webnovel

Mengemban Amanah (1)

Hari demi hari telah terlewati dengan sendirinya. Hari demi hari silih berganti tahun, semakin banyak perkembangan dari pesantren ini. Bangunan demi bangunan kini sudah terjaga untuk menampung santri-santri yang semakin bertambah. Tempat yang penuh berkah ini, menjunjung tinggi nama dari pengasuh Pesantren Salafiyah, Kiai Hamid.

Hampir tiga tahun aku menuntut ilmu di pesantren ini. Pelajaran yang aku ikuti di kelas enam, semakin sulit untuk dipahami. Berjuang pun tiada hentinya sudah aku lakukan dengan caraku sendiri, demi memahami kitab demi kitab yang semakin tahun semakin berat untuk ditampung dalam otak. Belum lagi kelas enam yang harus aktif dalam mengurusi santri-santri untuk melakukan kegiatan di pesantren, sampai tiada waktu lagi untuk membaca berulang-ulang pelajaran yang aku pelajari.

"Kamu tidak capek, Min? Belum lagi kita harus mengurus mereka, masih juga kamu giat belajarnya. Kalau aku sih, capek," ucap Riyan selesai Salat Dhuha.

"Namanya juga manusia. Capek juga sih. Kalau terlalu melepas pelajaran, bagaimana nanti kalau aku tidak bisa menjawab soal ujian?" ucapku menanggapi Riyan dengan senyuman tipis.

"Iya juga, sih. Ya sudah, lanjutlah!"

Kebetulan di kelas enam ini, aku dan Riyan diberi kepercayaan dari teman-teman untuk menjadi ketua, sekaligus wakil ketua. Belum lagi harus memikirkan kepengurusan di pesantren, yang tidak bisa lagi dibayangkan. Bagaimana mungkin sosok sepertiku yang hanya manusia biasa bisa menampung semuanya.

Tidak jauh berbeda dengan kebiasaan lama yang aku lakukan dengan Riyan, seperti waktu itu aku yang ditemani Herman.

Pagi ini, aku dan Riyan sedang santai-santai di masjid, setelah beberapa aktivitas dilakukan. Seperti biasanya, dengan beberapa kitab yang dibawa, tapi hanya satu yang terbaca.

"Dua sejoli ini aktif sekali. Ikut gabung, dong!" Arif datang tiba-tiba, sambil menepuk betis bergantian.

"Bagaimana, Rif? Ada masukan enggak untuk ke depannya," tanya Riyan.

"Aku ikut kalian berdua saja, bagaimana ke depannya. Kalian 'kan paham betul tentang perubahan untuk para santi," jawab Arif dengan gayanya yang terlalu santai.

"Itu masalahnya, Rif. Aku sama Riyan dari tadi bahas itu, malah tidak ada solusi sedikit pun," sahutku sambil menggaruk-garuk kepala.

Setengah perbincangan tentang kegiatan yang akan dilakukan ke depannya. Dengan banyaknya santri baru, pasti akan mengalami perubahan dari segi kegiatan sebelumnya. Santri yang tertampung saat ini, sekitar 500 lebih dari berbagai Daerah. Sebagai pengurus, sudah pasti harus siap siaga tentang permasalahan dan kegiatan untuk memperkembang jalannya kegiatan.

"Bagaimana kalau kita minta solusi sama guru?" Arif mengajukan solusi.

"Betul sekali. Nanti sore saja, kita ke Ustaz Malik," kataku segera menanggapi.

Aku, Riyan, dan juga Arif istirahat di masjid, sambil menunggu Azan Zuhur. Supaya bisa bangun tepat waktu, untuk masuk sekolah.

Cuaca semakin panas, siang ini. Namun, tiada kata lelah untuk para santri dalam menjalani aktivitasnya. Tetap dengan rapi mereka berjamaah di masjid, begitu pun santri yang lain untuk menuntut ilmu di siang hari. Meskipun sebagian yang lain, ada saja yang melakukan kesibukan-kesibukan tersendiri di tengah berjalannya kegiatan. Seperti ada yang mencuci baju, masih mengantre untuk mandi, wudu, dan ada saja yang susah untuk dibanguni. Seperti itulah kebiasaan setiap harinya yang dilakukan tanpa mengenal lelah. Karena semuanya percaya, di balik lelahnya berjuang dalam hal kebaikan pasti akan ada buah keindahan yang akan dirasakan.

Tanggung jawab itu harus aku lakukan, bagaimana pun yang akan terjadi ke depannya. Karena tanggung jawab yang sudah aku emban adalah bentuk kepercayaan dari seseorang. Oleh karenanya, di setiap langkahku, aku selalu berhati-hati untuk tidak mengecewakan orang sekitar yang terlanjur memberi amanah kepadaku.

"Assalamu'alaikum, Ustaz," salamku saat ada di depan kantor.

"Wa'alaikumsalam. Ada apa, Min?"

"Kami ingin mengusulkan tentang santri yang masih bermalas-malasan dalam menjalani kegiatan, dan yang sering melawan kepengurusan."

Tanpa menunggu waktu lama, aku dan kedua temanku langsung panjang lebar menceritakan keluhan yang selama ini dirasakan. Siapa tahu Ustaz Malik bisa memberikan jalan untuk mempermudah pengurus dalam mengurusi para santri.

"Setiap tahun dan setiap pengurus, sudah tidak asing dengan keluhan yang kamu ceritakan ini. Kebanyakan semua pengurus, yang menjadi keluhan memang tentang itu, tidak ada lagi. Meskipun kita mengatakan berulang kali, kalau pengurus itu sebagai ganti dari pada pengasuh, yang namanya santri tetap saja susah untuk kita kendalikan sebaik mungkin, meski sebagian."

Ternyata, bukan hanya terjadi di masa kepengurusanku saja, bahkan semua pengurus sebelum-sebelumnya sama dengan apa yang aku rasakan saat ini, dan itu ---keluhan--- menjadi hak kewajiban bagi para pengurus.

Mustahil, adanya pengurus tidak akan mengalami keluhan yang sama, hanya saja sikap manusianya yang terlalu menganggap bahwa kehidupannya yang paling terpuruk. Padahal ... ah, sudahlah.

Beberapa menit di dalam kantor bersama Ustaz Malik, aku dan kedua temanku langsung pamit, untuk masuk kelas. Karena, jam istirahat sudah hampir habis. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengambul keputusan bersama teman satu kelas, selaku menjadi pengurus.

"Sebaiknya, kita jangan terlalu banyak minta solusi sama guru. Daru pada kita menjadi omongan terus," ucap salah satu teman, bernama Achmad, setelah aku menyampaikan penjelasan Ustaz Malik.

"Kamu tidak suka?" tanyaku dengan nada setengah meninggi.

"Yang namanya pengurus, ya, harus bisa mengurusi. Bukan malah, sedikit-sedikit minta solusi," lanjutnya, tanpa melihat ke arahku.

"Ya sudah, terserah!" gertakku, menendang bangku.

Hening. Seisi ruangan terdiam melihat percekcokan antara aku dengan Achmad. Sementara kedua teman yang menjadi saksi di hadapan Ustaz Malik, mencoba meluruskan apa yang aku maksud.

"Kita itu ada di bawahan guru. Dengan artian, apa pun yang kita alami, harus minta solusi," ucap Riyan.

"Apalagi kita masih belum ada pengalaman menjadi pengurus. Bijak sedikitlah, Kawan, jangan egois seperti itu," sambung Arif, membela.

"Oleh karena itu! Karena kita belum ada pengalaman, dan kita diberi amanah seperti ini. Dengan artian, kita harus bisa memecahkan solusi sendiri, bukan sekadar basa-basi sama guru, yang akhirnya kita juga yang disalahkan," ucap Achmad, masih belum terima.

"Sudahlah! Aku memang tidak pantas menjadi atasan kalian." Aku mendorong keras bangku di depanku.

"Menjadi ketua, bukannya menjadi contoh, malah berbuat tak senonoh," gerutunya yang perlahan aku dengar.

Teman yang satu ini memang menjadi bekas dari kisah kelam yang ada di pesantren. Sehingga tak jarang, banyak santri baru yang mengenalinya sebagai juru dari semua pelanggaran.

Aku hanya mengepalkan tangan, menahan semua amarah yang terpancing oleh sikapnya.

"Urus saja urusan kalian masing-masing! Tidak ada lagi yang namanya pengurus dalam kelas ini, semuanya santri." Aku beranjak keluar kelas, tak tahu mau ke mana.

Bab berikutnya