pria itu mengirim pesan ke nomor asing, dan balasan dari nomor asing itu tertera sederet kalimat bernada narsis.
[Simpan nomorku. Dari si pria tampan sedunia, Niall.]
***
Agatha ke tempat duduknya di samping Aria. Aria yang mengetahuinya sudah kembali, mengatakan. "Kau kemana saja? Lama sekali ke toiletnya, konsernya mau mulai nih. Lihat!" Bertepatan dengan lampu dipadamkan dan hanya menyorot ke panggung tengah.
Suara musik diputar dengan volume paling tinggi. Ketika panggung bergerak dan seseorang muncul dari bawahnya, seketika membuat para penonton berteriak histeris menyambutnya.
Agatha sedikit terkejut melihat reaksi semua orang yang begitu terpana. Kemudian dia meluruskan pandanganya ke arah panggung. Penampilan yang menarik dengan setelan jas merah serta rambut sewarna, membuat Agatha merasa tidak asing saat melihatnya.
Sampai ketika kamera bergerak zoom-in dan layar videotron raksasa memperjelas sosok sang bintang, wajah pria itu terpampang besar di depan mata Agatha yang memelotot. Agatha membuka mulutnya karena terpengarah dengan ekspresi seolah tidak percaya.
Agatha pikir dirinya salah lihat. Namun setelah beberapa kali matanya berkedip dan memastikan penglihatannya tidak bermasalah, Agatha merasa speachless mengetahui pria narsis yang mengintimidasinya tadi ternyata seorang bintang utama dalam konser ini!
Sang idola semua wanita, termasuk sahabatnya!
Bahkan dia memiliki nomor ponselnya!
Ya Tuhan!
Haruskah dia merasa senang sekarang?
Tidak.
Yang ada malah Agatha jadi bingung sendiri. Dia tidak merasa senang, selain hanya terkejut dan janggal pada pria bernama Niall itu. Agatha tidak begitu yakin sosok bintang besar seperti Niall dengan suka rela memberikan nomor ponselnya pada orang asing tanpa alasan.
Tidak mungkin, bukan?
Ya, tentu saja tidak mungkin nomor pribadi pria itu!
Pria itu malah menuduhnya sebagai penguntit! Jadi, apakah Agatha akan dilaporkan olehnya pada polisi? Karena sekarang pria itu sudah mendapatkan nomornya, mudah saja di zaman sekarang untuk melacak identitas seseorang dari nomor ponsel, bukan?
Oh tidak .... apa sekarang situasi buruk akan terjadi padanya?
Memikirkan semua itu membuat Agatha terlihat menegang.
***
Konser selesai pukul setengah dua belas malam. Agatha dan Aria berada dalam perjalanan di mobil ketika panggilan telepon mengalihkan perhatian Aria.
Aria menghentikan mobilnya ke tepi jalan di mana di depannya terdapat jalur penyeberangan dan lampu lalu lintas. Jalanan nampak begitu lengang di malam hari saat Aria menjawab panggilan telepon di telinganya.
Entah apa yang dia dengar, Agatha memperhatikan ekspresi wajah sahabatnya berubah terkejut. Sepertinya Aria mendapat kabar mengejutkan dari seberang sambungan.
Tidak lama kemudian Aria menurunkan ponselnya dan pembicaraan mereka selesai. Ekspresinya terlihat sedih menatap Agatha di samping. Agatha lantas bertanya. "Apa terjadi sesuatu?"
"Aku harus pergi ke rumah sakit karena ayahku baru saja mengalami penembakan. Jadi arah kita tidak sejalan. Maafkan aku Agatha, aku tidak bisa mengantarmu sampai depan rumah," ucap Aria setengah hati.
"Astaga, apakah ayahmu terluka parah? Tidak masalah aku akan pulang sendiri. Lagipula aku hanya perlu menyebrang dari sini dan berjalan kaki sepuluh menit untuk sampai ke rumah," sahut Agatha berlapang dada.
Kemudian membuka pintu dan melangkah ke luar mobil. Saat itu kaca jendela mobil terbuka otomatis oleh Aria. "Agatha! Maafkan aku! Berhati-hati lah saat pulang!" seru Aria sebelum tancap gas melaju dengan cepat melewati lampu lalulintas yang menyala hijau.
Sedangkan Agatha menarik napas dalam. Dia berjalan beberapa langkah untuk ke garis penyebrangan jalan dan menunggu beberapa saat sampai lampu pejalan kaki berubah hijau. Suasana yang sepi bahkan hampir tidak melihat orang lewat, membuat Agatha merasa seperti berada di dunia ini sendirian.
Agatha tidak menyadari jika diam-diam langkah seseorang berjalan mendekat ke arahnya. Sampai kemudian ketika lampu berubah hijau, lalu Agatha melangkah turun dari trotoar, sebuah tangan menarik lengannya seketika. Agatha yang terkejut, merasakan punggungnya membentur sesuatu yang datar, bertepatan dengan melesatnya sebuah mobil begitu cepat di depan mata.
"Berhati-hati lah sebelum menyebrang. Kau hampir saja tertabrak mobil!" Suara berat khas seorang pria menegurnya. Suaranya terdengar familiar bagi Agatha.
Lantas Agatha berbalik badan untuk dapat melihat siapa pria yang telah menyelamatkannya dari tabrak lari barusan. Agatha terkejut. Penampilan pria itu terlihat sangat tertutup dan misterius untuk diwaspadai.
Sebab dia mengenakan topi hitam yang menutupi kepalanya yang dirangkap dengan hoodie jaket, kacamata hitam yang terlihat aneh dipakai di malam hari, serta masker hitam menyembunyikan setengah wajahnya.
Sontak membuat Agatha menjaga jarak dari pria itu. Matanya memindai seluruh penampilan pria misterius itu dari atas ke bawah dengan tatapan memicing. "Terima kasih," ucap Agatha mengerut takut. Topi, kacamata serta masker, membuat Agatha jadi teringat pada sosok pria yang pernah berkunjung ke toko buku tempo hari. Keduanya terlihat seperti orang yang sama. Namun, Agatha ragu kalau mereka bekerja sama selama wajahnya tidak dapat terlihat untuk dijadikan pembeda.
"Kau tidak perlu waspada saat bersamaku," kata pria itu lagi. Dia menurunkan masker ke dagunya. Menunjukkan sebuah hidung mancung yang terbentuk sempurna. Namun bukan itu tujuannya, sebelum kacamata hitam dilepas dari pangkal hidung, dan terlihat lah rupa seorang pria dengan iris hazel cemerlang di depan muka Agatha secara utuh.
"Kau?" Agatha nampak skeptis, antara terkejut dan tidak percaya dengan apa yang dikenalinya.
"Si narsis Niall?" tandas Agatha secara tak sadar meninggikan suaranya. Beruntung di sekitar mereka tidak ada seorang manusia lain. Sehingga tidak ada kepala yang menoleh reflek ke arah mereka sebagai tontonan.
"Ssst! Tenanglah. Bagaimana kalau ada yang mendengar? Di sekitar sini juga terpasang cctv!" protes Niall panik meletakkan jarinya di bibirnya sendiri.
"Kenapa kau bisa ada di sini?" Agatha mengabaikan kekhawatiran Niall. Dia melihat ke sekeliling hanya untuk menemukan sebuah mobil sport hitam terparkir di dekat pohon di sana. Selain itu dia tidak melihat mobil van ala artis besar bersama manajernya. Itu artinya Niall pergi sendirian?
***