Bu Siti seperti orang yang kesetanan, dia lebih menakutkan dari setan. Iya, setelah aku hanya bisa menangis dan tak berdaya, nyatanya dia malah bergerak ke sana kemari. Memakiku sepertinya tak cukup bagianya untuk meluapkan segala amarah yang membuncah di hatinya.
Aku tak bisa diam saja dan berusaha menenangkannya, karena lama - kelamaan kelakuannya akan memanggil banyak tetanga dan membuat mereka seua kembali menyalahkanku.
Memangnya siapa yang mau ada di posisi menyeramkan ini. Melihat banyak makhluk halus, bahkan diganggu oleh orang yang punya tujuan misterius. Belum lagi tak mendapatkan dukungan dari suaminya sendiri.
Seberapa berat penderitaanku ini dan mereka semua masih saja menyalahkanku, bersikap tak baik serta menghindariku unutk sekadar memberi halan keluar yang baik soal semua hantu yang tak bisa menjauh sebentar dari keidupanku semenjak pindah ke desa sialan ini.
Aku menyesal dan ingin sekali kembali tapi aku juga takut karena makhluk ghaib itu ternyata tak hanya mengerami rumah kami, tapi mereka menggangguku sampai di sini.
Itu berarti tak menutup kemungkinan kalau mereka akan menghantuiku juga di rumah Mamah nanti.
Aku berjalan mendekat ke Bu Siti, dan berusaha memegang tangannya agar dia berhenti meracau. Aku tak tahan mendengar suaranya yang melengking.
'Dasar pasangan berengsek! Kalian pikir, selama ada di sini kalian tak akan diganggu oleh makhluk-makhluk yang haus akan nyawa tersebut!"
Aku mulai merinding. Semua buluku meremang, seakan ikut merasakan suasana tak biasa di sini. Batinku berteriak mengingatkanku agar waspada karena ada yang lain dari pergerakkan bu Siti, sepertinya dia lebih ganas dari yang biasanya, dia memperlihatkan dan memperdengarkan suara yang tak pernah aku dengar sekalipun pernah mendengar mereka ribut tadi malam saat kami mau menginap.
Aku menahan napas dan mencoba untuk meraih baju Bu Siti yang sepertinya maau pergi dengan suara yang terus saja meracau. Mengatakan kalimat-kalimat kasar nan menyakitkan karena itu ditujukkan kepadaku.
"Aku sudah bilang jangan pergi ke sini, jangan kotori rumah ini yang bersih dan nyaman. Kau malah membawa orang-orang najis yang haus akan kehidupan dunia. Aku tak sudi menerima kalian, aku tak mau mencium aroma busuk yang keluar dari tubuhmu. Setan Sialan!!!"
Aku berhenti ketika langkah BU Siti mulai melambat dan dia berhenti di antara lorong kamarku menuju kamar seberang yang kemungkinan dihuni oleh Pak Rt/.
Aku melihat perubahan Bu Siti yang memang sudah bukan dirinya lagi. Terlihat dari wajahnya yang mulai mengitam dengan bola mata yang terbalik, Hitam mendominasi, sedangkan yang warna putih hanya setitik.
Dia menyeringai, dan berjalan dengan suara tulang yang patah, langkahnya tak cepat, atau lambat, tapi setiap menghentak membuatku meringis karena suara tulang itu seakan mengingatkanku akan kejadian pada Aki semalam.
Sebelum Aki tiada, dia juga sepertinya kerasukan sampai mau membunuhku, Kemudian dia yang malah tak berdaya dengan luka tusuk yang membuatku sangat menyesal telah menggiringnya ke rumah kami.
Aku tak mau ini juga terjadi dengan Bu Siti. Susah payah kucoba berteriak walaupun sudah dipastikan akan sangat pelan karena aku sangat ketakutan, dan setiap rasa takut serta panik ini menghantui, selalu saja anggota tubuh ini merespons dengandengan sangat berlebihan, tak sanggup untuk bergerak sesuai yang kuinginkan.
Bu Siti bernyanyi, dia melenggokan tubuhnya dan tak tahu apa yang dinyanyikannya, sangat asing, namun entah mengapa aku seakan terlarut daridari apa yang diadia perlihatkan dan perdengarkan di telinga ini.
Aku tergoda, semua yang kulihat seakan buram, dan tanpa sadar aku bisa mengikuti nyanyiannya yang sangat merdu. Aku tersenyum tanpa bisa kucegah dan satu lagi, aku tak kuasa untuk berdiam diri. Malah mengikuti gerakkannya yang sekan terus memintaku untuk berjalan menuju ke suatu tempat.
Melewati lorong rumah dan aku sampai di tempat yang bisa kutebak adalah dapur. Pengelihatanku masih buram, tetapi aku bisa melihat beberapa alat masak seperti panci dan juga penggorengan yang tergantung di dinding, lalu aku terus bergerak hingga berdiri di hadapan deretan pisau dan berbagai alat yang dipastikan tajam ada di sana dalam berbagai ukuran dan fungsi.
Sepertinya aku juga mendapati gergaji. Aku tak tahu tapi aku yakin ini tak akan baik. Berulang kali ku mencoba merapalkan berbagai doa yang kuingat, aku mencoba mengingat semua bacaan-bacaan itu sekaligus berdoa kepada Yang Maha Esa, agar aku mendapat pertolongan dari-Nya, tetapi aku bahkan tak sanggu di ayat pertama sudah merasa mual dan aku mengeluarkan semua isi perut.
Perutku terasa diaduk dan diremas sekaligus. Penderitaan ini semakin menjadi, ketika aku secara tak sadar memegang pisau yang berbentuk panjang dan tebal, kilatan di salah satu sisi membuatku bergidik kalau ini akan sangat tajam.
Aku berusaha berteriak di tengah tembang yang kunyanyikan.
"Ma-Mas Fadiiil! Pak R-t!"
Nihil. Mereka tak kunjung datang, aku merasa putus asa dan tak tahu kemana harus bergerak lagi, sedangkan pisau itu terus sajaa terdorong menuju ke dadaku. Aku berusaha mengalau dengan satu tangan lagi hingga aku berhasil menjatuhkannya.
Bu Siti mendekat ke arahku dan dia terlihat marah, dia berteriak sangat nyaring, di saat itulah aku bisa mendengar suara langkah kaki yang sangaat ramai, aku tak tahu berapa orang yang datang karena pandnganku sudah benar-benar tertutup sempurna dan pening yang datang tiba-tiba menyiksa kepala sampai aku memilih untuk tak melawannya lagi.
***
"Kamu baik-naik saja, apa yang kamu rasain sekarang?"
Aku mengerejap, membiasakan cahaya terang yang masuk ke mata. Aku tahu pertanyaan ini sangat klise, mungkin aku selamat tadi. Mungkin pisau itu tak melukaiku karena kalau sampai iya, kemungkinan aku tak akan selamat.
"Udah sadar dia?" tanya seseorang lagi dan aku langsung membuka mata lebar-lebar, merasakan ketakutan yang luar biasa saat melihat Bu Siti datang membawakanku segelas air yang langsung dia letakkan di atas nakas.
"Baru saja sadar, mungkin masih syok."
Aku melihat ke arah Bu Siti yang memeluk nampan dan dia menatapku terus menerus.
Aku tak bisa membalas tatapannya dengan lama. Kuputuskan tatapanku kepadanya daan mencoba fokus menatap ke arah Mas Fadil yang terlihat sangat kuyu. Dia nampaknya sakit lagi.
"Maafin aku udah pergi ninggalin kamu di sini. Aku dipanggi ke kantor polisi mendadak dan Pak Rt mengantarku, tinggalah kamu di sini sama Bu Susi, dan Beliau bilang, kamu kesurupan dan hampir saja melukai dirimi lebi dalam, untunglahuntunglah hanya tergores sedikt dan kamu tak perlu menjalani perawatan intens meskipun aku berusaha membantumu juga untuk tetap di sana, Sayang. "
AKu segera meliat ke arah luka yang ditunjuk di keningku, dan ternyata walaupun tergores sangat panjang, aku bahkan tak ingkat akan luka ini.
"Aku... gak ingat apa-apa," jawabku dan langsung menatap Bu Siti yang terus menatapku dengan mata yang mulai menghitam lagi.
Aku berteriak dan menunjuk ke arah Bu Siti, ketika Mas Fadil melihatnya ternyata dia tak menemukan apa pun di sana. Bu Siti kembali normal dan dia bersikap seperti biasa, seolah-olah tak menginginkan kami di sini.
Ada apa dengannya dan kenapa aku terluka di kening, sedangkan pisau itu aku yakin terjatuh.