"Deon, apa yang kamu lakukan?" pekik Berlian mencoba mendorong tubuh Deon.
"Berlian, jangan menguji kesabaranku lagi!" kata Deon yang kembali ingin mencium bibir Berlian.
Dugh!
"Akhhh!" pekik Deon dengan kencang tatkala Berlian menendang tepat ke bawah tubuh Deon. Deon jatuh terguling ke sofa, sedangkan Berlian segera berdiri.
Berlian mengusap pipinya yang bekas ciuman Deon, gadis itu menatap Deon dengan tajam. Meski ia sudah pacaran lama dengan Deon, Berlian tidak mau bersentuhan secara lebih. Berlian sangat menjaga dirinya agar tidak kelewatan batas.
"Ingat ya, Deon. Sejak kita pacaran aku sudah mengatakan padamu, aku gak akan mau rugi apapun. Termasuk kamu yang menyentuh tubuhku sembarangan. Kamu saja sulit ditemui, sekarang sekali bertemu kamu sudah kurangajar," oceh Berlian menunjuk-nunjuk Deon. Deon terdiam, pria itu masih memegangi area tubuh bawahnya yang sakit.
Berlian memalingkan wajahnya dari Deon, ia rasa ia rugi berdandan di depan Deon kalau akhirnya Deon berusaha menyentuhnya. Berlian selalu dikatai wanita kolot karena gaya pacarannya yang hanya sekadar berpegangan tangan, kencan di bioskop dan tidak pernah mau bersentuhan lebih. Berlian akui ia memang kolot, prinsipnya memang menjaga dirinya sendiri, tidak ada yang boleh menindasnya, sekali pun itu pacarnya sendiri.
"Berlian, kamu keterlaluan," ringis Deon menarik tangan Berlian. Namun Berlian menepisnya.
"Kamu yang sudah keterlaluan, bukan aku," ketus Berlian.
Melihat raut wajah Berlian yang marah, Deon segera berdiri. Pria itu memeluk tubuh Berlian dari belakang, menyandarkan kepalanya tepat di pundak Berlian.
"Aku minta maaf," ucap Deon dengan pelan.
"Minta maaf kamu bilang? Tidak sekali dua kali kamu bersikap sepeti ini. Kenapa sih kamu selalu bersikap begini? Kenapa kamu tidak memberi aku kepastian saja dan kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan setelah kita menikah," oceh Berlian.
Kalau ditanya soal kepastian, pasti yang terjadi adalah kebungkaman Deon. Deon melepas pelukannya dari Berlian.
"Kamu gak berani kan kasih aku kepastian?" tanya Berlian dengan sinis.
"Berlian, bukan aku gak berani kasih kamu kepastian. Aku hanya ingin kamu bersabar sedikit, pasti setelah ini aku kasih kepastian," jelas Deon.
"Setelah ininya kapan, Deon? Kamu selalu mengatakan setelah ini setelah ini, tapi gak kunjung ada kepastian," oceh Berlian.
"Jabatanku di perusahaan tidak setinggi kamu, Berlian. Bagaimana mungkin aku meminta kamu pada ibu kamu. Yang ada aku akan disuruh memutuskan kamu."
"Tapi ibuku menyuruhmu datang, Deon. Ibuku juga menanti kepastian dari kamu," tekan Berlian membalikkan tubuhnya untuk menghadap Deon. Perempuan itu mendorong tubuh Deon agar Deon duduk di sofa.
Berlian mencengkram dagu Deon dengan sedikit kencang, tatapan mengintimidasi Berlian menusuk dalam mata Deon.
"Kamu pikir aku juga punya kesabaran lebih, Deon? Aku juga menantikan kepastian kamu," desis Berlian.
"Berlian, kalau kamu seperti ini, kamu merendahkan harga diriku."
"Persetan dengan harga diri!" teriak Berlian.
"Aku sudah lelah, Deon. Kamu satu-satunya orang yang dekat denganku dan kini menjadi pacarku, tapi apa yang kamu lakukan selama ini, hah?"
"Baik, aku akan berusaha," putus Deon menepis tangan Berlian dari dagunya. Namun nyatanya cengkraman tangan Berlian sangat kuat. Berlian semakin mendongakkan dagunya yang membuat Deon memejamkan matanya.
Dengan Berlian harga diri Deon sering terasa terinjak-injak karena Berlian yang selalu mendominasi. Namun, ia sangat menyayangi Berlian. Berlian yang cantik sulit didapatkan, sekali dapat ia tidak akan melepasnya. Namun untuk ke jenjang pernikahan, Deon masih bimbang. Jabatan Deon hanya manajer, tidak bisa menyaingi Berlian. Sudah pasti Risa Evan tidak akan membiarkan anaknya menikah dengan pria biasa.
"Kamu yakin?" tanya Berlian.
"Yakin," jawab Deon. Berlian pun luluh juga, gadis itu duduk di sofa.
Deon tidak menyia-nyiakan kesempatan, pria itu memeluk tubuh sang pujaan hati dengan erat. Berlian bersandar di dada Deon, sedangkan tangan Deon mengusap rambut hitam Berlian dengan lembut. Tidak lupa kecupan manis Deon berikan ke puncak kepala Berlian.
Selalu ada pertengkaran sebelum mereka kembali berbaikan. Hubungan Deon dan Berlian selalu ada percek-cokkan saat membahas komitmen. Deon yang tidak kunjung memberi kepastian dan Berlian yang tidak sabaran.
"Sabar ya, Sayang. Pasti kita akan menikah," ucap Deon mencium pelan rambut Berlian.
"Hem," jawab Berlian yang menarik senyumnya.
"Asal kamu jangan selingkuh dari aku. Aku dengar kamu menggandeng cowok di perusahaan."
"Siapa?" tanya Berlian.
"Aku dengar gosipnya sih kamu menarik seorang cowok ke kantin."
"Itu Dokter Bara," jawab Berlian.
"Kamu sakit?" tanya Deon. Berlian tergagap, gadis itu sedikit menjauhkan tubuhnya dari Deon.
"Enggak, aku hanya rutin cek kesehatan," jawab Berlian. Deon memicingkan matanya membuat Berlian salah tingkah.
Berlian tidak pernah jujur penyakit OCD yang dia derita pada pacarnya, ia takut kalau pacarnya akan memutuskannya sepihak. Hanya ibunya dan Bian-lah yang tahu.
"Kamu yakin?" tanya Deon masih menelisik Berlian.
"Yakin, lihat aku sehat seperti ini. Kalau aku sakit, sudah pasti aku kasih tahu kamu."
Mendengar jawaban Berlian, membuat Deon kembali memeluk gadis itu. Sedangkan Berlian, gadis itu menghela napasnya dengan pelan. Selama ini yang dia takutkan adalah ditinggalkan, ia takut satu-satunya orang yang dia sayangi meninggalkannya.