Tidak banyak yang berubah sejak insiden tempo hari. Sekolah kembali kondusif seperti biasa. Namun tidak ada yang bisa mencegah semua orang untuk membicarakan tentang Sonia.
Sonia hari ini tidak masuk sekolah.
"Coklat siapa?" Rani yang meletakkan buku ke laci, merasa heran ketika bukunya terganjal sesuatu. Dan dia menemukan sebatang cokelat.
Aneska tidak tertarik menjawab.
"Buat Kak Anes cantik. Ah, buat lo nih!" Rani membacakan keras-keras. Sengaja agar satu kelas dengar.
Biar bermuka datar, Rani suka bergosip. Catat.
"Buat lo aja." Aneska bangkit dan melangkah keluar kelas.
"Kenapa sih? Masih mikirin yang kemarin?" Rani tahu jika Aneska tipikal orang yang apa-apa serba dipikir. Serba dimasukin hati juga.
"Sonia nggak apa-apa, kan?" tanyanya cemas.
"Lah, gue kan bukan emaknya." Rani memang seringnya tidak membantu. Percuma.
"Tuh, coba tanya sama Reygan."
Aneska sontak menoleh ke segala arah dan menemukan lelaki itu di lapangan basket. Kalau ingat kejadian kemarin, dia mendadak sensi. Tapi kalau dilihat dari sisi Reygan, lelaki itu tidak salah apa-apa. Ah, pokoknya Aneska sedang sebal dengan lelaki itu.
Rani cuek membuka coklat milik Aneska, dia melepas pita unyu yang melilit coklat berikut dengan kertas kecil tadi dan membuangnya ke tong sampah terdekat. Dia tidak perlu minta ijin ke Aneska. Dia tahu kalau Aneska benci hal-hal norak seperti ini.
Aneska sungguhan menerima ide Rani kali ini. Dengan langkah lebar, dia menuju Reygan. Aneska seenaknya merusuh permainan basket mereka hanya untuk berteriak di depan Reygan, "Sonia baik-baik aja, kan? Dia nggak masuk hari ini!"
"Bukan urusan gue." Reygan menjawab santai.
"Maksud lo apa?" Aneska menarik bahunya. Dia belum selesai dan lelaki itu seenaknya mau pergi.
"Santai, dong." Kiki menengahi.
Ari yang tahu-tahu di dekat Aneska, berbisik, "Nes, jangan cari masalah ya, Reygan hari ini uring-uringan. Jangan nambahin."
Justru Aneska tertantang. Dia sengaja mengeraskan suaranya. "Perlu gue beberin ke satu sekolah apa yang terjadi di atap kemarin? Biar lo ngerti apa yang dialami Sonia selama ini!"
Reygan akhirnya terpancing. "Mau lo apa?"
Ari maju, melindungi Aneska di balik punggungnya. Menahan Reygan yang bergerak maju.
"MAU LO APA?!"
"Sabar, Rey, sabar." Kiki sebenarnya juga takut. Tapi dia tidak mau Reygan berbuat nekad. Aneska masih perempuan. Harusnya Reygan sadar itu.
Dari bahu Ari, Aneska bisa melihat wajah Reygan yang berbeda. Dia memaksa agar Ari menyingkir dari hadapannya. Kiki bergerak sigap memeluk Reygan. Pertahanan terakhir.
"Gue tahu lo mungkin sama terlukanya. Tapi Sonia sendirian. Lo di sini sama mereka. Sonia sendirian!"
"Sejak kapan lo suka ngurusin hidup orang?" tandasnya.
"Gue peduli sama Sonia!" Aneska tidak terima dituduh macam-macam.
"Peduli?" Reygan menyeringai. "Jadi sekarang lo merasa orang yang paling peduli sama Sonia?"
Adu tatap itu selesai ketika Rani mendekat dan merangkul Aneska. Menenangkan. Jangan sampai Aneska bikin masalah baru. Ingat, dia masih punay satu deposit hukuman di Bu Ida.
Tapi Aneska belum selesai. Dia masih bertahan, enggan ketika Rani memaksanya beranjak. "Selama ini, lo dekat sama dia. Lo berlagak jadi orang paling baik buat dia. Jadi karena ini? Pengecut!"
"Bilang apa lo?!"
Rani menyeret Aneska sekuat tenaga. Ari maju menahan Reygan karena Kiki kewalahan.
"Bilang sekali lagi!"
Aneska mendesis tajam. "Lo nggak lebih dari seorang pengecut!"
****
"Udah malam, pulang sana." Ryan menegurnya.
"Nungguin Mama."
"Kan bisa di rumah nunggunya. Kok lo mendadak menye gini?"
Reygan mendongak. "Bang Ryan mau tutup?"
Ryan menarik kursi dan duduk. "Tapi gue nggak tega ninggalin lo di sini sendirian. Baru jam sebelas. Gue temenin satu jam."
"Gue sendirian nggak apa-apa, Bang."
"Lagi ada masalah?"
"Nggak."
"Muka lo nggak bisa bohong." Ryan terkekeh.
Reygan menghela napasnya. "Gue nggak ngerti mau mulai dari mana dulu, Bang."
Ryan menatap prihatin. "Banyak, ya? Anak seumuran lo harusnya cuma mengerti sekolah sama hepi-hepi. Tapi muka lo keruh begini."
Iya, seharusnya memang begitu. Anak seumuran dirinya harusnya hanya tahu sekolah dan senang-senang. Andaikata keluarganya lengkah dan baik-baik saja.
"Lo boleh cerita kalau pengen cerita." Ryan menghargai privasi Reygan. Bisa jadi itu masalah yang tidak boleh ada campur tangan orang lain.
"Makasih, Bang."
Ryan mengerti. Sejak awal melihat Reygan, dia tahu kalau anak itu tertutup. Percuma dipaksa bercerita. Mungkin hanya perlu ditemani seperti ini.
"Nggak ditelepon aja Mama lo?"
"Udah. Tapi nggak diangkat."
Ryan manggut-manggut. "Oh, mungkin lagi perjalanan."
Selang beberap menit mobil yang ditunggu Reygan akhirnya muncul di gerbang komplek. Reygan sigap berdiri. Ryan yang menguap juga ikut berdiri. Menepuk bahu Reygan, pamit pulang duluan.
"Kamu nungguin Mama di sini?" tanya Diana begitu anak lelakinya masuk ke dalam mobil.
"Cuma ngobrol sama Bang Ryan." Reygan meneliti wajah mamanya yang terlihat lelah.
Mobil melaju. Diana tidka bertanya lagi.
"Mama capek?"
Mama tersenyum tanpa menoleh. "Cuma masalah klien di kantor, Rey. Kamu udah makan?"
"Udah." Mobil sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Reygan turun dan membukakan gerbang.
"Ma?"
Diana yang baru keluar dari mobil, berbalik. "Ya?"
Reygan masih diam.
"Kenapa, Rey? Mau ngomong sesuatu?"
Reygan hanya menatap mamanya. Tak kunjung bersuara. Jadi Diana menyimpulkan begini. "Uang jajan kamu habis? Atau ada yang pengen kamu beli, Rey?"
Kalau Diana mengerti Reygan dengan baik, tentunya dia tidak akan bertanya hal demikian. Reygan bukan anak lelaki yang suka foya-foya. Bukan pula anak yang suka membeli barang-barang mewah.
"Aku cuma punya Mama, Ma. Aku nggak punya siapa-siapa selain Mama. Bagiku, Mama sudah lebih dari cukup. Aku nggak marah Mama selalu pulang malam. Aku nggak marah Mama nggak pernah datang mengambil raportku. Aku suka dengan telur matasapi Mama yang kebanyakan garam." Reygan mengesampingkan egonya. Mama tetaplah mamanya. Dia tidak berhak berteriak marah di depannya.
Diana terpaku. Menatap anak lelakinya dengan bingung. Reygan tidak pernah berkata hal-hal seperti ini. Bahkan dia tidka tahu jika selama ini Reygan pura-pura suka dengan telor matasapi buatannya. Hanya karena anak itu menjaga perasaannya.
"Kalau aku boleh minta satu hal-"
Diana mengangguk.
"Bisakah kita tetap seperti ini, Ma?"
Diana tidak bisa menjawab.
Reygan terbata melanjutkan. Dia tercekat. "Aku nggak pernah minta apa-apa. Tapi kali ini, aku mohon, Ma. Aku sudah bahagia punya Mama. Aku nggak mau ada orang lain mausk ke kehidupan kita."
"Mama ngerti," jawabnya.
"Maaf kalau aku egois, Ma."
Diana melangkah maju untuk memeluk Reygan, anak lelakinya dan satu-satunya. Dia mengusap kepala anak lelakinya dengan sayang.
"Mama minta maaf, Rey."
****