webnovel

Wind Breeze 8

"Kemana syalmu?" tanya Charles ketika ia melihat William kembali tanpa mengenakan syalnya.

"Terjatuh di jalan dan aku malas memungutnya lagi," jawab William. Ia kemudian naik ke atas boncengan motor yang dikendarai oleh Charles.

Charles tidak banyak bertanya dan segera menyalakan mesin motornya. Setelah itu mereka pergi meninggalkan klub yang mereka datangi.

Sepanjang perjalanan kembali, William terdiam sambil memikirkan apa yang baru saja ia lakukan pada Esmee. Semuanya terjadi begitu saja ketika ia melihat Esmee keluar dari dapur klub tersebut.

"Apa yang kau lakukan, bodoh?" ucap suara di dalam kepala William.

"Dia bisa salah sangka dengan perlakuanmu tadi."

"Jangan lupakan niatmu sebelum datang ke tempat itu."

Suara-suara di dalam kepala William membuatnya menghela nafas panjang. Ia sendiri tidak bisa memastikan apa yang menjadi fokusnya saat ini. Tentu saja ia tidak melupakan tentang masalah surat wasiat yang membuatnya terpaksa datang ke Riquewihr.

William tiba-tiba menepuk bahu Charles. "Hentikan motornya, Charl."

"Ada apa? Sebentar lagi kita sampai?" sahut Charles.

"Aku ingin berjalan kaki sebentar," jawab William.

Charles akhirnya menepikan motornya dan membiarkan William turun. "Kau yakin mau berjalan kaki?"

William menganggukkan kepalanya. "Ini sudah tidak terlalu jauh. Aku ingin berjalan-jalan sebentar."

"Ya sudah kalau begitu. Aku duluan," ujar Charles. Ia lalu kembali mengendarai motornya dan pergi meninggalkan William.

William mendesah pelan setelah Charles meninggalkannya di pinggir jalan. Ia lalu melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki.

----

Esmee terduduk di tepi tempat tidurnya setelah ia sampai di kamarnya. Ia masih memikirkan pertemuannya dengan William di belakang klub tempatnya bekerja. Esmee menelan ludahnya lalu mengeluarkan ponselnya.

Selanjutnya Esmee mengetikkan pesan yang hendak ia kirimkan untuk William. "Tolong jangan beritahu siapapun kalau aku bekerja paruh waktu di klub."

Esmee langsung meletakkan ponselnya setelah ia selesai mengirim pesan untuk William. Ia kemudian melepaskan syal milik William yang masih melilit lehernya.

Tangannya meraba syal milik William yang terasa sangat lembut. Esmee menyusuri tiap jengkal syal tersebut sambil tersenyum simpul.

Disaat Esmee sedang memperhatikan syal milik William, ponselnya bergetar dan Esmee segera mengambilnya. Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Esmee membuka pesan tersebut dan membacanya.

"Aku tidak akan memberitahu siapapun. Tapi kau harus memperhatikan kesehatanmu," balas William.

Esmee tersenyum ketika ia mengetikkan pesan balasan untuk William. "Aku akan menjaga kesehatanku. Kau tidak perlu khawatir. Nanti aku akan mengembalikan syal milikmu."

Beberapa saat setelah Esmee mengirimkan pesan balasan, William kembali membalasnya. "Simpan saja. Aku masih punya banyak syal seperti itu."

Esmee tertawa pelan dan kembali mengirimkan balasan. "Terima kasih. Sebagai gantinya, aku akan membuatkanmu sarapan."

Esmee tersenyum-senyum sementara ia menunggu William kembali membalas pesannya. Sampai beberapa menit berlalu, William tidak kunjung menjawab pesannya. Esmee akhirnya menghela nafas panjang dan kembali meletakkan ponselnya di meja nakas.

Sambil terus memegang syal milik William, Esmee berbaring di tempat tidurnya. Esmee mendekatkan syal tersebut ke hidungnya dan menghirup aroma yang tersisa di dalam syal milik William. Ia kemudian meletakkan syal tersebut dan tersenyum sambil memejamkan matanya.

----

William berdiri tidak jauh dari restoran D'Amelie. Ia menatap ke arah restoran tersebut sambil memperhatikan bangunan di sekitar restoran tersebut yang sudah menjadi bagian dari perusahaan properti milik keluarganya.

Mata William kemudian menangkap cahaya lampu yang baru saja dimatikan dari lantai atas restoran D'Amelie. "Baguslah kalau dia sudah tertidur."

Suara-suara di dalam pikirannya masih memperebutkan pilihan William untuk terus melanjutkan usahanya untuk menghancurkan restoran milik Esmee, atau bernegosiasi dengan ayahnya dan membiarkan restoran itu tetap berdiri.

"Pria tua itu tidak akan membiarkan ada orang yang merusak rencananya. Aku juga tidak mau apa yang aku miliki hilang begitu saja karena sebuah restoran kecil," ujar William. Ia kemudian berbalik arah dan kembali berjalan menuju tempat tinggalnya.

----

Keesokan paginya, William kembali menunggu Esmee di jalan menuju tempat berbelanja bahan makanan. Kali ini Esmee muncul lebih cepat dari sebelumnya. Dari kejauhan William melihat Esmee yang tersenyum lebar ketika sedang berjalan ke arahnya.

"Sebenarnya kau terbuat dari apa, Esmee? Kau baru pulang dari klub jam dua pagi dan sekarang kau sudah berbelanja kebutuhan restoran," ujar William begitu Esmee menghampiri.

Esmee tersenyum simpul sambil mengangkat bahunya. "Entahlah. Aku juga bingung kenapa aku bisa sekuat ini."

"Besok-besok biarkan aku yang berbelanja bahan makanan. Kau perlu lebih banyak istirahat," sahut William.

Esmee mengangguk pelan. Ia dan William kemudian berjalan bersama menuju toko bahan makanan milik Anne.

"Kenapa kau sampai bekerja paruh waktu seperti itu?" tanya William tiba-tiba.

"Aku perlu mencari uang tambahan. Kau tahu sendiri bagaimana kondisi restoran saat kau pertama kali datang," jawab Esmee.

"Kau mencari uang tambahan untuk hidupmu atau untuk menghidupi restoranmu?" William kembali bertanya pada Esmee.

"Keduanya."

William mengerutkan keningnya sambil menatap Esmee. "Kau mau menggaji karyawanmu dengan hasil keringatmu bekerja di klub?"

Esmee balas menatap William. "Kalau itu diperlukan, aku akan melakukannya."

"Kalau kau sudah tidak bisa mengelola restoran itu, seharusnya kau mengikuti para pemilik toko di sekitarmu untuk–"

"Aku tidak akan menjual restoranku sampai kapanpun. Aku sudah memberitahu alasannya padamu," sambar Esmee.

"Tapi melihat apa yang kau lakukan saat ini, itu lebih baik daripada kau mengacaukan kesehatanmu sendiri," timpal William.

"Aku tidak peduli dengan kesehatanku. Selama aku bisa tetap menjalankan restoran peninggalan keluargaku," sergah Esmee.

"Kau benar-benar bodoh, Esmee."

Esmee menganggukkan kepalanya setelah mendengar ucapan William. "Aku memang bodoh. Aku wanita bodoh yang akan melakukan apapun demi meneruskan restoran milik keluargaku."

Esmee mendengus kesal lalu mempercepat langkahnya. Sementara itu William menghela nafas panjang setelah menyadari apa yang baru saja ia katakan pada Esmee.

"Bodoh. Apa yang kau katakan?" batin William.

William kemudian berlari dan mengejar Esmee. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyinggungmu."

Esmee diam dan tidak menanggapi ucapan William. Ia terus berjalan sambil menatap lurus ke depan. Seolah-olah ia tidak menyadari keberadaan William di sampingnya.

"Esmee, maafkan aku," bujuk William.

"Hei! Apa kau mendengarku?" William menarik tangan Esmee dan membuatnya berhenti berjalan.

Perlahan Esmee menoleh dan menatap William. "Apa yang harus aku dengar?"

William menelan ludahnya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyinggungmu dengan kata-kataku barusan."

"Kata-katamu itu sangat menamparku, Will. Aku tidak tahu harus berkata apalagi setelah kau menyebutku bodoh. Aku sadar akan kebodohanku. Tapi kalau aku tidak melakukan itu, Marie, Sven dan yang lainnya juga akan kesulitan," terang Esmee.

Esmee menatap William tajam sambil melanjutkan kata-katanya. "Aku beruntung mereka tidak mengundurkan diri seperti yang lain. Mereka tetap berada di sisiku meskipun mereka tahu aku kesulitan. Aku mengenal mereka semua dengan baik dan aku tahu apa yang harus aku lakukan untuk mereka."

William perlahan melepaskan pegangannya pada Esmee. Ia menatap Esmee dengan tatapan tidak percaya. "Semoga kau sadar apa yang kau lakukan itu bisa membahayakan dirimu sendiri."

"Aku tidak peduli. Jangan beritahu mereka kalau aku bekerja paruh waktu," sahut Esmee.

William menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Aku sudah mengatakannya padamu semalam. Aku tidak akan memberitahu yang lain."

Esmee menatap William sambil tersenyum simpul. "Terima kasih."

Esmee kemudian melanjutkan langkahnya dan William segera menyusulnya.

"Apa kau memaafkanku?" tanya William sambil berjalan.

Esmee menganggukkan kepalanya. "Tidak ada yang salah dengan kata-katamu. Kau selalu berhasil menamparku dengan kenyataan dan itu membuatku sedikit kesal."

"Kalau begitu lupakan saja pembicaraan kita pagi ini. Aku akan mentraktirmu sarapan. Bagaimana?" William sedikit menundukkan kepalanya untuk melihat ekspresi wajah Esmee.

Esmee berdecak pelan. "Oke. Aku juga akan melupakan ucapanku semalam soal membuatkanmu sarapan. Kau membuatku kesal dan sekarang aku jadi lapar."

William menyenggol lengan Esmee sambil tertawa pelan. "Kau mau makan apa?"

"Apa saja selama itu bisa membuatku melupakan kekesalanku padamu," jawab Esmee.

William tertawa pelan setelah mendengar ucapan Esmee. "Kau pilih saja apa yang mau kau makan. Aku akan membayar semuanya."

"Aku akan membuatmu menyesal karena sudah mengatakan itu, Will."

"Oh, coba saja."

William dan Esmee kemudian tertawa bersama dan kembali melanjutkan langkah mereka. William terus melemparkan lelucon pada Esmee agar wanita itu bisa melupakan ketegangan kecil yang terjadi diantara mereka. Hal itu membuat Esmee tidak berhenti tertawa sampai akhirnya mereka tiba di toko milik Anne.

****

Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. I was hoping you could share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^

Original stories are only available at Webnovel.

Keep in touch with me by following my Instagram Account or Discord pearl_amethys ^^

pearl_amethyscreators' thoughts
Bab berikutnya