Hari terus berlalu, tidak terasa hari ini adalah hari terakhir anak santri mengikuti kegiatan ujian Madin akhir tahun, dan seperti biasanya kalau hari ini adalah hari terakhir ujian berarti nanti malam adalah malam pelepasan atau malam "Akhirussanah" dan besoknya adalah hari pertama liburan menjelang puasa Ramadhan.
Siang itu selepas pengajian kitab Ihya Ulumuddin
Kang Hafizh nampak memanggilku.
"Nif, ada yang ingin aku omongin sama kamu," ujar Kang Hafizh.
"Omong tentang apa Kang?" tanya balik Hanif.
"Anu, aku mau minta tolong ke kamu besok kamu kalau pulang bareng sama Naila ya?" ujar Kang Hafizh yang jelas saja cukup mengagetkan Hanif.
"Lha kenapa Kang? Apa sampean tidak jadi pulang?" sahut Hanif langsung bertanya dan terlihat sangat keheranan.
"Aku sama Abah Kiai gak boleh pulang, aku disuruh nyarikan rumput untuk kerbau-kerbaunya Abah," jawab Kang Hafizh menjelaskan.
"Oh gitu ... lha tapi Naila nya sudah ngerti belum dengan rencana Kang Hafizh ini?" lanjut tanya Hanif.
"Ya sudah to ... Pokok sekarang ini kamu tinggal minta izin saja ke Abah Kiai, terus besok kalian bisa langsung pulang."
"Waduh, ini yang aku gak berani, tolong izinkan dong Kang ... aku gak bisa ngomongnya ..." ujar Hanif sedikit merengek.
"Iya wes kalau gitu sekarang aja mumpung belum ashar." Lalu mereka berdua langsung sowan ke Abah Kiai.
"Assalamualaikum ..."
"Waalaikumsalam ... silahkan masuk, gimana Nif apa kamu mau pulang ke Solo?" tanya Abah Kiai.
"Iya Bah ..." ucapan Hanif terhenti karena tiba-tiba ada mobil yang datang masuk ke garasi Abah Kiai yang memang berada di sebelah ruang tamu. Setelah berhenti rupanya yang datang adalah Gus Barok yang baru saja menjemput Neng Zahra Damariva yang juga pulang karena liburan.
"Assalamualaikum ..." ucap salam Gus Barok dan Neng Zahra bersamaan.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh ..." jawab Abah Kiai dengan suara yang terdengar sangat berwibawa. Lalu masuklah Gus Barok dengan diikuti Neng Zahra dibelakangnya dan kemudian mereka berdua langsung sungkem kepada Abah Kiai.
Selagi mereka berdua sungkem Hanif yang tahu bahwa wanita yang sangat dia kagumi itu datang dan kini tengah berada dalam satu ruangan akhirnya memberanikan diri untuk melihat.
'Subhanalloh ... nih cewek kian hari semakin cantik dan kinclong aja, duh Gusti ... bagaimana ini ...? Kenapa engkau pertemukan aku dengan bidadari yang jelas beda kasta dengan hambamu ini ...? Aku tidak tahu harus bagaimana ini Gusti ...?' ujar hati Hanif nampak campur aduk gak karuan, antara kagum dan ingin memiliki berpadu dengan rasa takut kalau sampai ditolak.
Kemudian setelah selesai sungkem dengan Abah Kiai nampak Gus Barok menyalami Hanif dan Kang Hafizh sedangkan Neng Zahra Damariva memilih terus masuk ke ruang tengah ndalem.
"Kamu mau pulang?" tanya Gus Barok sambil menatap Kang Hafizh.
"Mboten Gus ... yang pulang ini si Hanif," jawab Kang Hafizh sambil menunjukkan jempolnya ke arah Hanif.
"Oh kamu ...?" sahut Gus Barok dan Hanif nampak hanya mengangguk.
"Kamu mau pulang ke Solo Nif?" sahut Abah Kiai bertanya.
"Iya Bah ..."
"Berapa hari?" sambung tanya Abah Kiai.
"Kira-kira dua bulan Bah ..." jawab Hanif masih dengan kepala tertunduk.
"Biyuh! Dua bulan? Kok lama sekali?" tanya Abah Kiai terlihat cukup terkejut dan tanpa diduga-duga tiba-tiba dari arah ruang tengah ndalem suara Neng Zahra menyahuti.
"Anak santri yang pulang terlalu lama ilmunya bisa kabur dan gak bermanfaat." Sejenak Hanif nampak diam tertegun dan hatinya sedikit terkejut namun juga merasa senang karena orang yang sangat dikaguminya itu berkenan menimpali ucapannya.
"Ya udah deh Bah .. Kulo ijin pulang dua minggu saja, insyaallah besok puasa Ramadhan kulo ikut ngaji," jawab Hanif nampak sumringah, bukan karena takut ilmunya tidak bermanfaat seperti yang dibilang oleh neng Zahra Hanif menggagalkan rencana pulangnya selama dua bulan akan tetapi dia berkeyakinan dengan dia tetap di Pondok disaat pondok sedang sepi maka kesempatan untuk bisa kenal lebih dekat dengan Neng Zahra nampak lebih mudah.
"Tapi gini Bah ... besok ini Hanif pulangnya saya suruh bareng dengan Adik saya Naila Zahra," terang Kang Hafizh.
"Oh gitu .. ? Ya udah gak papa yang penting jaga diri baik-baik dan jaga nama baik pesantren dan juga statusmu sebagai santri," ujar Abah Kiai berpesan. Setelah dirasa cukup akhirnya Hanif dan Kang Hafizh pun langsung berpamitan.
Keesokan harinya Hanif dan Naila pun langsung berangkat pulang, Hanif pulang ke Solo sedangkan Naila pulang ke Kebumen, lalu setelah berada di dalam bis mereka berdua mengambil duduk di bangku yang berkapasitas tiga orang, Naila langsung masuk duluan dan kemudian duduk di samping kaca bis, takut kalau sampai berdekatan atau mungkin bersenggolan maka Naila menaruh tas ranselnya berada di tengah-tengah mereka.
Bus Mila jurusan Yogyakarta itupun langsung melaju, sementara itu baik Hanif maupun Naila terlihat berdiam diri untuk beberapa saat lamanya, baru ketika bis itu sudah mulai memasuki pegunungan kumiter maka Hanif pun nampak memberanikan diri untuk pinjam buku bacaan pada Naila.
"Naila, aku pinjam bukunya dong ..."
"Buku apaan?" tanya balik Naila.
"Buku yang ada kisah-kisahnya para wali atau ulama-ulama gitu," ujar Hanif sambil menatap Naila. Lalu setelah itu Naila membuka tasnya dan tangannya sibuk mencari buku yang dimaksud Hanif.
"Nih," ujar Naila menyodorkan buku itu.
"Makasih ya Nai ...?"
"Iya," balas Naila singkat. Lalu kemudian mulailah Hanif membuka buku itu dan kemudian ia membaca daftar isinya, mata Hanif sibuk mencari-cari cerita tokoh yang dianggapnya menarik, lalu setelah beberapa meneliti dan mencari akhirnya dia tertarik pada cerita sahabat nabi Muhammad Saw yang bernama Handzalah, lalu Hanif pun memulai membaca:
"Perjalanan asmara antara Handzalah dan Jamilah disebut-sebut sebagai kisah cinta sahabat Nabi yang mengharukan karena harus mengutamakan rasa cintanya kepada Allah.
Dikisahkan setelah hari pernikahan Handzalah, ia meminta izin kepada Rasulullah untuk bermalam bersama istinya. Rasulullah pun mengizinkan.
Layaknya pasangan yang baru menikah Handzalah dan Jamilah diselimuti rasa bahagia dengan menyandang status baru sebagai suami-istri.
Akan tetapi suasana kota Madinah saat itu memang tengah mencekam karena isu peperangan. Sejumlah prajurit Muslim banyak bersiaga di berbagai sudut kota.
Meski mencekam, di malam itu juga Handzalah sedang menikmati malam pengantin bersama istri tercinta.
Malam kebahagiaan telah berlalu setelah terbitnya fajar. Handzalah pun melaksanakan salat Subuh namun ia segera kembali ke pelukan istrinya.
Di saat bersamaan terdengar sayup-sayup suara yang menyerukan "Mari Berjihad" sebagai pertanda dari Rasulullah untuk memerintah perang.
Berat sekali pilihan Handzalah kala itu karena harus memenuhi perintah Rasulullah dan meninggalkan istri tercintanya seorang diri tepat pada malam pernikahannya yang pertama.
Namun karena keteguhan hati, pendirian, serta kepatuhannya kepada Rasulullah dan agama, ia pun bergegas memenuhi panggilan perang tersebut.
Begitupun dengan istri Handzalah. Jamilah sangat mendukung suaminya untuk ikut dalam peperangan karena rasa cinta keduanya kepada Allah juga lebih tinggi.
Jamilah hanya bisa memeluk dan menatap Handzalah sebagai tanda perpisahan melepas kepergian sang suami untuk berjihad melawan kaum Quraisy pada Perang Uhud.
Sebuah pedang dibawa Handzalah untuk berperang. Keadaan dirinya saat pergi tidak sempat mandi junub.
Dalam keadaan junub Handzalah segera bergabung dengan para prajurit Muslim Rasulullah, sambil menghadap musuh dari kaum kafir Abu Sufyan.
Pada sesi pertama prajurit Muslim mampu mengalahkan musuh, namun kawanan Muslim kembali diserang dari belakang.