webnovel

Gym

Hari Senin malam Clara berkemas-kemas menyiapkan perlengkapan olahraga dan baju renang untuk hari berikutnya. Cahyo heran.

“Mama mau nge-gym?”

“Iya.”

“Bukannya hari Selasa nggak ada?”

Deg. Clara tersadar. Cahyo ternyata memperhatikan kegiatannya yang tidak bisa. “K-kali ini ada, Pa.”

"Mudah-mudahan bukan karena ada cowok yang perhatian sama kamu,” godanya.

“Ya ampun, udah emak-emak gini siapa yang minat?” Clara pura-pura marah.

"Eits, siapa bilang. Kamu pake celana pendek, dengan atasan yang ngepas di toket mengkalmu, plus baju renang sangat tipis sampai kelihatan bentuk dan pentil payudara. Belum lagi ngelihat bokong montok dan kaki seksimu, cowok mana yang nggak tertarik?”

Dikatakan begitu malah membuat Clara jengkel dalam hati. ‘Terus kenapa lu masih dengan Latifa sialan itu?’

“Ck. Papa jangan punya pikiran kotor ah,” cetusnya dan kemudian pergi meninggalkan Cahyo.

Sesaat setelah mengatakan begitu, Clara memikirkan sesuatu. Bagaimana jika ternyata dia benar dan bagaimana jika "teman barunya" memiliki pendapat yang sama. Urutan yang sama mulai dari pertemuan di gym, bertukar salam, mengobrol di kolam renang, mengobrol di sauna, mengucapkan selamat tinggal saat berjalan di koridor dari gym ke pintu masuk hotel, apakah itu semua ‘wajar’?

Jujur saja, Clara tidak pernah lagi menganggap dirinya menarik. Menurutnya, ia biasa saja. Buktinya, suaminya mulai kurang tertarik dan beralih pandangan pada wanita lain kan? Seks hanyalah formalitas demi agar pernikahannya tidak bercerai, sesederhana itu. Clara tidak merasa diri ideal. Dengan tinggi 174 cm, ia suka minder sendiri karena terlalu tinggi alias bongsor. Dengan kulit putihnya yang putih bersih, rambut shaggy, lekuk tubuh biola, dan payudara C semua membuat dirinya standar. Tidak istimewa.

Namun belakangan Clara kemudian menemukan diri bahwa ia nyaman dengan pertemuan bersama Gilang. Pertemuan itu tentu sangat tidak pantas dibilang sebagai perselingkuhan walau tetap saja terbuka kemungkinan ke arah itu. Ada suara kecil yaitu nuraninya yang berbicara begitu – yang dengan cepat ia padamkan begitu saja.

*

Perang dingin sepertinya akan menjadi santapan sehari-hari pasangan Cahyo – Clara. Hari ini pun terjadi perang dingin lagi antara merek berdua yang dipicu pertanyaan Clara soal kedekatannya dengan rekan kerja Cahyo yang bernama Latifa. Pertanyaannya dengan cepat memuncak dan makin panas karena gadis itu memang cantik. Tepatnya: cantik luar biasa.

Clara tidak tahu apakah ia pantas disebut pencemburu atau tidak. Rasanya ia telah mencoba bersikap wajar, tapi tetap saja ada pertanyaan dan pernyataan menjurus yang mampir ke telinganya akibat sikapnya pada suaminya, Cahyo.

“Jangan cemburuan. Nggak baik.”

“Lingkup kerja suamimu emang harus ketemu banyak cewek. Abis, gimana dong?”

“Pertanyaan kamu nunjukin kamu nggak percaya sama suami kamu.”

“Laki lu cakep. Laki lu atletis. Terus, kalo akibat dari itu banyak cewek yang demen, wajar lah. Tinggal sekarang bagaimana kamu untuk pintar-pintar membawa diri.”

“Kalo takut kehilangan Cahyo, apa lu mau kurung dia di rumah?”

“Gile lu, Clara. Laki lu masa’ dikekang begitu sama lu? Makin dikekang, laki bisa kabur lho. Itu resikonya malah lebih gede kalo dia lepas dari tangan lu!”

“Pikir baik-baik, Clara. Jangan terlalu mengekang laki lu. Ini Jakarta. Bukan kampung.”

“Cemburu itu bagus, tapi jangan keterlaluan juga.”

Berbagai ucapan dari banyak rekan dan saudara semacam itu mampir di telinga dan mengendap di benak. Menjadikannya bom waktu yang walaupun tidak sampai meluluhlantakkan rumah tangga, tetap saja bisa membuat merah kupingnya.

OK, katakanlah bahwa ia cemburu. Lantas sampai di batas manakah ia harus menegur? Sampai batas manakah pertemanan akan dianggap sebagai sebuah hubungan yang normal, yang wajar? Saat sejam berada di kantor suaminya, ia melihat sendiri beberapa hal yang membuatnya canggung dan tak tahu harus berbuat apa.

Ketika Cahyo terciduk menggelitik Latifa, rekan kerjanya, pantaskah ia kecewa? Melihat seorang sales executive wanita berpakaian super terbuka mengejar-ngejar Cahyo untuk menanyakan order, wajarkah jika ia cemburu? Mendengar Cahyo berbicara di telpon dengan nada merayu pada seorang anak buah wanitanya, perlukah ia berdiam diri? Dan semua itu dilakukan Cahyo ketika isterinya berada di dekatnya. Atau melihatinya bekerja. Tak ada rasa risih atau malu ketika suaminya bertindak demikian seolah itu memang adalah rutinitas dan keseharian yang wajar ia jalani.

Dan…. ohhh…. Itu semua terjadi hanya di satu jam dirinya berada di kantor Cahyo. Lalu bagaimana pula kalau ia datang di jam berbeda, hari berbeda? Tidakkah ia akan disuguhi pemandangan yang serupa?

Kalau pun ia tidak pantas mengajukan pertanyaan yang berpotensi mengganggu hubungan dengan Cahyo, apakah ia perlu mengubur baik-baik pertanyaannya? Sebuah masalah yang tidak juga diselesaikan serta dibiarkan menggantung begitu saja, apakah itu bijak? Dan ketika masalah yang tidak tuntas menjadi bertumpuk, tidakkah itu berpotensi menyulut masalah yang jauh lebih besar? Tidak ada yang bisa menjawab dengan tuntas pertanyaan itu.

Dan inilah Clara pada akhirnya. Ia mulai tenggelam dalam rasa kecewa yang makin menjadi. Perlahan juga ia – atas nama mempertahankan mahligai rumah tangga – menjadi agak ‘permisif’ ketika melihat Cahyo meladeni para gadis dan wanita cantik yang menghampiri dengan alasan untuk bisnis. Clara pantas gamang. Posisi Cahyo sebagai Procurement Director yang menentukan volume dan harga pembelian barang apapun menjadikan posisinya sangat basah. Dan perusahaan pemasok tak segan mengutus sales executive paling molek yang mereka miliki untuk menawarkan produk pada sang direktur. Dengan nilai transaksi minimal satu M per bulan serta margin profit 20 persen, angka yang diraih sang sales memang akan sangat menggiurkan. Tak heran kalau mereka gigih untuk menarik perhatian dari Cahyo.

Clara menyadari kondisi ini. Kondisi bahwa memang sangat sulit bagi Cahyo untuk tidak tergoda. Ini ditambah lagi dengan penampilan Cahyo yang memang menarik bak Oppa dari Korea. Ia menarik tak hanya dari segi fisik tapi juga karena sikap smart dan keluwesannya bergaul. Dulu saat menikahi Cahyo ia merasa menjadi wanita yang sangat beruntung. Ia juga bangga karena telah mengalahkan competitor yang mungkin belasan jumlahnya. Tapi setelah jadi pemenang dan meraih tropi kemenangan yang tak lain adalah suaminya, ia tak menyangka bahwa persaingan masih terjadi.

Sang tropi kemenangan miliknya ternyata masih berpotensi direbut! Dan akan mudah direbut seandainya Clara tidak melakukan langkah dramatis untuk menyelamatkannya.

Pergi ke gym dan mengikuti zumba, adalah langkah pertama yang Clara lakukan demi menjaga fisik untuk tetap membuat Cahyo terpikat. Ada dua kali dalam seminggu ia menyempatkan diri pergi ke sana. Satu kali seusai pulang kantor dan sekali di hari Sabtu. Sejauh ini Clara merasa telah melakukan langkah yang tepat. Dengan kesibukan di gym – setidaknya menurut penilaiannya sendiri – ia masih mampu menjadi isteri yang baik bagi Cahyo termasuk saat di ranjang. Well, mereka berdua setidaknya masih melakukan intimacy, bukan?

*

Pengalaman Lyn yang pernah membawa Velove ke butik rupanya berkesan sekali buat Love. Hal itu disadari Lyn yang pada kunjungan pertamanya ke rumah Love yang baru, membawakan sesuatu untuk temannya. Sesuatu itu tak lain adalah satu set pakaian dalam yang meliputi bra, panty, serta garter belt, bahkan disertai stocking.

“Gue beliin karena gue liat lu suka.”

Bab berikutnya