Flashback.
Suatu hari Ragil bersama Nasha tengah berlibur berdua ke Bali, tidak perlu ditanyakan kenapa Vallerie tidak ikut, karena mereka tidak peduli dengan Anak perempuan itu. Ragil dan Nasha menikmati senja berdua, romantis sekali kelihatannya seperti sepasang kekasih muda. Senja, Ragil teringat dengan istri pertamanya yang sudah meninggal saat melahirkan Vallerie.
Ragil menoleh, menatap Nasha lekat. Meski dia benci kepada Vallerie dan selalu mengatakan bahwa Vallerie adalah Anak pembawa sial, tapi Ragil tetap harus menyampaikan pesan yang amat penting kepada Nasha, jika suatu hari dirinya tiada lagi. Bukan karena Ragil sayang kepada Vallerie, melainkan itu amanat yang diberikan Senja sebelum dia mengembuskan napas terakhirnya.
"Sha, aku punya pesan buat kamu," ungkap Ragil.
Nasha membalas tatapan Ragil dengan kening berkerut. "Apa itu, mas?" tanyanya penasaran.
"Kalo suatu saat aku gak ada lagi, tolong kamu kasih sama Vallerie kalo di bawah baju-baju aku, dalam lemari ada warisan yang jumlahnya cukup besar untuk dia. Itu dari Senja, jangan sampai dia salah gunakkan warisan itu," pesan Ragil panjang lebar.
Ternyata selama ini Ragil menyembunyikan warisan untuk Vallerie, dalam hati Nasha bersorak kegirangan dengan begitu dia bisa memakai uang warisan yang diberikan Senja, agar bisa hidup dengan mewah. Senyuman licik tapi tipis terukir di bibir Nasha, dalam hati Nasha berharap semoga Ragil cepat mati agar dia bisa menikmati harta kekayaan Ragil sendirian.
Nasha menggelengkan kepalanya pelan, tangannya bergerak untuk mengusap wajah Ragil lembut kemudian berucap, "Jangan ngomong seperti itu mas, kamu pasti sehat kok. Bisa hidup sampai tua sama-sama dengan aku."
Flashback off.
"Argh! Aku bodoh, gak seharusnya aku berharap seperti itu!" maki Nasha pada dirinya sendiri.
"Tapi, bagaimana dengan warisan itu? Apa aku harus memberikannya kepada Vallerie? Atau membujuk mas Ragil, supaya dia mau memberikannya sama aku?"
Nasha dibuat pusing sendiri, dia memejamkan kedua matanya dan memijat pelipisnya pelan. Nasha tidak bisa tenang, dia masih khawatir akan kondisi Ragil. Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri maka Nasha memutuskan untuk kembali menemui Vallerie yang sedang menunggu Ragil.
Dokter dan para suster sudah memeriksa kondisi Ragil, tadi dokter mengatakan bahwa akibat benturan yang cukup keras dari vas bunga mengakibatkan Ragil mengalami kekurangan banyak darah dan harus ada orang yang mau mendonorkan darahnya, kebetulan stok darah golongan A+ di rumah sakit Medika Citra sedang habis, Nasha berpikir sepertinya harus Vallerie yang mendonorkan darahnya.
Setelah dokter selesai memeriksa kondisi Ragil, diam-diam Nasha masuk ke ruang rawat Ragil tanpa mengajak Vallerie. Di sana, dia menangis sejadi-jadinya meminta maaf kepada Ragil yang sedang terbaring lemah di atas brankar. Air mata Nasha tidak bisa berhenti mengalir jika harus melihat kondisi Suaminya yang lemah seperti itu.
Nasha menghapus air matanya secara kasar, lalu meninggalkan ruangan dan duduk tepat di samping Vallerie yang sedang melamun. Nasha menyentuh bahu kanan Vallerie, menatapnya lekat, kemudian menundukkan kepala karena tidak berani lama-lama menatap wajah Vallerie. Tapi Nasha harus berani, ini semua demi kesembuhan juga keselamatan Ragil.
"Vall, apa kamu mau mendonorkan darah kamu buat ayah?" tanya Nasha dengan raut wajah kesedihannya.
Vallerie menggelengkan kepalanya pelan, lalu menurunkan tangan Nasha dari bahu kanannya secara perlahan. "Bunda kenapa sih, selalu ngorbanin aku? Kenapa gak bunda cari orang lain buat donorin darahnya? Kalau aku kenapa-kenapa gimana, bun?" tanyanya bertubi-tubi, suaranya bergetar akibat menahan tangis yang hampir pecah.
Mulut Nasha terjatuh rapat, sulit sekali ternyata untuk meluluhkan hati Vallerie. Padahal, Vallerie adalah anak yang baik tidak mungkin jika dia tidak mau mendonorkan darahnya untuk Ragil. Sepintas ide licik tiba-tiba saja melintas di kepala Nasha, tangis Nasha pecah. Ingat itu hanya tangis palsu agar bisa membujuk Vallerie.
Hati Vallerie ngilu ketika mendengar tangisan Nasha, ternyata Nasha tidak sejahat yang dirinya pikirkan. Jika begitu, sepertinya Vallerie memang harus rela mendonorkan darahnya agar Ragil selamat. Karena kalau Ragil sampai kenapa-kenapa, Vallerie akan ikut rugi juga. Tidak ada sosok Ayah dalam hidupnya.
Vallerie berusaha meraba wajah Nasha. "Bun, udah jangan nangis lagi, ya? Aku mau donorin darah buat ayah. Asalkan ayah sembuh lagi kayak dulu," nasehatnya.
"Beneran Vall? Makasih banyak, gini dong dari tadi jadi kamu gak akan dicap sebagai anak durhaka dunia dan akhirat." Lalu, Nasha mendekap tubuh Vallerie begitu erat, sampai membuat napas Vallerie hampir tercekat.
Vallerie melepaskan tubuhnya dari dekapan Nasha yang cukup erat, baru saja keduanya saling melepaskan pelukan tiba-tiba saja kedengaran suara seorang lelaki yang sudah tidak asing lagi di pendengaran Vallerie. Laki-laki itu tidak mengijinkan Vallerie untuk mendonorkan darah kepada Ragil. Siapa lagi jika bukan Angkasa, pahlawan Vallerie.
"Jangan mau donorin darah lo, Vall. Apa lo gak inget perlakuan mereka gimana?"
Jangan tanyakan lagi apakah Vallerie sakit hati dengan sikap kasar dan perlakuan tak mengenakkan dari kedua orang tuanya atau tidak, maka jawabannya pasti sakit hati. Tapi di dunia ini tidak ada yang namanya mantan orang tua. Jika tidak ada Ragil dan Nasha pasti Vallerie tidak akan sampai lahir ke dunia ini.
"Kasa, aku minta sama kamu jangan ikut campur masalah aku, ya? Lagian kamu gak ada hak buat larang aku. Aku mau donorin darah aku supaya ayah sembuh," ungkap Vallerie. "Bun, ayo bawa aku ke suster buat donorin darah," ajaknya kepada Nasha.
Hari ini, Nasha menang. Dia bisa membujuk Vallerie dengan cara liciknya. Nasha mengantarkan Vallerie terlebih dahulu ke laboratorium untuk mendonorkan darah. Setelah itu diam-diam dia kembali menemui Angkasa, yang masih ada tepat di depan ruang rawat Ragil.
Nasha mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna biru dari dalam dompetnya, kemudian melemparkannya ke dada bidang Angkasa lalu berucap, "Ini uang buat kamu, terima gak usah nolak! Tapi saya minta kamu jauhin anak saya, jangan sok jadi orang baik. Silahkan, pergi dari tempat ini."
"Maaf tante, tanpa tante suruh juga saya bakal pergi dari sini. Tapi maaf saya gak bisa jauhin Vallerie." Kemudian, tanpa babibu lagi Angkasa segera meninggalkan rumah sakit.
***
Setelah memastikan bahwa kondisi Ragil baik-baik saja karena sudah mendonorkan darahnya, Vallerie pulang saat Isyani menjemputnya ke rumah sakit. Dia harus beristirahat karena kurang tidur. Isyani yang membantunya berganti pakaian, menyediakan sarapannya, sampai menemaninya tidur. Sekarang Vallerie merasa seperti mempunyai Ibu baru.
Sebelum tidur, Isyani membuatkan susu cokelat terlebih dahulu untuk Vallerie. Dalam waktu sekejap saja susu buatan Isyani sudah habis diminum oleh Vallerie, setelah menghabiskan minumannya sampai habis barulah Vallerie dapat terlelap. Isyani tetap berada di posisinya sejak tadi, yaitu duduk tepat di samping Vallerie yang sedang tertidur pulas.