webnovel

Batal

Tiba-tiba, terdengar suara bentakkan dari rumah, aku melihat ke arah sana dan nampak Bu RT, yang disapa Siti, keluar dari rumahnya. Bukannya dia memanggilku, malah menatapku seakan-akan aku ini orang yang menjijikan. Terlihat dari matanya yang menatap ke arahku tajam.

Padahal, dibanding menatap ke ke sini, akan lebih baik dia melihat ke dekat pohon itu, di mana laki-laki yang menyeringai kepadaku.

"Kamu jangan hiraukan," Mas Fadil berucap.

Aku kembali mengalihkan pandangan kepadanya. "Maksudnya?"

"Jangan coba cari tahu hal-hal yang akan menyusahkan kamu pada akhirnya, Fira." Mas Fadil melanjutkan.

Aku mengerenyit. Tidak mengerti maksud perkataan pria di sampingku ini. Dia terlihat lemas.

"Aku cuma refleks ngeliat ke arah rumah mereka, Mas. Bukan sengaja." Kucoba menjelaskan apa maksudku.

"Bukan Pak RT atau Bu Siti yang sedang bertengkar karena kita. Tapi, pria yang sedang menatapmu dari kejauhan."

Napasku bagai berhenti sesaat. Aku memandang tak percaya ke Mas Fadil, takut kalau sampai dia kerasukan setan lagi atau halusinasi sepertiku.

Aku memegang tangannya dan menepuk-nepuknya. "Mas, kamu baik-baik aja, kan?" tanyaku.

Sungguh bukannya sangat perduli atau apa, tapi aku takut terjadi yang aneh-aneh dengannya. Kalau sampai ada makhluk tak kasatmata yang mengganggu kami. Siapa yang bisa menolong. Aku mana mampu menahan gerakkan Mas Fadil jika fia membetontak kepadaku.

Aku memberanikan diri kembali menengok ke arah pria yang tadi mempethatikan kami.

Aku tak tahu hatus tetkejut atau tidak. Kalaupun merasa aneh, tentu tak bisa takut terus-menerus. Bagaimanapun harus terbiasa dengan semua gangguan yang mulai terasa nyata dan aku tahu kalau ini semua tak akan bisa dihindari.

"Mas, orang itu gak ada. Jangan mengada-ngada." Aku mengatakannya dengan nada suara yang bergetar. Bahkan hampir seperti bisikkan.

Setelah itu Mas Fadil kembali menatap mataku. Tangannya yang besar ditumpukkan di kepalaku. Dia menghela napas.

"Andai kamu tahu, Fira. Aku gak bisa hidup tanpa kamu. Saat menatapmu, aku merasa kamu wanita terakhir dihidupku. " Mas Fadil mengatakannya dengan mata sendu.

Kalau dulu dia mengatakannya dengan mata yang berbinar, membuat hatiku berdebar tak karuan. Aku bahkan tak bisa berpikir jernih dulu. Namun, sekarang aku sadar kalau ini semua malah berbeda arti. Jadi lebih sedih dan tak ada kebahagiaan yang kurasakan.

"Mba Fira dan Mas Fadil, silakan masuk. Kami sudah menyiapkan kamar." Pak RT datang dan membuat kami diam tak lagi membahas apa yang baru saja kami bicarakan.

Aku dan suamiku tentu saja saling pandang dulu. Entah apa yang mau kami putuskan jika Bu Siti nampak tak setuju. Bukan, wanita itu memang tak menyukai kami, atau aku Dia mungkin beranggapan sama dengan warga yang tadi Datang. Menganggapku sebagai orang yang mirip dengan Bu Shinta. Aku tak tahu harus berkata apa kalau begitu.

"Tapi, Pak. Apa kami boleh menginap. Saya dan Istri, takut sekali mengganggu keluarga Pak RT." Mas Fadil angkat suara. Nampaknya Dia sudah tahu dan sangat percaya diri, harus mengatakan itu sejak tadi di rumah kami.

"Ah, gak apa-apa. Kami minta maaf kalau menyinggung Mas dan Mba. Kami tak bermaksud."

Aku tambah tak enak.

"Yasudah, kalau begitu. Pak. Saya minta maaf, ya, sudah merepotkan."

Mas Fadil menggamit tanganku dan kami mengikuti Pak RT untuk masuk. Rasa malu menelusup saat tatapanku bersirobok dengan Bu Siti.

Kali ini memang tak separah tadi. Mungkin Pak RT berhasil membujuknya. Aku tak mengerti. Aku hanya menebak-nebak saja.

Suasana rumah yang tak luas ini memang sedikit pengap. Aku memutuskan pandangan setelah mengucapkan terima kasih saat melewati Bu Siti. Karena dia juga nampak enggan menjawab.

Aku mengeratkan pegangan ke tangan Mas Fadil yang dingin. Dia sepertinya demam. Aku akan mengompresnya nanti.

Sesampainya kami di depan sebuah kamar yang bersebrangan dengan kamar lain, Pak RT berhenti.

"Ini kamarnya, Mas. Kamarnya sederhana dan tak terlalu luas. Untuk kamar kecil, tinggal lurus saja ke arah kanan. Kamar kecil kami ada di luar, ya. Di belakang rumah." Pak RT memberi keterangan perihal ruangan ini.

"Terima kasih, Pak." Kami mengatakannya bersamaan.

Saat aku bersiap masuk, Pak Rt Menghentikan kami lagi.

"Mas, Mba, kalau ada yang terasa aneh, bisa kabari saya. Kebetulan saya sudah bilang ke Pak Haji di sebelah rumah kalau Mas dan Mba Fira ada di sini."

Mad Fadil seketika terdiam dan aku merasakan genggaman tangannya menguat. Jadi aku berinisiatif untuk menjawab apa yang dia katakan.

"Baik, Pak. Kami berdua akan mengabari Pak RT apa yang terjadi."

Aku segera berjalan dan sedikit menarik tangan suamiku, walaupun dia berubah setelah mendengar kata-kata Pak RT.

kami duduk di pinggir ranjang. Walaupun ini sederhana, tapi lumayan nyaman. Udaranya tak sepengap di ruang tamu, mungkin karena ventilasinya yang cukup besar.

Aku dan Mas Fadil segera terlentang di ranjang, kami menatap langit-langit kamar dengan satu lampu yang ada di tengah-tengah, warnanya juga kuning. kamar terasa lebih redup. aku merasa mengantuk, tapi tak bisa meninggalkan Mas Fadil yang terlihat sakit.

Aku kembali bangkit. "Mas, kamu gak enak badan?" Aku menempelkan punggung tangan di keningnya untuk memeriksa suhu tubuh yang sangat dingin.

"Aku ngerasa masuk angin, Sayang."

"Mau aku pijat, atau aku kompres aja?" tanyaku sembari bersiap untuk keluar kamar.

Mas Fadil merubah posisi jadi duduk. Dia menahan tanganku dan menarikku hingga jatuh ke atas pangkuannya.

Aku memberontak, tetapi tak bisa. dia malah tambah kuat menahanku. Aku hanya mau pergi dari hadapanna karena malu diperlakukan bak orang yang baru menikah. risih sekali apalagi di sini adalah rumah Pak RT. Bisa saja di dengar oleh pemilik rumah, saat nekat melakukannya sekarang.

"Mas, jangan."

"Aku cuma mau sayangin kamu. Kita gak akan ngelakuin itu, Sayang."

Aku menghela napas. Entah karena merasa lega atau karena aku merasa sedih.

Sejak menikah. Mas Fadil belum memberikan nafkah batin, hingga sekarang kami hanya peluk dan cium saja. Aku tak tahu. Apa yang dia hindari dariku. Mau bertanya pun sungkan. Ini pertama kali dan kami tak perlu membuang-buang kepercayaan. Harus ada kebenaran dalam setiap kata yang terucap.

"Aku mau.... " kata-kataku tak bisa diteruskan ketika tanpa sengaja membikannya di atas atas nakas.

"siapa yang kirim sms ? Mamah?" tanya Mas Fadil sambil mengikuti pergerakanku.

Aku tahu siapa yang menghubungiku. karena tadi aku memang sengaja menghubunginya, mengirim pesan singkat, agar kapan pun dia siap, aku bisa meneleponnya atau menemuinya.

Namun, sepertinya aku akan menelan kekecewaan lagi. Dia ternyata mau main curang denganku. Rasanya mau meremukan ponsel ini ketika membaca pesannya.

"Aku tak tahu kapan bisa menjelaskan. Mungkin karena kabar ini sangat penting, Butuh biaya lebih besar lagi."

Bab berikutnya