Syuush! Tangannya berayun, tapi kali ini berbeda dengan apa yang terjadi sebelumnya. Kini, Qelia dengan mudah menangkap tangan itu, lalu membanting tubuh Jennice yang lebih besar darinya hanya dalam satu gerakan.
"Uhkk!" Jennice tak lagi bersuara. Tubuhnya bergetar menahan rasa sakit dengan mata yang terbelalak tak percaya melihat Qelia. Jelas dia tak percaya, karena tubuhnya baru saja dibanting oleh wanita yang ukuran tubuhnya lebih kecil dari dia.
Ketiga tahanan di sudut sel pun juga ikut terbelalak. Mereka ingin berteriak tapi menutup mulut agar tidak ribut. Mereka saling bertatapan satu sama lain dengan tubuh yang juga bergetar, tapi ini getaran ketakutan.
"Sudah aku peringatkan sebelumnya. Aku tak ingin mencari masalah sedikitpun. Tapi, kamu sudah membangkitkan sisi diriku yang lain. Setidaknya, kau harus menenangkan diriku ini bukan?" tanya Qelia dengan nada menahan emosi sambil tersenyum.
Saat ini. Qelia masih belum melepaskan cengkramannya dari tubuh Jennice sedikitpun. Semakin lama, Qelia mengerahkan kekuatan semakin banyak. "Ah, sebelum itu. Aku akan menutup mulutmu agar tak berteriak," bisik Qelia pelan.
Anehnya, tiga orang yang berdiam dengan tubuh bergetar itupun bisa mendengar kalimat Qelia barusan. 'Aku tak akan mencari masalah dengannya di masa depan!' batin mereka yang kebetulan lagi satu server.
Qelia kemudian menekan beberapa titik akupuntur untuk mengunci pita suara seseorang. Setelah itu, dia tersenyum dan mengeluarkan hawa membunuh yang cukup pekat.
Krakk! Bunyi tulang patah. Jennice seketika berteriak dengan keras, tapi pita suara miliknya telah dikunci. Jadi dia hanya berteriak dalam bisu. Sementara mereka yang duduk di pojokan hanya bisa menutup mulut dan menyaksikan siksaan kejam di depan mata.
Entah berapa lama Qelia terus mematahkan beberapa tulang Jennice. Akhirnya dia menghela napas pelan sambil menutup mata. Begitu membuka mata, dia langsung menengok ke arah tiga tahanan lain yang satu sel dengannya.
Tangannya terangkat menunjuk ke arah mereka. Saat itu juga, para tahanan yang duduk diam terbelalak. "Jangan mengatakan hal ini pada siapapun! Jika tidak, nasib kalian akan sama sepertinya," kecamnya kembali menunjuk ke arah Jennice yang terbaring meringkuk kesakitan di lantai sel.
Mereka bertiga pun mengangguk tanpa basa-basi. Melihat apa yang barusan Qelia lakukan pada Jennice, sudah pasti membuat nyali mereka ciut sebesar butiran debu. Melihat mereka menurut, Qelia tersenyum.
"Baiklah. Kalau begitu, aku akan mengembalikan posisi tulangnya ke bentuk semula," ungkapnya tersenyum. Jennice yang meringis kesakitan menahan tangis langsung terbelalak. Dia sontak beringsut mundur dengan kepala menggeleng pelan, disertai tatapan memohon.
"Oh ayolah, untuk apa takut? Hanya sedikit sakit kok," bujuk Qelia terus melangkah mendekat. Terus bergerak mundur perlahan menyeret tubuhnya, kini punggung Jennice menghantam dinding.
Kepalanya bergerak ke sana ke mari mencari ruang lain untuk kabur. Akan tetapi, Qelia menghalangi ruang untuk kabur tersebut. Senyumnya pun semakin lebar. "Ayo dimulai!" ucap Qelia pelan sambil tersenyum. Sekali lagi, teriakan tanpa suara mengisi sel yang ditempati total lima orang termasuk Qelia.
"Selesai. Jangan berkata apa-apa pada para Penjaga. Jika kamu melaporkan hal ini. Mungkin bukan hanya tulang patah yang menanti. Tapi juga ceceran darah dan daging," bisik Qelia sambil mendekat ke telinga Jennice.
Dia membuka titik akupuntur yang tadi dipraktekkan ke Jennice. Sekarang perempuan bertubuh besar itu bisa berbicara, tapi dia tak bersuara karena takut pada Qelia.
Tak melihat satupun respon setuju dari Jennice. Qelia mengangkat keningnya. "Apa kamu tuli? Jawab sekarang!" Qelia berucap dengan nada mengecam. Jennice pun langsung tersentak dan mengangguk.
"I–iya," jawab Jennice terbata-bata. Kepalanya menunduk. Sifat angkuhnya seperti menguap ke udara tanpa ada sisa. Senang mendengar itu, Qelia membalikkan tubuhnya dan melangkah ke sudut sel yang sebelumnya dia tempati.
Hening menyelimuti ruangan sel, tapi tidak dengan pikiran Qelia yang sekarang sedang berdiskusi dengan Xevanus.
"Saya bisa keluar dari tubuh Anda dan mencari asal-muasal dari hawa keberadaan artefak ini. Akan tetapi, saya keluar dalam bentuk jiwa saja," jelas Xevanus mengusulkan sebuah ide.
Lantas, sebelah alis Qelia pun terangkat mendengar usulan dari Xevanus. 'Bentuk roh itu seperti bola api yang terbakar itukah?' tanya Qelia dalam hati, menerawang bagaimana wujud Qelia yang asli ketika dia bertemu di alam bawah sadar.
Tawa Xevanus menggema dalam kepala Qelia, membuat wanita dua anak itu kebingungan. "Sudah jelas bukan. Yang saya maksud itu. Wujud roh saya ketika keluar adalah wujud manusia yang sekarang dipakai, karena saya masih hidup. Tapi, jika saya sudah mati. Maka rohnya akan sama seperti yang Anda bayangkan barusan," jawab Xevanus mengusap air matanya karena tertawa.
Paham perkataan Xevanus barusan. Qelia membentuk bibirnya seperti huruf O, tanda bahwa dia paham. 'Bagaimana caranya kamu keluar? Apakah aku bisa melihatnya? Dan, apa kamu juga bisa melihat langsung bagaimana kondisi Aksvar dan Vesko?' batin Qelia melontarkan pernyataan yang ada di benaknya.
Napas Xevanus seakan sedang tertahan mendengar pertanyaan Qelia yang hampir tidak ada titik dan koma. Begitu kalimat Qelia selesai dan sampai di akhir. Xevanus menarik napas, lalu menghembuskannya berulang kali dengan kurun waktu yang cukup lama.
"Saya hanya perlu keluar saja, seperti membuka pintu. Akan tetapi, Anda tidak bisa melihat saya. Sebab, indra keenam Anda yang ada pada tubuh belum terbuka." Xevanus menjeda ucapannya dan menarik napas.
"Dan untuk mengamati kedua bocah itu, saya selalu melakukannya untuk memastikan keadaan mereka aman. Namun, karena Anda memintanya seperti itu. Saya akan melakukannya," sambung Xevanus tersenyum.
Helaan napas lega pun berembus dengan cukup keras dari mulut Qelia. Dia mengusap dada dan tersenyum. 'Baiklah, kamu cari artefak itu dan lakukan apa yang kamu perintahkan,' batin Qelia memberi izin.
Di sisi lain, para tahanan yang satu sel dengan Qelia bergetar ketakutan ketika helaan napas darinya terdengar. Mereka berpikir kalau Qelia ingin melampiaskan emosi.
Xevanus terdiam. "Tempat artefak ini sepertinya agak jauh. Saya tak bisa sejauh itu. Sebab, kekuatan saya yang asli dibagi jadi setengah. Kemudian dipecah dan disegel ke segala tempat di penjuru muka Bumi," ucap Xevanus dengan nada ragu-ragu akan perkataannya barusan.
Qelia pun mematung di tempat. 'Berarti ... aku harus mendekat lagi ke asal-muasal hawa keberadaan dari artefak ini?' tanyanya dalam hati pada Xevanus.
Xevanus mengangguk dan berkata, "Iya."
Otak Qelia bekerja dengan sangat keras memikirkan apa yang harus dilakukan. Tak lama berselang dia berpikir, sebuah jawaban terlintas di benaknya. Dia langsung menoleh ke arah para tahanan lain.
"Kapan kita akan keluar sel?" tanya Qelia memiringkan sedikit kepalanya dengan nada sopan.
Sayangnya, tingkah sopan Qelia itu sangat berbeda dengan tahanan yang satu sel bersamanya, terutama pada Jennice yang merasakan kekuatan Qelia lebih besar dari wujudnya yang terlihat kecil dan rapuh.
"A–ah, i–itu ketika waktunya kita makan. Sekitar pukul enam pagi, dua belas siang, dan terakhir pukul delapan malam," jelas Jennice terbata-bata, saat dia tak melihat ada tahanan lain yang berani menjawab.