webnovel

12. Cicak Besar

"Kamu ... apa yang kamu lakukan?" Yena bertanya dengan wajah pucat. Ia menelan salivanya kala melihat bangkai burung yang telah mengering di lantai.

Melihat ekspresi Yena Lucifer berdehem kecil dan menggaruk tengkuknya tidak gatal.

"Aku sedang sarapan," ucapnya. "Kamu kembalilah dulu ke atas. Leon akan membawakan sarapan untukmu sebentar lagi."

Yena tidak mendengarkan Lucifer dan malah mendekat. Benar saja, ia melihat tumpukan bangkai kering di sudut. Mereka seperti mumi, tidak menjijikkan, tapi sangat mengerikan.

Lucifer bergeser dan menghalangi pandangannya.

"Aku akan membersihkannya. Pergilah ke atas."

"Apa itu? Bagaimana caramu melakukannya--"

"Aku bilang pergi ke atas," tekan Lucifer dengan dingin. Yena refleks melangkah mundur.

"O-oke. Aku pergi, kamu tidak perlu memelototiku seperti itu," cicit Yena kemudian berbalik dan kembali ke kamar. Apa-apaan, akhir-aknir ini Lucifer bisa merubah ekspresi dan auranya dengan cepat. Kadang-kadang menjadi manis dan menyebalkan, lalu tiba-tiba berubah menjadi dingin dan sinis. Apakah dia punya alter ego?

Sementara itu di tempat lain, matahari sudah terbit dan Ansel masih mencari Rumi kesana kemari dengan panik. Gadis itu tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak bisa melapor pada polisi karena Rumi hilang belum 24 jam.

"Anak ini ..., satu saja belum ditemukan dan sekarang satunya lagi juga ikut menghilang! Apa mereka benar-benar diculik siluman? Sigh!" Ansel menjambak rambutnya pusing. Ia mampir ke sebuah minimarket untuk membeli penghilang dahaga.

Saat sedang mengambil minuman di lemari pendingin Anasel melihat seorang bocah laki-laki yang menarik perhatian sedang memeluk beberapa bungkus camilan besar.

"Yoghut-nya habis. Apa aku harus pergi ke toko lain? Malas sekali. Kira-kira gadis itu suka apa lagi selain Yoghut, yah?" Bocah itu tampak mengerutkan alisnya bingung. Dia tampak mencolok karena penampilannya yang berbeda dari anak-anak Korea umumnya. Kulit bocah itu tampak gelap dan rambutnya yang cukup panjang dikepang kecil-kecil.

Jika wajahnya tidak terlihat sangat tampan maka Ansel akan mengira bahwa dia adalah seorang perempuan.

"Yoghurt? Jika dia suka yoghurt maka aku rasa dia juga akan suka susu. Keduanya tidak jauh berbeda," ujar Ansel refleks.

"Oh? Benarkah? Baiklah, aku ambil susu saja." Bocah itu tanpa melirik Ansel langsung menurut saja. Ia mengulurkan tangannya untuk mengambil susu kemasan.

"Tapi aku rasa dia akan lebih suka susu kedelai," ucap Ansel lagi. Tangan anak itu segera berbelok pada rak bawah dan mengambil beberapa botol susu kedelai.

"Terimakasih. Akhirnya pekerjaanku selesai. Aku sudah membeli barang lengkap, ular jahanam itu tidak punya alasan untuk marah-marah lagi." Bocah itu berkata sembari berlalu ke meja kasir.

Ansel menatapnya heran. Anak itu menerima mentah-mentah masukan orang. Dia sendiri bingung mengapa dirinya tiba-tiba jadi sok tahu. Ansel hanya ingat Yena suka yoghurt, dan dia juga suka susu kedelai.

Ansel merasa bodoh. Hanya karena Yena menyukainya belum tentu orang lain suka. Bagaimana jika karena dirinya anak itu kena marah? Tidak boleh. Ansel segera bergegas ke meja kasir namun bocah itu sudah keluar.

Ansel buru-buru membayar minumannya dan bergegas menyusul bocah itu yang sudah berjalan jauh saja.

"Nak! Tunggu! Ansel mengejarnya. Namun, anak itu sudah berbelok dan menghilang ke balik gedung. Saat Ansel menyusulnya dia sudah tidak ada.

"Ya ampun. Cepat sekali dia." Ansel sedikit ngos-ngosan.

"Eh?" Ia tiba-tiba melebarkan pupil matanya saat melihat sesuatu yang abnormal.

Tampak seekor burung gagak terbang dengan membawa kantung belanja di kakinya.

Ansel semakin membelalakkan matanya, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Itu ...." Ansel bergegas mengejarnya. Namun, gagak itu terbang semakin tinggi dan akhirnya menghilang entah ke mana.

"Apa-apaan itu?" Ansel mengerutkan keningnya pening. Apa karena terlalu lelah dia jadi berhalusinasi?

Kwakk Kwakk

Leon mengepakan sayapnya lebih cepat.

"Manusia itu mau apa mengikutiku? Huh! hampir saja ketahuan!"

Burung gagak itu terbang meliuk kemudian setelah beberapa lama merendah.

"Kwak! Lucifer! Yena! Ini makananmu!" Ia berteriak-teriak memanggil dari balik jendela. Namun setelah beberapa kali memanggil tidak kunjung ada yang meresponnya. Terdengar suara air dari kamar mandi, sepertinya Yena sedang mandi. Leon menggantungkan makanannya di luar jendela dan pergi.

Byurrr

Guyuran terakhir benar-benar hampir membekukan tubuh Yena.

"Huhuu dingin sekali!" Yena menggigil. Tangannya terulur untuk mengambil handuk di namun hanya angin kosong yang ia genggam.

"Eh?" Gadis itu menengok dan melihat kastop tempat biasa ia menaruh handuk dan pakaian -- kosong.

"Ya ampun ...." Ia menepuk jidatnya sebal. Dia melupakan pakaian dan handuknya di luar. Bagaimana ini? Apa Lucifer ada di kamar?

Yena mengintip keluar. Tidak ada siapa pun. Gadis itu mengendap-ngendap keluar kemudian meraih handuknya yang terlipat rapi di atas tempat tidur.

Sepertinya Lucifer masih sibuk di bawah. Yena pun mengeringkan badan dan memakai pakaiannya di sana.

"Brrr dingin sekali. Aku menyesal mandi sepagi ini," beo Yena sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk.

Yena melihat matahari bersinar cerah di luar. Namun kenapa udara masih sedingin ini?

"Eh ...?" Yena yang baru saja menengok ke luar jendela tertegun, merasa ada yang aneh. Ia kembali menengok ke arah jendela dan kini wajahnya benar-benar membeku.

Seperti pemandangan horror, Lucifer menempel di luar jendela seperti cicak besar dan menatap lurus ke arah Yena dengan kedua matanya yang terbuka lebar.

Untuk sesaat mereka saling memandang dengan terkejut sampai suara teriakkan yang tajam lepas dari tenggorokan Yena.

"Kyaaa!!!"

Mungkin karena efek teriakan Yena tau karena menopang tubuh berat Lucifer kaca jendela seketika retak dan hancur, membuat Lucifer yang menempel padanya jatuh ke dalam.

Brakkkk

Bughh!

"Kamu! Sejak kapan kamu berada di sana, hah?!" Yena menunjuk Lucifer geram.

Pria itu bangkit dengan tertatih. Untung saja dia tidak terluka, hanya tangannya yang sedikit tergores.

"Aku tidak melihat apa pun. Benar-benar tidak melihat apa pun," ucapnya dengan wajah yang sama sekali datar namun juga tegang.

Tentu saja Yena tidak percaya. Dia menuding pria itu dengan galak, "Bohong! Dasar mesum! Katakan dengan jujur apa saja yang kamu lihat?!"

"Sudah aku bilang aku tidak melihat apa pun. Sungguh tidak lihat--"

Tes

Cairan merah mengucur dari hidung Lucifer. Wajah Yena memerah padam.

"Kenapa mimisan? Katanya kau tidak lihat apa pun!"

"Kenapa mimisan? Tentu saja karena aku baru saja terjatuh. Apa kau tidak lihat?" kata Lucifer. Ia berjalan melewati Yena dengan tubuh kaku. Dengan penampilannya yang seperti itu tentu saja mana mungkin Yena percaya kalau dia tidak melihat apa pun.

Wajah gadis itu berganti antara merah dan biru. Benar-benar marah dan malu.

"Nasibku benar-benar buruk. Bahkan seekor ular pun berani melecehkanku." Yena bergumam dengan nada hampir menangis. Matanya sembab. Sepertinya dia benar-benar akan menangis karena malu.

Lucifer yang sedang mengobati lukanya menatapnya dengan mulut terbuka.

"Maaf. Aku juga bukannya sengaja. Leon meninggalkan makanan di luar jendela. Jadi aku pergi untuk mengambilnya." Lucifer berdehem kecil, merasa bersalah.

Melihat Yena masih cemberut, Lucifer berkata lagi, "Aku sungguh tidak mengambil kesempatan apa pun. Lagipula tubuhmu sangat jelek, jadi aku tidak tertarik dan langsung menutup mata."

Lucifer kira Yena akan lebih baik setelah mendengarnya, tapi mata gadis itu malah semakin menyala dan wajahnya bertambah merah padam.

Ia menatap Lucifer tajam.

"Kamu bilang apa?"

Bab berikutnya