webnovel

Bercanda

"kalau aku panggil seperti itu apa kamu akan marah?" Tanya Ali tanpa terduga.

Seketika Fatimah langsung menatap Ali dengan terkejut, walaupun tidak secara langsung bukankah itu berarti Ali menginginkan menjadi orang terdekatnya?

"Ya boleh saja tapi, kitakan tidak sedekat itu." Jawab Fatimah tidak nyaman.

"Oh, jadi yang boleh memanggilmu seperti itu hanya orang-orang yang paling dekat dengan kamu saja? Dan aku tidak termasuk ya? Ya sudah deh, mau gimana lagi." Balas Ali dengan nada kecewanya.

Fatimah langsung menunduk karna merasa bersalah, lalu ia memainkan jarinya karna bingung harus bagaimana. Rasanya terlalu mendadak, dan Fatimah memang tidak pernah sedekat itu dengan pria manapun kecuali dengan almarhum sang ayah.

"Bukan seperti itu kak, aku hanya tidak pernah begitu dekat dengan pria manapun kecuali ayah jadi rasanya sedikit aneh untukku." Jelas Fatimah apa adanya.

Ali tersenyum melihat wajah bersalah Fatimah, bukan karna ia jahat tapi karna ia menyukai ekspresi itu. Bagi Ali, ekspresi polos dari Fatimah itu sangat lucu dan menghibur. Bahkan rasa lelah yang tadi mulai terasa, kini hilang begitu saja saat melihat ekspresi Fatimah.

"Masa iya kamu tidak pernah dekat dengan pria manapun? Kamu kan cantik, pasti banyak yang suka kan?" Tanya Ali lagi dengan penekanannya.

"Tidak kak serius, aku tidak pernah dekat dengan pria manapun. Ya memang ada beberapa yang mencoba mendekati aku, tapi aku tidak pernah merespon mereka. Bagiku belajar yang utama, jadi aku tidak pernah memperdulikan hal semacam perasaan sesaat itu." Jawab Fatimah dengan serius.

Senyum di bibir Ali semakin melebar, penjelasan Fatimah membuat Ali semakin tertarik pada gadis itu. Ali yakin jika Fatimah memang gadis yang baik, bahkan sikap dan pola pikirnya itu sangat berbeda dari kebanyakan wanita di luar sana. Fatimah itu terlalu polos, sampai-sampai ia tidak tau apa itu perasaan suka ataupun cinta.

"Iya-iya aku tau kok, aku hanya bercanda tadi." Balas Ali dengan tawa kecilnya.

Mendengar hal itu Fatimah pun menjadi kesal, lalu ia menekuk wajahnya dan memalingkan ke luar jendela. Ali pun merasa bersalah karna sudah keterlaluan dalam bercanda, akhirnya ia pun meminta maaf.

"Fatimah, kamu marah ya? Maaf ya, aku benar-benar hanya bercanda kok." Ucap Ali merasa bersalah.

Fatimah masih diam, ia tidak menjawab apapun permintaan maaf Ali.

"Fatimah, maaf ya? Jangan marah, dosa loh kalau marah lama-lama." Tekan Ali sambil mengingatkan.

Seketika Fatimah langsung menghela nafas panjang, benar juga apa yang Ali katakan. Tidak baik marah-marah, lagipula bukan hal besar juga yang sedang mereka permasalahkan saat itu.

"Aku tidak marah, hanya kesal. Kak Ali terlalu berlebihan, aku kan jadi merasa bersalah beneran." Jawab Fatimah mengutarakan emosinya.

"Iya karna itu aku minta maaf, sudah ya jangan kesal lagi." Balas Ali membujuk.

Fatimah hanya mengangguk pelan tanpa menjawab lebih jelas, hal itu membuat Ali jadi tidak tenang.

"Kamu sudah maafin aku belum? Maafin ya?" Tanya Ali memastikan.

"Iya kak, sudah aku maafin." Jawab Fatimah dengan jelas.

"Alhamdulillah kalau gitu." Balas Ali dengan senyumannya.

Setelah berbicara cukup banyak, akhirnya mobil Ali sampai di depan rumah sederhana Fatimah. Ali pun sedikit terkejut, ia tidak menyangka jika ternyata Fatimah itu dari keluarga sederhana.

"Ini rumah kamu?" Tanya Ali dengan ragu.

"Iya, kecil ya?" Jawab Fatimah dengan senyumnya.

Ali tidak menjawab, ia hanya menatap Fatimah dengan tatapan bingungnya.

"Inilah rumah aku, aku memang bukan dari kalangan berada. Aku masuk universitas dengan beasiswa, dan aku bersyukur untuk itu." Jelas Fatimah dengan senyum tipis.

Ali mengangguk paham, ia benar-benar baru tau tentang hal ini. Pantas saja selama ini Fatimah selalu bersikap sederhana, ternyata memang itulah kehidupannya.

"Jadi begitu, hebat ya kamu bisa dapat beasiswa di universitas negeri." Balas Ali memuji Fatimah.

"Alhamdulillah, ya sudah aku turun dulu." Jawab Fatimah sambil pamit.

Fatimah pun keluar dari mobil Ali, lalu ia menutup pintunya. Ali langsung menurunkan kaca mobilnya, dan berpamitan.

"Kalau gitu aku langsung pulang ya, kamu jangan lupa istirahat." Pamit Ali pada Fatimah.

"Siap kak, terima kasih ya sudah mengantar aku." Balas Fatimah dengan senyumnya.

"Sama-sama, kalau gitu aku jalan dulu. Assalamualaikum." Salam Ali dengan senyum tipis.

"Hati-hati, Waalaikum sallam." Jawab Fatimah juga dengan senyum tipis.

Mobil Ali melaju meninggalkan Fatimah yang masih berdiri di sana, setelah mobil itu tidak terlihat lagi barulah Fatimah melangkah masuk ke dalam rumahnya.

"Assalamualaikum." Salam Fatimah sambil mengetuk pintu rumah yang terkunci.

Setelah beberapa kali mengetuk, akhirnya pintu terbuka dan menampilkan seorang perempuan berusia 42 tahun bernama Ira. Dia adalah ibu kandung dari Fatimah, wanita luar biasa yang menjadi tulang punggung keluarga.

"Assalamualaikum bu, Ima pulang." Salam Fatimah lagi dengan senyumnya.

"Waalaikum sallam nak, ayo masuk." Jawab bu Ira dengan senyum lebar.

Fatimah pun mencium tangan sang ibu lebih dulu baru setelah itu ia melangkah masuk di ikuti oleh sang ibu di belakangnya, lalu mereka sama-sama duduk sejenak di ruang tamu.

"Ibu apa kabar? Selama aku pergi ibu baik-baik saja kan?" Tanya Fatimah dengan suara lembutnya.

"Alhamdulillah ibu baik nak, kamu sendiri bagaimana? Hidup di desa kan tidak mudah, pasti sulit ya?" Jawab sang ibu dengan penuh perhatian.

"Cukup menyenangkan, ternyata tidak sesulit yang aku pikirkan sebelumnya. Semua warga terlihat antusias, mereka pun mengikuti semua pelajaran dengan baik." Balas Fatimah memberitahu.

"Bagus kalau seperti itu, berarti para warga itu sudah bisa membaca dan menulis sekarang." Ungkap bu Ira dengan senyum senangnya.

"Alhamdulillah, sekarang semua warga sudah bisa membaca huruf dan angka. Mereka juga terlihat semangat belajar, setidaknya kini mereka tau pentingnya pendidikan itu sejauh itu." Jelas Fatimah dengan serius.

"Iya, dan semoga saja generasi penerus mereka akan memiliki pendidikan yang jauh lebih baik." Balas bu Ira berharap.

"Aamiin, Insya Allah." Jawab Fatimah setuju.

"Ya sudah, sekarang kamu istirahat. Kamu pasti lelah kan?" Titah bu Ira pada Fatimah.

Fatimah mengangguk membenarkan, karna memang tubuhnya itu tidak bisa membohongi. Wajahnya pun sudah lusuh, dan semua itu terbaca dengan mudah.

"Iya bu, kalau gitu aku langsung masuk kamar ya? Assalamualaikum." Balas Fatimah menurut.

"Waalaikum sallam." Jawab bu Ira.

Fatimah melangkah masuk ke dalam kamarnya, lalu ia menaruh tas ranselnya di atas meja belajar. Setelah itu ia berbaring, hingga akhirnya tubuh lelahnya bertemu kasur yang begitu membuatnya merasa nyaman. Perlahan tapi pasti Fatimah mulai memejamkan matanya yang memberat, dan tanpa menunggu lama lagi Fatimah langsung jatuh ke dalam tidur lelapnya.

Bab berikutnya