webnovel

Teringat soal Penghapus

Revan nampak tersenyum saat Selina menyebutkan penghapus. Ia ingat penghapus itu, tapi kenapa hatinya begitu ragu jika Selina adalah gadis yang dicintainya.

"Ya, aku ingat soal penghapus itu. Jadi, kau ... bernama Selina," ucap Revan dengan senyum tipisnya.

Iya mamaku Salina apa kau masih mengingatnya tanya Selina sambil tersenyum tipis

Sepertinya banyak yang dilupakan oleh Revan. Selina sebagai sebagai seorang perawat, tentu tahu bahwa keadaan itu tak mudah. Akan memerlukan banyak waktu untuk memulihkan semua ingatannya kembali.

Ia berpikir apa ia akan sanggup, menemani Revan yang harus memulai semuanya dari awal. Rasa yang sirna atau mencari-cari kebenaran rasa. Untuk siapa rasa cintanya.

Menjelang sore, Bu Alin bangun dan melihat putrinya yang sudah cantik. Pastinya ia berdandan karena akan bertemu Revan dan keluarganya.

"Mama, sudah bangun?" tanya Fira dengan mata berbinar.

Seakan harapannya sejak tadi baru saja dikabulkan. Bu Alin mengangguk kemudian bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka. Lalu, bersiap mengantar Fira ke rumah sakit di mana Revan dirawat.

Fira memerhatikan ibunya yang sedang bersiap, ia tak sabar menunggu tapi hanya diam tanpa protes. Setelah selesai Bu Alin segera mengajak Fira ke rumah sakit.

Mereka berjalan bersama keluar dari kamar hotel. Rencananya akan menaiki taksi untuk menuju ke rumah sakit. Padahal jaraknya tak begitu jauh, hanya saja Fira ingin cepat sampai di sana.

Hanya sepuluh menit dalam taksi, mobil telah memasuki area rumah sakit. Setelah membayar ongkos, Bu Alin dan Fira turun dari mobil.

Memasuki gedung rumah sakit, Fira nampak terkesan. Di sana begitu rapi dan bersih dan tak terkesan seperti rumah sakit, lebih mirip hotel.

Mereka menuju resepsionis yang berjaga. Bertanya kamar rawat Revan, dengan cepat suster jaga itu memeriksa dan memberi tahu kamar rawat pasien bernama Revan.

Mereka segera melangkah ke kamar yang dimaksud. Mendekati ruangan rawat, jantung Fira semakin berdetak tak menentu. Penantian panjang akan berakhir hari ini.

Tiba di depan ruangan Revan dirawat, Fira menarik napas panjang. Mempersiapkan diri untuk bertemu sang kekasih. Pintu diketuknya sebentar, kemudian membukanya.

Orang yang berada di dalam ruangan berpikir kalau yang datang adalah suster atau dokter. Biasa yang akan memeriksa keadaan Revan setiap harinya.

Bu Alin melangkah masuk terlebih dahulu, baru Fira mengikuti di belakangnya. Mereka telah memasuki ruangan dan berada di depan pintu.

Bu Regina dan Pak Andi membelalakan mata, tak menyangka jika yang datang adalah Bu Alin dan Fira.

Sementara itu, Rania dan Revan menatap heran kedatangan dua orang tersebut. Rania memang tak pernah bertemu sebelumnya dengan Fira. Ia mencoba menganalisis dari foto-foto yang ia lihat. Barulah beberapa detik kemudian ia sadar kalau yang datang itu adalah Fira, kekasih kakaknya.

Bu Regina langsung pasang badan, menghampiri mereka.

"Ada apa, Mbak, ke sini?" tanya Bu Regina dengan ketus.

"Kami hanya mau menjenguk Revan, memangnya tak boleh?" Bu Alin balik bertanya.

"Kami tak perlu dijenguk oleh kalian," jawab Bu Regina sengit, suaranya pelan namun dengan nada yang ditekan karena marah.

Revan menatap ibunya dengan kedua orang itu dengan tatapan bingung. Tapi, rasanya ia familiar dengan wajah Fira, seakan sering bertemu dan dekat.

"Mereka siapa, Ma?" tanya Revan yang penasaran dengan dua orang yang ada di hadapan ibunya.

"Me—mereka hanya orang asing, Sayang," jawab Bu Regina dengan gugup.

Rania maju ke samping ibunya, kemudian dengan kasarnya ia menyeret Fira dan ibunya keluar ruangan. Revan hanya melihat kejadian itu tanpa bertindak ataupun mencegah.

"Hei, apa-apaan ini? Tak punya etika sekali kau!" tegas Fira yang kesal dengan sikap Rania.

"Aku adiknya. Jadi, berhak untuk menentukan siapa yang boleh bertemu dengan kakakku dan siapa yang tidak," ucap Rania dengan sengit.

Selina terdiam melihat pemandangan tersebut melihat sikap Bu Regina dan Rania yang seperti itu ia bergidik ngeri. Takut-takut kalau nanti dirinya akan diperlakukan seperti itu. Apalagi ia juga wanita, sama seperti gadis tadi yang hendak bertemu Revan.

Pak Andi bangkit dan berjalan menuju istrinya.

"Ma, tenang. Jangan bersikap seperti itu," ujar Pak Andi pelan hampir seperti berbisik di telinga Bu Regina.

"Papa, enggak ngerti. Bagaimana kalau semuanya terjadi lagi?" ujar Bu Regina pelan.

"Kenapa mereka tidak boleh masuk, Ma, Pa? Apa mereka hendak menjengukku?" tanya Revan yang tidak mengerti dengan sikap ibunya itu.

"Mereka hanya orang asing, tak perlu kau hiraukan," jawab Bu Regina, kemudian ia keluar mengikuti Rania.

Pak Andi menyusul istri dan anaknya yang sudah di luar. Rupanya Rania terlibat percekcokan dengan Fira.

"Pergi! Saya mohon pergi, kamu tak berhak lagi bertemu dengan Kak Revan," ucap Rania dengan tegas.

"Saya akan pergi jika tahu alasan yang sesungguhnya. Ini tidak adil untuk saya," ucap Fira dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Ia tak menyangka kalau semuanya akan menjadi seperti ini. Penolakan terhadap dirinya begitu keterlaluan. Seakan dia adalah sampah yang tak ada harganya.

"Apa yang salah?! Tolong jelaskan!" tanya Fira lagi, ia mendesak alasan dibalik itu semua terungkap.

"Tanya pada ibu dan ayahmu, ini semua karena mereka!" hardik Bu Regina.

Mendengar ucapan Bu Regina seperti itu, Bu Alin hanya terdiam ia terkesiap. Fira menatap ibunya dengan penuh tanya, ia bingung dengan semua kejadian ini. Butuh jawaban untuk semua pertanyaan yang selama ini ada dalam kepalanya, yang setiap hari menjadi beban pikiran untuk kepala dan hatinya.

"Sebenarnya ada apa ini, Ma?" tanya Fira pada ibunya.

"Mereka hanya mengada-ngada, kamu lihatkan di dalam ada wanita cantik. Pasti Revan telah dijodohkan dengan wanita itu!" jawab Bu Alin dengan tegas.

Ia tak ingin anaknya tahu rahasia masa lalunya di keadaan seperti ini. Keadaan yang tak seharusnya dirasakan oleh Fira sebagai akibat dari masa lalu kedua orang tanya.

"Bukan!" tegas Bu Regina, "Ini semua karena orang tuamu Fira! Ayahmu mandul!" pekik Bu Regina.

"Apa maksud Tante bicara begitu?!" tanya Fira dengan suara keras.

Ia tak terima ayahnya dihina, jika memang keluarga Revan tak menerima kehadirannya sebaiknya tidak perlu juga dengan menghina ayah ataupun ibunya.

"Tolong jaga ucapan Tante! Saya ini anak Papa dan Mama saya!" hardik Fira karena marah dan tak terima.

"Kamu tidak tahu saja, apa yang ayah dan ibumu lakukan di masa lalu," jawab Bu Regina dengan tenang dan senyum kemenangan.

Mata Bu Alin berkaca-kaca, dadanya naik-turun menahan amarah dan juga sedih di hatinya. Ia memang sudah memperkirakan kejadian ini pasti akan terjadi. Tapi entah mengapa rasanya begitu sakit padahal ia sudah tahu sebelumnya.