webnovel

MEMERAS TENAGA

"Hahaha. Mimpi kamu, Ira! Siapa juga yang sudi beliin kamu baju. Mending uangnya buat aku,"

Indy terpingkal-pingkal melihat eksresi kekecewaan Ira. Tanpa ia sadari, jika Ira pernah membelikannya barang-barang mahal sewaktu Indy masih menjabat sebagai pembantu.

Indy pun berlalu meninggalkan Ira dan masuk ke kamarnya. Sementara itu, Ira terus saja menekan dadanya yang terasa sebah. Habis sudah kesabaran Ira.

Akhirnya Ira nekat menemui tiga pria yang berjaga di kawasan depan. Dia ingin merasakan kebebasan seperti manusia pada umumnya.

"Aku mau keluar dari rumah ini!" teriak Ira. Kedua tangannya terkepal di sebelah paha.

Tentu saja beberapa lelaki itu kaget, karena Ira tak pernah berlaku demikian. Salah seorang diantara mereka langsung menyandarkan tubuh pada pintu utama.

"Ibu gak boleh keluar," ucap pria berkepala botak.

"Kalian lihat gimana Dito dan pel*curnya itu memperlakukanku, kan?"

"Kami hanya menjalankan tugas!" tegas laki-laki bertubuh tegap dan berisi.

Ira pun berputar haluan menuju rumah bagian belakang. Di sana sudah ada dua orang yang sama-sama menjaga pintu.

"Aku mau keluar!" Ira meneriakkan kalimat yang sama.

Sayangnya, Ira tak memiliki kuasa dan kekuatan untuk mengatur kelima pria tersebut. Ira menemukan kenyataan pahit bahwa dirinya sudah seperti burung dalam sangkar.

Ira tidak ingin mengeluarkan banyak energi dengan membentak dan meminta orang suruhan Dito untuk melepaskannya. Ira tahu jika dirinya tak akan mampu.

Setelah tidak mendapat izin, akhrinya Ira kembali ke kamar khusus pembantu. Di sana dia mengadu nasib seraya menutup wajahnya dengan bantal.

"Aku gak nyangka banget hidupku bakal setragis ini." Ira mendumel dalam hati. Air matanya jatuh membasahi bantal. "Mas Dito jahat! Dia ngejadiin istrinya sebagai pembantu dan meratukan selingkuhannya,"

Ira menumbuk bantal berulang kali dengan tangannya sendiri. Dirinya sudah menghilang selama beberapa waktu, tapi belum ada juga orang yang mencarinya. Setiap hari Ira selalu berharap agar rumahnya didatangi manusia lain. Supaya Ira bisa mengadukan nasib malangnya dan terbebas dari rumah terkutuk itu.

Karena kelelahan menangis, akhirnya Ira tertidur di kamarnya sendiri. Malangnya, belum lama ia memejamkan mata, tiba-tiba saja pintu kamar Ira digedor oleh seseorang. Ira terlonjak kaget dan segera bangkit dari kasur.

Dor! Dor! Dor!

"Ira, buka pintunya!"

Buru-buru Ira membuka pintu dan mendapati Indy sudah menantinya di luar. Raut amarah terlukis di wajah Indy.

"Lama banget sih! Dipanggilin dari tadi gak denger-denger," ketus Indy seraya melipat kedua tangan.

"Maaf. Aku ketiduran,"

"Hari ini aku kedatangan teman-teman. Jadi, kamu harus layani mereka dengan baik,"

Ira memanjangkan lehernya guna melihat keadaan sekitar. Ia tidak melihat manusia lain, tapi dia bisa mendengar sahut-sahutan suara di ruang tengah. Ira membuang napas melalui mulut. Indy benar-benar telah merampas kebahagiannya. Dulu, Iralah yang kerap membawa rekan-rekannya ke rumah ini.

"Iya," balas Ira, kemudian membenakan cepolan rambutnya.

Selepas menutup pintu kamar, Ira langsung mengekori Indy untuk bertemu dengan para tetamu. Ada lima orang wanita yang sudah nangkring di sofa. Tiga diantara mereka membawa anak.

"Ira. Ini teman-temanku dan kamu harus melakukan peranmu sebagai pembantu di sini." Sekali lagi Indy memeringatkan.

"Eh, kayaknya rumah kamu kotor banget deh, Indy," seru perempuan berbaju merah.

"Kotor? Ya, sudah. Kan, ada pembantu di sini. Tenang aja," jawab Indy mengejek, kemudian ia menatap Ira.

Ira melotot tatkala sosok itu mengatakan bahwa rumahnya kotor. Padahal, belum lama Ira membersihkan bangunan luas tersebut.

"Kenapa muka kamu?" tanya Indy saat menyadari apa yang dipikirkan oleh Ira.

"Indy, aku baru aja bersihin seluruh ruangan di sini. Kurasa gak ada debu yang nempel lagi kok,"

"Mau buang badan, ya?" Rekan Indy kembali bersuara.

"Jangan cari alasan kamu, Ira!"

Indy beringsut ke buntut rumah guna mengambil sapu dan kain pel. Dia mencampakkan dua benda itu di hadapan Ira. Perempuan malang yang tak tahu apa-apa tersebut langsung manut. Tidak ada yang dapat dilakukannya selain menuruti semua perkataan Indy. Ingin sekali Ira kabur, tapi dia tak dapat mengelabui kelima orang suruhan Dito.

"Yang bersih ya, Bik Ira. Hahaha." Indy memegang perutnya yang naik turun karena tertawa.

Ira begitu malu, karena ia direndahkan di hadapan banyak orang. Di sisi lain, Ira juga harus melakukan segala suruhan Indy agar hidupnya tidak terancam di rumah itu. Ira mencoba menepis rasa malunya.

Satu jam berlalu. Akhirnya Ira berhasil menyelesaikan seluruh tugas yang dibebankan Indy. Mentari perlahan meredup dan kembali ke persembunyiannya. Ira mengambil kesempatan untuk duduk di meja makan. Ia melepas segala kepenatan yang melanda.

"Udah selesai?" Baru saja Ira tertuduk, tapi Indy kembali menghampirinya.

"Udah,"

"Kalau gitu, kamu masakin makan malam buat kami, ya," ujar Indy tanpa ingin menunggu jawaban Ira.

Ingin segala menyelesaikan pekerjaannya, Ira pun langsung memasak. Perlu waktu 30 menit untuk membereskan semuanya.

Ira menghidangkan makanan di meja dan memanggil para tamunya untuk segera menyantap sajian tersebut. Namun, betapa terkejutnya Ira ketika melihat banyak tanah yang berserakan di ruang tamu. Terdapat dedaunan serta bunga segar yang sudah dirobek-robek juga di sana.

"Loh, kenapa ini?" Ira begitu syok.

"Duh! Anak kami lagi main masak-masakan. Kamu gak keberatan untuk bersihin ulang, kan?" titah wanita berkaos biru.

Glek!

Ira menilik beberapa bocah yang memegang kelopak bunga di tangan. Ia tak tega menyalahkan unyil-unyil cilik tersebut, karena para ibu merekalah yang seharusnya melarang anaknya untuk tidak bermain tanah di dalam rumah. Ira juga sampai bingung dari mana bocah-bocah itu mendapatkan bahan untuk permainan mereka.

"Kok kaget gitu kamu, Ra?" tanya Indy.

"Mungkin dia gak terima kalau anak-anak kami main di sini," kata rekan Indy.

"Eh, bukan gitu. Heran aja kenapa mainnya di dalam rumah, padahal ada taman di belakang sana." Ira menjawab dengan polosnya.

"Loh! Jadi, kamu gak suka?"

Ira menutup mulutnya. Barangkali ia telah salah menjawab pertanyaan Indy. Berikutnya, Indy menarik rambut Ira tanpa belas kasih.

"Aduuh! Sakit, Indy," pekik Ira.

Seluruh teman-teman Indy menertawakan Ira. Setelah puas menyaksikan pemandangan tersebut, mereka beranjak menuju meja makan dan langsung menyantap hasil racikan tangan Ira.

Ira mengusap kepalanya yang terasa begitu sakit. Mencium aroma makanan, membuat perut Ira seketika lapar. Wajar saja, karena jam makan malam telah tiba.

Ira kembali menemui madunya di buntut rumah. Hal itu membuat Indy menjadi risih.

"Mau ngapain kamu?" Indy meletakkan sendok yang nyaris ia masukkan ke mulut.

"Indy, aku mau makan," ucap Ira memelas.

"Hah? Mimpi kamu!"

"Aku laper, Indy,"

Ira begitu lelah dengan berbagai tugasnya hari ini. Maklum saja jika Ira membutuhkan energi lebih untuk itu.

Sayangnya, Indy tidak mengindahkan permohonan Ira. Dia tidak peduli meskipun perempuan itu akan mati kelaparan.

"Kamu gak boleh makan sebelum seluruh pekerjaan di rumah ini beres. Sekarang kamu bersihkan kotoran di ruang tamu," cercah Indy. Ia menuntut Ira untuk membereskan sisa-sisa permainan anak temannya.

***

Bersambung

Bab berikutnya