webnovel

PONSEL BARU

Kerutan halus tergurat di kening Metha. "Siapa yang mengetuk pintu malam-malam seperti ini?" tanyanya mencari jawaban.

Kian waktu berjalan kian keras juga ketukan pintu itu berdengung.

Dengan tekad keberanian Metha melangkah menuju pintu berada. Jantungnya terasa bergedor-gedor seakan ingin keluar dari tempatnya.

Tok tok tok!

Suaranya semakin jelas membuat perasaan takut langsung melekat di hati wanita sederhana tersebut.

Metha meraih handle pintu, memutar kunci yang tergantung di sana.

Ceklek!

"Siapa kamu?"

Metha bertanya kasar dengan kedua kelopak mata yang tertutup, ia tak ingin melihat siapa yang bertamu malam-malam seperti ini selain makhluk tak kasat mata.

Hening!

Seperti kejadian tadi, Metha sedikit membuka kedua matanya. Melihat tak jelas dalang di balik pengetukan pintu.

Kosong!

"Siapa orang itu?" tanya Metha heran. Di depannya tidak ada siapa-siapa selain pagar rumah. "Kenapa dia begitu jahil dan membuat jantungku berdisko?"

Tampaknya Metha merenggut kesal. "Hei, siapa kau? Mana wujudmu? Aku ingin memarahimu karena kau telah membuat jantungku hampir copot!" ujar Metha sedikit berteriak mengingat jika sekarang sudah tengah malam.

Namun, hanya sepoi-sepoi angin serta suara serangga-serangga yang menjadi jawabannya.

"Dasar, tapi ... kenapa bulu kudukku tiba-tiba meremang?" Tangan yang semula bertengger di handle pintu kini langsung mengusap tengkuknya.

Keringat dingin mulai membanjiri kening serta punggungnya. "Apa jangan-jangan yang mengetuk pintu adalah ...."

Dengan cepat Metha menutup pintu, namun sebelum pintu tersebut tertutup rapat kedua netranya tak sengaja melihat sebuah box berwarna ungu dengan corak manik-manik serta pita besar yang menjadi penghias di atasnya.

"A-apa itu?" Suaranya tampak gagu.

Akibat rasa penasaran lebih dominan melingkupi Metha dibanding rasa ketakutan, membuat kedua tangannya bergerak cepat meraup box tersebut dan membawanya masuk ke dalam rumah.

"Apa ini?" tanyanya lagi. Metha menyimpan box tersebut ke atas meja sedangkan dirinya duduk di sofa. Pun jantungnya sudah mulai merasa tenang semenjak barang berbahan kayu sudah ia kunci serapat-rapatnya.

"Apakah aku menang undian?"

Metha berpikir sejenak. "Tapi aku tidak mengikuti acara undian apa pun," kilahnya menjawab pertanyaan diri sendiri.

"Akh, dari pada penasaran menderaku lebih baik aku langsung buka saja."

Kedua tangannya mulai meraih ujung pita yang ia yakini sebagai pengikat penutup box berwarna ungu tersebut.

Dengan perlahan penuh pasti Metha membuka penutup box dengan kedua mata yang kembali tertutup, ia tidak ingin melihatnya!

"Isinya apa ya?" ucapnya seolah bertanya pada barang.

Entah sudah keberapa kalinya Metha seperti ini. Sedikit-sedikit ia membuat mata melihat isi box itu dengan penuh keraguan.

"Waw, apa ini?" Seketika sebuah binaran terpancar indah di kedua iris mata berwarna coklat terang itu.

Ia merogoh kian dalam mengambil sebuah box kecil berbentuk segi panjang. "Ponsel!" gumamnya.

Dengan cepat ia membuka penutup itu. "Iiii iya ini handphone!" Secara refleks ia menjerit penuh kesenangan. Namun dengan segera ia langsung membekap mulutnya setelah menyadari jika sang ibu sudah tertidur lelap di kamar sana, ia tak ingin mengganggu hingga membuat dia langsung terbangun.

Metha melihat-lihat ponsel berwarna cream dengan ukuran yang menurutnya besar. "Sungguh, seumur hidupku aku baru mempunyai ponsel yang bagian depannya di penuhi oleh layar. Aku pernah melihat ponsel seperti ini di tv dan aku melihatnya orang itu menyalakan layar dengan menekan bagian pinggirannya."

Metha mencari-cari sesuatu yang ia maksud. Coba-coba ia menekan sesuatu yang tampak sedikit menonjol panjang di bagian samping ponsel.

"Waw, ternyata benar." Lagi-lagi Metha mendecak kagum kala ponselnya menyala.

"Aku ... aku senang sekali," ungakpnya begitu riang laksana seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru nan kesukaannya.

Metha memeluk ponsel itu erat dengan garis bahagia terpatri di wajah cantiknya. "Ehk tapi ...."

Sontak saja ia menjauhkan ponselnya yang baru saja dipeluk. "Ponsel ini dari siapa?" Pertanyaan paling utama yang seharusnya Metha lontarkan kini baru teringat.

"Siapa yang memberikanku ini?" Metha melihat-lihat box, siapa tahu ada sesuatu yang tersempil di sana.

Dan ternyata benar saja Metha menemukan secarik kertas berwarna merah muda yang diikat oleh pita berwarna senada dengan pita box tadi.

Metha membuka kertas tersebut yang kemudian membacanya dengan suara pelan.

[Selamat malam pahlawan kesiangan, aku merupakan seorang pria tampan dan mapan. Tak perlu aku sebut, pastinya kau sangat tahu siapa namaku.

Terimalah ponsel dariku! Tapi ... jangan terlebih dahulu beranggapan jika aku mencintaimu! Tidak! Itu benar-benar sangat tidak!

Aku hanya memberimu ponsel karena sudah muak melihatmu cengo terus layaknya seperti gembel.

Dan satu lagi, jangan lupa beberapa hari lagi kau harus menuntaskan tanggung jawabmu!

Sudah hanya itu saja.

Ehk, jangan lupa juga ponselnya selalu dibersihkan jangan dibiarkan berdebu seperti kulitmu!

Salam dari pria tampan!

P.E.]

Seperti itu lah goresan pena yang tersirat dalam secarik kertas berwarna merah muda tersebut.

Metha memajukan bibir bagian bawahnya. "Dasar tukang hina, bisa saja membuatku ingin membantingkan mobilmu!"

Namun tak urung rasa bahagia masih melekat di hatinya.

Ia membereskan barang-barang yang berserakan tersebut.

Setelah itu ia menaiki tumpukan tangga yang terbuat dari kayu dan memasuki kamarnya berada.

"Huh sepertinya besok aku harus menonton tv dan mencari siaran menampilkan seorang yang tengah bermain ponsel layar penuh seperti ini."

Metha menyimpan ponsel tersebut dengan penuh ke hati-hatian pada nakas yang ada di samping keranjangnya.

Kemudian ia membaringkan tubuhnya dan langsung berjalan-jalan menuju alam mimpi indahnya.

Sedangkan di lain tempat Peter menatap ke depan. Malam-malam seperti ini ia lebih suka duduk dan bersantai ria di balkon kamarnya.

Entah objek apa yang ia tuju, hingga membuat kedua sudut bibir Peter tiba-tiba terangkat membentuk senyuman manis nan lebarnya yang jarang sekali ia tunjukan pada orang-orang.

"Lucu sekali," gumamnya tanpa berkedip mata.

Ia terus tersenyum lebar.

Mungkin jika orang yang melihat Peter seperti ini pasti mereka akan langsung beranggapan bahwa Peter sudah hilang kewarasan.

Senyum-senyum sendirian apalagi di tengah-tengah malam dengan situasi penuh kesunyian.

"Ingin rasanya aku mencubit. Tapi ... tidak mungkin, aku belum memiliki keberanian yang cukup tinggi untuk melakukan itu," tuturnya berucap.

"Aku ingin segera bertemu," sambungnya berkata.

Peter menggelengkan kepalanya. Pun ia sedikit mengendurkan senyumannya.

Napas berat ia keluarkan hanya dalam hitungan setengah detik.

"Semoga dia tidak membenciku."

Setelah berkata seperti itu Peter bangkit dari duduknya, melangkah menuju kasur king size kesayangannya berada.

Bruk!

Ia mengambrukan tubuhnya di sana.

"Andai saja aku sudah dapat tidur bersamamu."

Sebuah andai-berandai membuat seseorang kembali tersenyum lebar. Namun belum tentu juga sebuah andai tersebut akan menjadi kenyataan.

Peter menggulingkan tubuhnya hingga terlentang, kedua kelopak matanya mulai tertutup rapat.

"Selamat malam!"

Bab berikutnya