Meskipun Evan terlihat sangat kejam dan dingin, tapi jauh di lubuk hatinya ia adalah seorang pria yang lembut dan penuh kasih sayang. Dan sifat Evan itulah yang mampu meluluhkan hati Rhea yang lebih memilih Evan dari pada Julian.
Evan memang sering melakukan penjarahan harta dan kekuasaan klan lain, tapi ia tidak pernah lupa untuk berbagi kepada kaum miskin. Bahkan ia membuat peraturan di rumah sakit miliknya untuk tidak menarik bayaran se sen pun untuk orang-orang yang tidak mampu.
"Lalu ... kapan tuan Evan akan membagikan semua emas-emas ini?" tanya sang anak buah penasaran.
"Secepatnya, tapi aku harus menjual emas-emas ini dulu agar kita bisa membaginya dan agar bisa langsung dipergunakan dengan mudah," jawab Evan yang diangguki oleh sang anak buah.
Sebagai seorang pemimpin, Evan begitu dikagumi oleh anak buahnya. Dan karena kebaikan Evan inilah yang membuat anak buahnya bisa begitu setia kepadanya.
"Baiklah, saya akan membantu tuan," ucap sang anak buah.
Di hari itu juga, Evan langsung bergerak menjual emas-emas jarahannya dibantu oleh anak buahnya. Tidak butuh waktu yang lama bagi Evan untuk menyulap batangan-batangan emasnya menjadi lembaran uang yang nilainya sangat fantastis, karena ia menjual seluruh emasnya kepada rekan bisnisnya.
"Sepertinya kamu hari ini sedang sibuk, Evan," ucap Peter, Ia berjalan menghampiri Evan yang sibuk memasukkan 2 gepok uang ke dalam kantong warna hitam.
"Apa kamu sudah sembuh sampai bisa berjalan-jalan?" tanya Evan tanpa memalingkan wajahnya.
"Aku hanya sedang bosan, aku pikir sedang bermimpi karena melihat banyak uang di hadapanku sekarang ini," jawab Peter. "Apa kamu jadi membagi-bagikan uang ini ke jalanan?" tanyanya lagi sambil duduk di sofa yang berada di ruang kerja Evan.
"Apa kamu aku antar ke taman bermain supaya kamu tidak merasa bosan,'' seloroh Evan.
"Beri aku 5 gepok uang agar aku tidak merasa bosan, apakah aku harus menodongmu dulu dengan pistol agar kamu mau memberiku uang? Atau aku harus membuatmu jatuh cinta kepadaku dulu agar kamu mau membangunkan aku mansion mewah," ucap Peter asal.
Evan melempar segepok uang ke arah Peter yang hampir saja mengenai perutnya, untungnya Peter reflek menghindar dan tidak sampai mengenai lukanya.
"Evan!! Apa kamu sungguh-sungguh mau membunuhku?!" Peter merasa kesal.
"Dari pada kamu terus mengomel seperti nenek-nenek, lebih baik kamu membantuku mengemas uang-uang ini," suruh Evan yang direspon Peter dengan helaan napas.
"Dasar Evan! Kamu selalu saja membuatku susah," omel Peter yang kemudian ikut bergabung untuk membantu. "Apa aku beneran tidak boleh minta? Meskipun hanya satu lembar?" tanya Peter menggoda yang mendapat tatapan tajam Evan.
"Oke ... oke ... aku hanya bercanda, jangan menatapku seperti singa yang baru saja dilempar segepok uang begitu dong," ucap Peter lagi.
"Hey, Peter! Hentikan itu! Aku sangat geli melihatnya," perintah Evan saat melihat Peter sesekali mengusap perutnya seperti perempuan yang sedang hamil.
"Apa maksudmu? Aku hanya sedang mengelus perutku yang sakit, kamu tidak pernah merasakan bagaimana rasanya tertembak di perut sepertiku. Coba kalau kamu yang tertembak, pasti kamu juga melakukan hal yang sama," kilah Peter yang membuat Evan dan tangan kanannya yang lain geleng-geleng kepala.
2 jam kemudian.
Pekerjaan mengemas uang telah selesai, Evan menggeliat melemaskan otot-otot kekarnya yang lelah karena hampir 4 jam lamanya ia bersama dengan Peter dan yang lainnya mengemas uang.
Kini uang-uang itu sudah dimasukkan kedalam mobil dan siap untuk dibagi-bagikan, Evan sendirilah yang membagi-bagikan uang itu bersama dengan Peter. Meski pria itu hanya lebih sering duduk di dalam mobil dari pada ikut membantu Evan.
Para gelandangan di jalanan, rumah-rumah orang miskin, dan lain sebagainya. Semuanya dibagi rata yang membuat wajah para gelandangan menjadi bahagia, bahkan ada nenek-nenek yang mencium dahi Evan sebagai tanda terima kasih.
Tidak sampai 2 jam, semua uang yang diletakkan di dalam mobil Evan yang berukuran besar itu hampir semuanya selesai dibagikan.
"Tinggal 3 kantong tersisa, kita harus bagikan kemana lagi?" tanya Peter yang duduk di samping Evan.
"Kita jalan saja, barangkali nanti di jalan kita bertemu dengan yang membutuhkan," jawab Evan langsung menginjak pedal gas.
Tidak beberapa lama kemudian, mobil Evan berhenti di lampu merah. Mobil Evan berhenti tepat di tengah, saat Evan menoleh ke samping, matanya tiba-tiba terpaku menatap ke seberang jalan.
Evan melihat ada seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan yang tuna netra dan hendak berjalan menyeberang. Tapi tak ada seorang pun yang bersedia menyeberangkannya, beberapa orang hanya menonton saja tanpa mau berinisiatif untuk membantu menyeberangkan.
Evan merasa iba dan saat Evan hendak turun dari mobilnya untuk membantu wanita tuna netra itu menyeberang. Tiba-tiba jari-jari lentik nan halus seorang perempuan terlihat lebih dulu menggapai lengan wanita tuna netra itu untuk membantu wanita tua itu menyeberang.
"Iris," lirih Evan saat netranya mengenali sosok gadis muda berwajah cantik yang kini sedang membantu wanita itu menyeberang.
Namun sayangnya saat berada di tengah jalan, lampu lalu-lintas telah berubah menjadi hijau. Suara klakson terdengar bersahut-sahutan dari mobil-mobil yang tak sabar untuk segera berjalan.
Tak tega melihat Iris yang terlihat sedikit panik, Evan lantas keluar dari mobil. Setelah meminta maaf terlebih dahulu kepada wanita tua itu, Evan langsung menggendong wanita tua itu dan berjalan ke seberang.
Ucapan kata terima kasih pun tak henti-hentinya keluar dari mulut wanita tua yang telah Evan bantu, sedangkan mata Iris tak henti-hentinya memandang kagum kepada Evan yang telah berbaik hati membantu wanita tua itu.
"Grazie," ucap Iris.
"Aku tidak menolongmu, kenapa kamu mengucapkan terima kasih kepadaku?!" tanya Evan dingin.
Iris sudah sepertinya sudah terbiasa menerima perlakuan dingin dari Evan, gadis itu hanya mampu membalas sikap dingin Evan dengan senyuman manis.
"Aku hanya ingin mengucapkannya saja, apa tidak boleh?" Iris bertanya balik yang membuat Evan seketika menatapnya dengan sorot mata yang dingin.
"Jangan mengajakku berbicara lagi! Dan jangan salah mengartikan sikapku!"
"Baiklah, aku minta maaf. Aku tidak akan mengajakmu berbicara lagi," ucap Iris dengan raut wajah yang sedih kemudian ia berbalik dan pergi meninggalkan Evan yang ternyata sedang menatap punggung Iris.
Tangan Evan seketika merayap memegangi dada sebelah kirinya, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang selalu bergejolak saat berada di dekat Iris.
"Tidak Evan! Perasaan yang kamu rasakan sekarang ini hanyalah untuk Rhea! Bukan untuk gadis lain! Tapi kenapa perasaan yang aku rasakan untuk Rhea bisa sama persis dengan perasaan yang aku rasakan untuk Iris?" lirih Evan.
"Aku tidak boleh jatuh cinta! Aku tidak mau merasakan sakit karena kehilangan wanita yang aku cintai lagi, cukup hanya Rhea yang menjadi korban Julian. Aku tidak mau mengorbankan gadis lain untuk mati sia-sia hanya karena kebencian dan dendam."
Evan tidak mau mengulangi kesalahan yang sama dengan kehilangan orang yang sangat ia cintai, Evan pun terpaksa mengubur perasaannya. Ia tidak mau lagi merasakan jatuh cinta setelah apa yang terjadi kepada Rhea.
To be continued.