Salah seorang laki-laki muda dari keenam pengejar itu maju ke depan. Di sela nafasnya yang masih ngos-ngosan salah seorang dari keenam laki-laki itu berkata dengan suara tinggi: "Hei, kamu Kalimone. Kamu telah mencoreng aib di keluarga kami! Mau lari ke mana lagi klian sekarang, he! Jadi nyawamu akan segera menjadi tebusannya!”
La Kalimone dan La Mbita Salaka terlihat ketakutan. Keduanya langsung berdiri melindungi diri mereka di belakang tubuhnya La Mudu. Siapa pun akan ciut nyalinya jika berhadapan dengan sekelompok laki-laki yang menenteng parang dan siap untuk menebas tubunya secara silih berganti.
La Mudu memahami ketakutan itu. Namun dengan sikap tenang ia menghadapi para laki-laki pengejar yang sedang dilanda amarah di hadapannya. Dengan sebuah senyuman, La Mudu berusaha menyambut kehadiran mereka dengan cara ramah dahulu, dan berucap santai: "Kalian tenanglah, Kalimone dan La Mbinta Salaka ada dalam perlindunganku, karena mereka sudah ada di rumahku. Karena itu, nanti sore aku akan mengantar mereka kembali ke keluarganya, untuk memenuhi ketentuan adat. Sekarang kalian pulanglah dahulu."
Keenam laki-laki langsung saling menatap satu sama lain dengan wajah penuh keheranan. Dan salah seorang dari mereka yang lebih tuan sendiri bertanya, “Apa? Rumahmu? Hutan belantara kaubilang sebagai sebuah rumah?”
Lalu keenamnya sontak tertawa ngakak karena merasa aneh dan lucu.
La Mudu hanya menanggapinya dengan tertawa ringan, sebelum ia berucap, "Iya, rimba Sorowua ini adalah rumahku dan wilayah kekuasaanku. Siapa pun yang berani coba-coba berbuat rusuh di wilayahku, maka akan berhadapan dengan aku. Jadi sebaiknya kalian semua pulang secara baik-baik. Aku akan memenuhi semua hukum adatnya."
"Ah, tidak bisa! Bagaimana kami bisa mempercayaimu begitu saja? Sementara kami tak tahu menahu kau ini siapa? Apa iya kami menyerahkan kepercayaan kepada seseorang yang tak jelas asal usulnya?”
"Karena itu aku meminta kalian untuk mempercayaiku," ucap La Mudu. “Namun jika kalian tidak percaya dengan kata-kataku, maka kalian silakan membuat kegaduhan di wilayahku ini. Kalian tak perlu menyesal jika aku akan bertindak tegas terhadap kalian!”
"Wah, rupanya ini pemuda liar sengaja ingin mencari perkara!” ucap laki-laki itu lagi sembari menoleh kepada kelima temannya. Lalu kepada La Mudu ia berkata, “Baik! Jika kau ingin mencoba ikut campur dengan urusan kami, kami pun akan menindakmu dengan tegas!”
Kepada kelima temannya ia berkata, “Ayo, kita bereskankan bedebah ini! Jangan beri ampun padanya!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kelimanya pun melakukan penyerangan ke depan.
"Heaah...!”
“Heaah...!”
“Heaah...!”
“Heaah...!”
“Heaah...!”
Keenam laki-laki itu langsung menebaskan golok panjangnya masing-masing dengan berbagai sasaran pada tubuh La Mudu dengan beringasnya.
Mendapat serangan yang membabi buta itu, tidak menjadikan murid Dato Hongli yang kini bergelar Pendekar Tapak Dewa menjadi kaget. Malah ia tak bergeming di tempatnya berdiri, sehingga tak ayal mata golok dari keenam laki-laki itu langsung membabatnya secara bertubi-tubi.
Bugh...!! Bugh...!! Bugh...!!
Bunyi tubuh yang dibabat sangat mengerikan bagi La Kalimone dan La Mbinta Salaka sehingga menjadikan keduanya menutup wajah mereka dengan kedua tangan mereka.
Namun lain halnya dengan keenam laki-laki penyerang. Mereka dibuat sangat kaget karena mereka seperti sedang membabat seonggok batu cadas yang amat keras. Golok mereka tak mampu memberi luka sedikit pun pada tubuh si pemuda. Bahkan betapa kaget lagi mereka, ternyata mata golok mereka telah rompal dan teyeng. Mendapati kenyataan itu, maka sadarlah mereka bahwa saat itu mereka sedang berhadapan dengan seorang jawara yang sangat sakti. Mereka pun serentak menghentikan penyerangannya.
Tetapi justru saat itu La Mudu melakukan serangan balasan kecil. Dengan satu kali sentakan kaki kananya ke bumi, keenam tubuh laki-laki pengejar itu pun langsung mencelat beberapa depa ke belakang. Tubuh mereka jatuh menelentang dan membentur tanah dan bebatuan yang berserakan di sekitar itu.
“Ayo bangun! Kalian serang lagi aku! Ayo...!” bentak La Mudu.
"Ma-maafkan kami, jawara...! Kami memngaku salah dan kalah. Sekarang kami sudah percaya padamu. Ba-baik, kami akan menunggumu dengan kedua saudara kami di desa kami. Terima kasih...!" berucap si laki-laki yang lebih tua sembari bangkit sambil memegang dadanya yang terasa nyaris remuk.
"Nah, harusnya dari tadi kalian bersikap begitu," sahut La Mudu dengan tenang. "Sekarang kalian pulanglah. Nanti kami menyusul."
"Baiklah...!"
"Mudu. Namaku La Mudu. Sang penguasa Rimba Sorowua," ucap la Mudu d4engan setengah berteriak kepada keenam laki-laki pengejar itu.
"Iya, Jawara Mudu. Kami mempercayaimu. Kami menunggumu untuk menyelesaikan aturan adat buat mereka. Santabe kami akan langsung kembali ke desa kami." Kembali yang lebih tua yang berkata.
"Nah, sekarang kalian sudah aman. Nanti agak sorean aku akan mengantar kalian ke keluarga kalian," berkata La Mudu, kemudian, kepada pasangan selarian.
Sepasang kekasih, La Kalimone dan La Mbinta Salaka, serentak memeluk tubuh La Mudu sambil mengucapkan terima kasih berkali. La Alo Salaka menangis tersedu-sedu di lengan La Mudu.
"Sudahlah. Kalian nikmati saja dulu keindahan suasana rimba ini. Terserah kalian mau mandi atau apa. Itu ikan yang banyak, aku ijinkan kalian untuk menangkapnya sebanyak yang kalian inginkan. Lumayan buat dibawa pulang."
"Iya, Jawara Mudu. Sekali lagi kami berdua mengucapkan besar rasa terima kasih kami. Kami tidak menduga akan bertemu dengan pemuda yang berhati mulia seperti Ndaimu," menjawab La Kalimone.
"Tak perlu dipikirkan, Kalimone. Kalian nikmatilah suasana La Rindi ini. Saya mau nelentangkan tubuh sebentar untuk menunggu datangnya sore," ucap La Mudu.
"Iya, silakan, Jawara," balas La Kalimone.
Ketika La Mudu melepaskan lelahnya di atas sebuah batu besar yang berpermukaan datar, La Kalimone dan La Mbinta Salaka dengan gembira bercengkerama di aliran sungai yang beraliran deras dan jernih. Ikan-ikan yang besar mereka tangkapi. Ikan-ikan itu mereka retasi, lalu dijemur di atas pemukaan bebatuan yang panas oleh terik yang tajam. Ketika La Mudu bangun, ikan-ikan yang dijemur itu pun sudah lumayan mengering. La Mudu menyaksikan perilaku sepasang kekasih yang sedang memperjuangkan cinta mereka itu dengan perasaan senang.
"Wah, rupanya kalian sudah menyiapkan banyak ikan dendeng buat oleh-oleh."
“Eh, iya nih, Jawara Mudu. Ikan di sungai ini sangat banyak dan besar-besar. Soalnya belum ada yang pernah ke tempat ini untuk menangkapnya. Kami sangat takut untuk memasuki wilayah ini,” sahut La kalimone.
“Mengapa bisa seperti itu?”
“Karena kami sangat percaya, bahwa Rimba Sorowua dikenal besar uraganya, sangat wingit. Sejak puluhan tahun yang lalu kami telah diceritakan secara turun temurun, bahwa Rimba Sorowua ditunggui oleh seorang siluman sakti yang berjubah putih, berambut putih, berkulit putih, dan bermata sipit.”
Sesaat La Mudu seperti memikirkan sesuatu dari cerita pemuda desa itu. Rupanya gurunya, Dato Hongli, pernah terlihat oleh warga lalu menganggapnya sebagai sesosok siluman sakti. Ia pun jadi tersenyum. Tetapi kemudian dia bertanya kepada La Kalimone:\
“Lantas kenapa hari ini kalian benarni hendak memasuki rimba Pegunungan Sorowua ini?”
“Kami sudah kelabakan dan kehilangan akal, Jawara Mudu,” sahut La kalimone. “Kami hanya mengikuti ke mana langkah kaki kami membawa kami. Setelah kami sadar bahwa kami sedang menuju ke Pegununngan Sorowua, kami pun pasrah saja. Mati pun kami pasrah, asal kami berdua mati bersama.”
“Cinta kalian benar-benar sangat besar dan kuat. Aku kagum kepada kalian berdua. Pertahankan cinta kalian itu hingga ajal menjemput,” puji dan nasihat La Mudu.
“Tentu, Jawara Mudu. Kami berdua sudah berikrar untuk sehidup semati.”
La Mudu tersenyum dan mengangguk pelan.
Desa La Kalimone dan La Mbinta Salaka tidaklah jauh dari kaki Gunung Sorowua. Hanya butuh waktu sepeminum kopi perjalanan ketiganya pun telah sampai. Desa itu bernama Kandunggu. Sebuah pemukiman yang cukup luas dan padat. Tentu saja kehadiran kembali La Kalimone dan La Alo Salaka menjadi perhatian hampir seluruh warga di desanya.
Hal tidak lumrah sebenarnya sepasang kekasih yang baru melakukan selarian kembali lagi dalam waktu yang singkat. Namun demikian warga desa sudah bisa menerima baik, karena sudah tahu beritanya dari pihak keluarga La Mbinta Salaka yang pulang dari pengejaran tadi.
Dan yang lebih menggembirakan lagi bagi pihak keluarga si gadis adalah La Mudu benar-benar telah menepati janjinya untuk mengantar kembali kedua kekasih itu. Sebagaimana adatnya, keduanya di antar kembali ke pihak keluarga si gadis. La Kalimone, sebagai pihak calon penganten pria, akan langsung tinggal di lingkungan keluarga calon istrinya, sampai hari pernikahan.