webnovel

Pindah Ke rumah Baru

"Semoga betah, ya." Pak Bayu menggenggam tangan suamiku dengan erat dan memeluknya sebentar, beliau juga tersenyum hangat kepadaku.

Dari raut wajahnya tampak aura kesedihan yang begitu dalam, tetapi helaan napasnya yang berkali-kali dia lakukan, malah menyiratkan kelegaan.

Mungkin beliau merasa berat melepas rumah ini. Aku saja yang baru melihat dari foto langsung jatuh cinta. Apalagi pemiliknya.

Entahlah, kalau aku jadi Pak Bayu, rumah ini tidak akan kujual. Rumah berukuran tiga ratus meter ini sangat bagus, masih terawat. Banyak tanaman hias dan herbal di depannya. Pagar kayu juga menjulang kokoh menjadi pembatas rumah dengan jalanan desa.

Aku tak sabar berjalan-jalan nanti,  menikmati alam di sekitar rumah ini. Suasananya sangat asri dan sejuk, berbeda jauh dari kota yang panas.

Setelah mengantar kepergian Pak Bayu. Aku dan suami bergandengan tangan menuju beranda rumah baru kami.

"Ayo masuk, Sayang! Akhirnya ...  impian kita punya rumah di pedesaan tercapai juga."

"Iya, Mas. Badanku juga udah pegal gara-gara tiga jam dari bandara ke sini."

Kami berdua memasuki pintu kayu yang besar. Hembusan angin kencang tiba-tiba melewati tubuhku. Aneh, kenapa angin terasa panas. Badanku pun menjadi kaku seperti ada yang menahannya.

"Fira, Sayang ... kamu kenapa?" Suamiku memandang penuh rasa khawatir.

"Ma–mas badanku ... gak bisa gerak!"

"Hah?!" Mas Fadil menghampiriku yang masih kaku, lidahku pun terasa kelu.

Bagaimana ini, pandanganku rasanya juga sudah buram. Mas Fadil aku takut sekali, bahkan tubuhmu pun tak bisa kurangkul.

"Fira!"

****

Temaram lampu menyambut mataku yang mulai membuka, apa tadi aku pingsan? Mungkin saja. Sekarang aku berbaring di sebuah kasur berukuran King size. Pasti Mas Fadil yang menggendongku ke sini.

Saat menengok ke samping, aku melihat punggung lebar Mas Fadil bergerak teratur, dia rupanya tertidur. Aku merangkulnya dari belakang, ini posisi yang sangat kusukai.

"Kamu pakai parfum, Mas?" tanyaku lebih ke diri sendiri. Aroma segar sangat kuat tercium dari tubuhnya.

"Kamu suka?" Mas fadil tiba-tiba menjawab. Aku hanya mengangguk.

Dia menggenggam tanganku dengan erat. "Tangan kamu dingin Mas, masuk angin, ya? Aku bikinin teh panas, mau?"

"Boleh, gulanya yang banyak."

Aku memicingkan mata mendengar permintaan Mas Fadil, tidak biasanya dia minum teh manis. Ah ... sudahlah,mungkin dia lelah dan butuh asupan gula lebih banyak.

Aku bangkit dan keluar kamar. Menelusuri lorong panjang seperti tidak berujung, yang tahu letak seluruh ruangan hanya suamiku. Itu karena dia tidak pernah mengajakku untuk survey, sebelum membeli rumah ini.

Setelah lima menit berputar-putar dan selalu gagal menemukan dapur. Ada satu ruangan tertutup yang mengeluarkan suara denting sendok, mungkin itu dapurnya. Tetapi siapa yang membuat suara sendok itu? Apa Mas Fadil, ya?

"Mas ...." Dengan cepat kubuka pintu, dan ternyata benar, itu suamiku yang sedang membuat teh.

"Eh, udah bangun? Kamu cariin aku, ya? Maaf ... tadi aku pergi ke warung sebrang beli teh dan sembako lainnya. Soalnya, tadi kamu pingsan aku panik banget. Terus gak lama kamu bangun, aku tawarin teh, kamu mau." Tangan besar Mas Fadil mengelus kepalaku, kutatap wajahnya yang sedih.

Bukannya aku yang menawari membuat teh?

Terus ... siapa yang tadi tidur bersamaku di ranjang?

"Mas, sini deh!" Dengan tidak sabar kurangkul tubuhnya dan langsung menghirup aroma tubuh Mas Fadil. Bau keringat. Apakah secepat itu parfumnya menghilang?

"Kenapa, Fir?" tanyanya bingung.

"Ikut aku!" Aku menarik tangan Mas Fadil ke kamar. Sungguh, aku lebih baik keluar dari rumah daripada  dihantui seperti ini. Mas Fadil harus melihat sendiri kalau di kamar itu ada orang yang mirip dengannya.

Pintu kamar terbuka, mataku membelalak ketika melihat keadaan kamar yang kosong.

Orang yang kumaksud tidak terlihat. Apa-apaan ini! Atau jangan-jangan Mas Fadil menjahiliku saja? Tapi bagaimana cara menghilangkan aroma parfum dengan bau keringat secepat itu? Dan lagi ... Mas Fadil tidak suka pakai wewangian.

Aku mundur selangkah, tubuhku kembali lemas. Bisa-bisanya kami berdua mendapat gangguan seperti ini, Mas Fadil pasti bertemu orang yang mirip denganku. Orang yang ingin dibuatkan teh.

"Mas, apa gak bisa kita batalin beli rumah ini ke pemiliknya? Aku rasa kita gak cocok di sini. Lebih baik kita kembali ke kota." Aku memelas memandang suamiku. Dia menghela napas berat, kemudian mengajakku duduk di pinggir ranjang.

"Sayang, uang tabunganku sudah dipakai untuk beli rumah ini. Sisanya sudah kita sepakati untuk modal usaha membeli sawah. Bukannya kamu mau kita tinggal di desa? Sebenarnya apa yang membuat kamu ingin pindah? Jujur sama aku, Fira!"

Aku tidak bisa mematahkan semangat Mas Fadil lagi. Dia rela melepas pekerjaannya sebagai manager. Menjual rumah kami di kota. Demi mewujudkan impianku dan dia hidup di desa.

"A–aku ... cuma kangen sama teman-teman Mas. Maafin, ya," jawabku bohong.

"Sabar, ya. Nanti kalau kita sudah panen, kamu bisa undang mereka main ke sini."

***

Pantulan wajahku di cermin terlihat pucat, sudah tiga hari lamanya kami menempati rumah ini. Aku pun jadi terbiasa dengan gangguan yang semakin hari sering terjadi.

Contohnya sekarang, sedari tadi aku mendengar sendok di meja makan itu berdenting sendiri walau pun tidak bergerak, sudah kucari mungkin ada tikus, tapi tak ada apapun.

Sup ayam yang kubuat juga sudah habis kuahnya, padahal Mas Fadil sebentar lagi pulang dari sawah.

Apa yang harus aku perbuat, Tuhan?

Aku lelah. Aku ingin menyerah, tetapi bagaimana dengan janjiku ke Mas Fadil.

Ketukan pintu belakang menyadarkanku, dengan segera aku membukanya. Di depan pintu berdiri seorang ibu paruh baya mengenakan daster hitam tersenyum ke arahku.

"Kamu, Fira istrinya Mas Fadil, ya?" tanyanya sambil menunjukku dengan ibu jarinya. Entah mengapa saat bertanya matanya sangat jelalatan. Seperti mau melihat ke dalam rumah dan mencari-cari sesuatu.

"Iya, maaf ... Ibu siapa? Kenal dengan suami saya di mana?"

Aku tak tahu kenapa orang ini terlihat aneh, dia mengenalku, tapi aku merasa kami tak pernah bertemu sekalipun dengannya

"Saya Ibu Putri, dan saya tahu Mas Fadil dari penjaga warung di sebrang, kamu pasti belum masak. Ini, saya bawakan ayam kecap." Ibu Putri menyerahkan masakannya dengan suka hati. Dia beberapa kali melihat sekeliling rumahku, kemudian wajahnya tersenyum.

"Terima kasih, Bu. Mampir dulu, Bu." ajakku mempersilakan masuk.

"Mmm ... lain kali saja, sudah mau maghrib. Kunci pintu dan jendela, jangan sampai ada celah! Besok saya akan ambil mangkuknya. Ingat, ya, Fira, jangan pernah percaya dengan orang-orang sekitar sini. Mereka pasti akan memusuhimu bila berkata yang macam-macam."

Setelah mengatakan itu, Bu Putri meninggalkanku dengan tanda tanya besar, kenapa omongan dia tadi malah membuatku semakin tidak tenang.

Apakah dia mengetahui keanehan di rumah ini.

Bab berikutnya