webnovel

Hembusan Angin Malam

Dalam satu hari, Surya mengalami hal aneh dua kali. Dia tidak tahu mengapa hal itu terjadi kepada dirinya, sedangkan dirinya saja tidak melakukan hal-hal buruk maupun kesalahan yang melibatkan orang lain. Dari bangun tidur sampai saat ini pun aktivitasnya seperti biasa dan tidak ada yang istimewa.

Kini Surya sedang duduk di depan rumah sambil memeluk lututnya. Pikirannya terus berjalan memikirkan hal tersebut, meskipun sudah berlalu. Angin dingin menusuk kulit melalui celah-celah pori-porinya.

"Aku heran, kenapa ya akhir-akhir ini diriku terasa ada yang beda?" Tanya Surya kepada dirinya sendiri. Dia juga sadar bahwa ucapannya tentu tidak akan mendapatkan respon. Pasalnya saat ini hanya ada dirinya seorang.

Hanya ada kesunyian dan suara jangkrik yang menyelimuti dirinya. Suasana malam pun sangat terasa kental karena minimnya penerangan dan daerah tempat tinggal Surya masih banyak terdapat kebun dan sawah, sehingga wajar kalau ada suara jangkrik dan kodok yang saling bersahutan.

Surya berdecak, "Ck, kalau lama-lama seperti ini, maka aku bisa gila. Aku akan dianggap gila oleh orang lain!"

Kedua tangan Surya mengacak rambut seperti orang yang sedang frustasi. Dia sedikit kesal terhadap keanehan yang terjadi di akhir-akhir ini. Bahkan tidur pun tidak pernah nyenyak. Terkadang setelah bangun tidur, bukannya merasa badan segar, justru malah merasa semakin ada beban dan pegal-pegal. Surya sendiri tidak tahu mengapa hal tersebut bisa terjadi kepada dirinya.

Tepat saat ada hembusan angin, dia merasakan ada sesuatu yang berbisik di telinganya. Suaranya tidak jelas, seperti ada pesan yang disampaikan. Kedua tangan Surya mengacak kedua telinganya. Dia tidak ingin kejadian ini semakin menjadi-jadi.

"Argh!" Pekik Surya benar-benar sudah kesal.

"Hey!" Sapa Arga yang merupakan anak ketiga.

Kedua mata Surya terlihat tidak suka ketika menatap adik laki-lakinya. Dia sadar bahwa dirinya tidak bisa akur dan bahkan hal-hal kecil saja akan jadi masalah. Di mana ada mereka berdua, disitulah akan ada masalah. Baik dari segi masalah kecil maupun masalah besar. Mereka berdua bagai kucing dan tikus yang tidak pernah bisa akur.

Surya memutuskan tetap diam saja tanpa sedikitpun meresponnya. Dia kembali menatap ke arah depan seakan tidak ada kehadiran Arga. Bagi Surya, sikap cuek adalah salah satu cara untuk menghindari keributan.

Namun, hal itu beda lagi kalau menurut Arga. Sebagai adik, dia merasa kehadirannya tidak dianggap oleh kakaknya. Padahal sebagai kakak harus memiliki rasa menghargai dan menyayangi kepada yang lebih kecil.

Tuk!

Arga mengetuk kepala Surya tanpa merasa dosa. Ketika Surya mendelik kesal pun malah Arga senyum-senyum saja. Andai mood Surya sedang tidak bagus banget pun biasanya akan terjadi perkelahian sampai dengan menggunakan fisik.

"Apa mendelik gitu? Nanti matanya lepas loh."

"Kenapa protes? Ini kan mataku sendiri."

"Apa kamu bilang?!" Tanya Arga bergaya seperti orang yang sedang terpancing emosi.

"Loh, apa yang tadi aku bilang nggak didengar ya? Kasihan masih kecil sudah tuli," ejek Surya dengan senyum jahilnya. Nah, inilah mereka, yang satu pendiam dan yang satunya lagi banyak gaya dan mudah tersinggung.

"Capek juga ya kalau punya kakak, tapi nggak punya perasaan."

Surya tidak hanya tinggal diam, dia juga tidak terima ketika dibilang tidak memiliki sopan santun. Apa yang diucapkan oleh Arga, menurut Surya tidak sesuai dengan fakta. Oleh karena itu, Surya tidak terima apa yang sudah dikatakan oleh kakaknya, meskipun dia adalah kakak kandung sendiri.

"Capek juga ya kalau punya adik tapi nggak ada rasa kemanusiaan," sindir Surya.

"Apa kamu bilang?!"

"Sudahlah Dik, nggak usah ganggu aku. Apakah malam ini kamu merasa kesepian sampai harus merusak suasana perasaan orang lain?" Tanya Surya begitu menohok di hati, meskipun itu pertanyaan umum.

"Kakak tuh ya, lagian malam-malam seperti ini, kenapa Kakak diam dan sendirian di depan rumah?"

"Nggak apa-apa, cuma lagi ingin saja."

"Tuh sudah ditunggu buat makan malam, nanti malah nggak kebagian makan loh," kata Arga.

"Iya," sahut Surya lalu bangkit meninggalkan Arga begitu saja.

Makan adalah salah satu hal yang sangat Surya sukai. Terkadang dia ingin bisa makan lebih ataupun makan sepuasnya, akan tetapi ibunya seringkali menanak nasi dengan jumlah pas-pasan agar bisa mengirit beras. Jadi, bisa makan saja sangat berarti banget bagi keluarga mereka. Bahkan cukup nasi dan air garam saja rasanya sangat sedap, apalagi ditambah dengan lauk.

Ternyata benar, sudah ada ibu, kakak, dan adik yang sudah siap dengan piring plastiknya masing-masing. Peralatan makan mereka memang menggunakan bahan plastik semua. Selain tidak mudah pecah, hal itulah menghindari banyak kerusakan yang mungkin akan sering terjadi karena setiap kali ayahnya marah maka akan membanting hal-hal yang ada di dekatnya, meskipun nanti terkadang dibenahi kembali. Setidaknya hal tersebut bisa meminimalisir terjadinya kerugian akibat perbuatan orang tempramental.

"Sini, Kak!" Ajak Anes sambil menepuk sebelah kanannya memberi petunjuk bahwa Surya harus duduk di sampingnya.

Surya pun mengiyakan permintaan Anes. Dia duduk di dekat Anes lalu mengambil piring yang sudah menjadi bagiannya. Mereka duduk berjajar dan saling berhadapan.

Seperti biasa bahwa pembagian jajan akan dibagikan oleh Siti sesuai dengan porsi masing-masing. Semakin dewasa maka porsi yang diberikan akan semakin banyak dan lauknya pun enak-enak. Dari mulai porsi banyak hingga sampai porsi sedikit.

Setiap kali akan makan bersama, Anes selalu merasa sakit hati karena mendapat porsi kecil. Bukan karena tidak bersyukur, tapi masih sangat lapar dan terkadang sampai dirinya harus bisa menahan rasa sakit. Saat ini saja dia menatap ibunya tidak suka, kedua pipinya menggembung, dan bibirnya mengerucut.

"Kenapa sih Ayah selalu mendapatkan porsi banyak, padahal dia tidak pernah membuat Ibu bahagia?" Tanya Anes.

"Ibu bahagia kok," sahut Siti dengan tatapan mata masih fokus terhadap pembagian nasi dan lauk.

"Bukannya Ibu seringkali dipukul bahkan dicaci maki sampai ibu menangis. Apakah itu yang dinamakan kebahagiaan?"

Deg!

Pertanyaan Anes benar-benar menohok hati. Siti terdiam sejenak untuk menatap putri kecilnya. Hanya Anes lah yang berani protes. Setelah itu, Siti kembali melanjutkan kegiatannya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Apa yang dikatakan Anes memang ada benarnya, tapi bukan berarti Siti akan menjelek-jelekkan suami di depan anak-anaknya. Selain itu, Siti juga masih sayang kepada suaminya, meskipun pada kenyataannya dirinya sering disakiti, baik fisik maupun batin.

"Sekarang Ayah di mana? Malam-malam seperti ini nggak di rumah dan Ibu malah ngasih jatah makan Ayah banyak banget."

"Bukan karena itu, tapi laki-laki itu butuh banyak tenaga dan tentunya juga butuh makan banyak untuk asupan tubuh," jelas Siti.

Kening Anes mengkerut membentuk gelombang-gelombang kecil. "Banyak tenaga? Bukannya Ayah selalu menghemat tenaga? Dia sering di rumah makan, ngerokok, dan tidur, bahkan hampir tiap hari kegiatannya seperti itu mulu. Mau kerja pun kalau suasana hati dia sedang baik. Padahal keadaan menuntut tiap hari."

Anes memang anak kecil, tapi dia didewasakan oleh keadaan. Namun, bukan berarti Anes bisa bersikap dewasa. Sesuai dengan umurnya saja bahwa dirinya masih tergolong anak-anak, di mana tempatnya adalah bermain dan belajar.

"Iya nih Ibu benar-benar merajakan Ayah yang nggak tahu diri," imbuh Surya.

"Sudah semakin terlihat petang seperti ini, Ayah nggak di rumah. Aku yakin bahwa dia sedang enak-enakan dengan wanita lain atau judi," ujar Arga yang tiba-tiba duduk di samping Surya. Dia tidak peduli lagi mengenai adik-adiknya ketika mengetahui kejelekan ayahnya karena memang itulah salah satu tujuannya.

"Iya aku juga heran sama Ayah, tapi lebih heran lagi sama Ibu. Bisa-bisanya terima-terima saja ketika disakiti secara terang-terangan, huft!"

"Tapi kalau nggak ada Ayah kamu, maka nggak ada kalian loh," kata Siti.

Bab berikutnya