Teleportasi merupakan sihir tingkat tinggi yang mengkonsumsi lumayan banyak magical power. Namun Kiel baik-baik saja kini, ia muncul di sebuah gang, kali ini di tengah kota, tanpa merasakan gejala seperti tadi.
Begitu kakinya menapak, senyum Kiel melengkung sempurna.
"Akhirnya ya, petualangan Bima bisa dimulai," Kiel terkikih seraya membetulkan posisi jubah dan membersihkan bagian-bagian yang kotor di pakaian karena dia gelesotan tadi dengan sihir. Hati pemuda pirang itu berdebar, ia baru pertama kali merasakan transmigrasi ke dunia fantasi. Ayolah … siapa yang tak ingin bereksplorasi di era medieval? Fufufu.
Girang, lelaki itu memakai tudung jubah dan mulai melangkahkan kaki ke ramaian. Ia sedikit tertegun di sana. Tak jauh dari ia melangkah, plaza luas langsung menyambutnya. Menara tinggi berada di tengah, bangunan itu dikelilingi oleh rerumputan hijau dan air mancur di tiap sudut. Terdapat jalan luas yang kiranya cukup untuk empat kereta kuda berjajar dari empat penjuru mata angin, di sekitar menara ada jalan melingkar selain itu terdapat jajaran kursi cakep setiap beberapa meter sekali mengelilingi taman. Indah bukan? Yang membuat kesan medievalnya lebih kental adalah gedung di sini … selain tinggi, atapnya curam dan bagian puncak berbentuk kerucut dilengkapi kubah-kubah aesthetic.
Kiel harus menahan dirinya tidak berjingkrak bahagia hanya dengan melihat hal ini. Ia menasihati diri jika tujuan utamanya mencari informasi. Jalan-jalan cuma tambahan. Namun rencana tinggal wacana begitu Kiel melanjutkan langkah dan menemukan bazar di sana. Manik birunya langsung terbuka lebar, cahaya berkilauan di sana. Dan tanpa babibu, ia menggok ke setiap stan, bela-beli beraneka ragam makanan, sebelum membawa mereka ke tempat duduk yang disajikan dan menyantap dengan lahap.
Sembari makan, Kiel berpikir sesuatu. Bagaimana jika dia mencari misi alternatif selain ke perumahan kumuh? Hm, menarik. Kiel meletakkan bungkusan makanan di sisinya dan mulai memanggil jendela status. Menggunakan tangan yang bebas ia mulai memilih-pilih opsi di sana. Tentu apa yang ia lakukan tidak serta merta kelihatan oleh mata telanjang; Kiel memiliki keyakinan orang awam tak bisa melihat jendela di hadapannya ini dan jika dia terang-terangan gulir-gulir, dia bisa dikira gila.
Sedang asyik-asyiknya makan, Kiel merasakan bayangan seseorang tiba-tiba menutupi. Dan ketika ia mendongak, kunyahan yang sedang ia lakukan langsung terhenti. Tangan pun mengaku. Bahkan tanpa sadar ia menahan napas.
"Sedang apa kau di sini, kak?" tanya dingin terlontar dari lelaki di atasnya yang tak lain dan tak bukan adalah Leon. Dia bersedekap sambil mencondongkan tubuh, kelereng coklat tajam menusuk bilah tosca Kiel.
"... makan?" jawab Kiel seadanya, ia pun kembali melanjutkan mengunyah. Facade auto terpasang di muka kokoh sang penerus gelar Duke Vaseo, ia membuang muka dan berakting seolah tak terjadi apa.
Namun jujur, lain tubuh lain jiwa. Bima merasakan tekanan yang teramat sangat hanya dengan melihat adik bungsu Kiel ada di sini. Perutnya seolah terpelintir dan suhu di sekeliling jadi turun drastis. Jantung pun berdebar tak karoan.
Menggigit bibir bagian dalam, Bima berusaha tidak membuat suasana menjadi runyam. Ia tahu jika hubungan kakak beradik Vaseo jauh dari kata baik-baik saja kini. Dan selalu ada rasa iri di hati Kiel jika melihat Leon.
"Oh? Kau sedang tak ada kerjaan ya? Nganggur sekali, huh, calon Duke kita …," sarkas terlempar dari bibir Leon. Seringai merekah di wajah tampan itu.
Jujur, Kiel terkejut dengan apa yang adiknya katakan. Ia mendongak cepat dan lekat memandang wajah di atasnya itu. Dia mencermati bagaimana senyum merendahkan melengkung di bibir itu dan pandang menghina terlempar dari kelereng coklat di sana.
Dan entah mengapa, Bima merasakan hatinya sakit. Sakit sekali. Bahkan mata sampai memanas. Namun lucunya, berkebalikan dengan apa yang ia rasa, wajah si pirang mengeras. Ia kemudian tersenyum miring dengan satu alis terangkat. Muka itu seperti berikan tantangan dalam diam pada Leon, 'terus kenapa? Masalah?'
Leon yang melihat hal ini cuma bisa mengepalkan tangan. Ia menggeram, "di saat semuanya sedang berusaha menopangmu … kamu malah …" tangannya mengepal kuat. Manik itu melotot ke arah Kiel, hawa ingin membunuh kuat mengoar darinya.
Di sini Kiel hanya bisa menghela napas. Ia tak tahu kenapa hari ini begitu berat … tapi di satu sisi ia juga tak bisa menjelaskan apa yang sedang ia kerjakan pada sang Adik. Bagaimana tidak, dia sendiri belum mengerti dengan benar apa yang sedang terjadi dan hanya bisa membaca rekap atas apa yang Kiel asli perbuat.
"Duchy kita sedang ada masalah besar, kau tahu kan, kak? Ada organisasi rahasia bergerak di sini dan mereka melakukan teror!" Leon menaikkan nadanya. Ia menyabet udara untuk implikasikan betapa gawatnya situasi. Sedang Kiel memutuskan mengambil kue dari tas jinjing yang ia bawa lalu membuka penutup kue secepat yang ia bisa. Apa yang dia lakukan ini tak luput dari pandangan Leon. Ia pun makin geram.
Kakaknya benar-benar menjadi orang yang abaikan tugasnya akhir-akhir ini. Dan dia tak suka orang yang tak bertanggung jawab! Dia melihat Kiel seperti ingin kabur seenak jidat! Apa itu hal yang patut dilakukan seorang penerus? Tidak!
"Berbuatlah selayaknya seorang pen—"
Tanpa pikir panjang, Kiel menjejalkan kue yang ia buka ke mulut Leon. Ia kemudian lurus memandang adiknya itu. Matanya mengebor dalam coklat yang kini membelalak karena tak menduga apa yang baru saja dilakukan olehnya.
"Aku selalu bersedia turun dari posisiku jika kau menginginkannya," Kiel berkata setelah hening menyelimuti dua insan itu. Seulas senyum melekuk di bibir lelaki tiga tahun lebih tua di sana. Kiel tak tahu ekspresi apa yang ia kenakan, tapi jujur … mungkin jika Kiel yang asli berada di sini, ia pun kan mengatakan hal yang sama.
"Tapi masalahnya, aku tak ingin kau merasakan apa yang aku rasakan," ia melanjutkan. Di sini Bima memejamkan mata. Ia mengingat sebagian ingatan yang merasuk dalam benak. Kejadian dia dipanggil ke istana dan diajak untuk makan-makan, ia diberikan pujian setinggi langit sebelum dipaksa mengangkang untuk memuaskan keluarga kerajaan … kejadian berulang itu membuatnya trauma dan muak melangkahkan kaki keluar dari rumah.
Membuatnya tertutup dan sering bertingkah di luar rasional.
Leon terhenyak mendengar hal ini. Mata itu membola. Entah mengapa angin dingin menelusup di balik tumpukan bajunya dan dia merinding. Ia tak pernah mengira akan mendengar kakaknya bertutur demikian.
"Kak …"
"Pergi," Kiel mendorong makanan yang ia bawa ke arah dada Leon. Ia berbalik kemudian, sambil merapikan tudung di atas kepala ia berkata kembali, "kalau kau tak suka melihatku, jangan dekat-dekat," seulas lengkung pedih terlukis di wajah lelah Kiel sekali lagi, "kita punya jalan sendiri-sendiri."
Setelah berkata demikian, api muncul di sekeliling Kiel.
Leon yang menyadari apa yang akan kakaknya lakukan segera menjulurkan tangan.
Namun terlambat, dalam hitungan sepersekian sekon, sang kakak menghilang dalam api.
[]