Seperti biasa setelah magrib tiba, menggelar tikar sebagai alasnya di atasnya lagi ku hiasi dengan sebuah perlak warna kuning lalu di atasnya kemudian ku lapisi lagi dengan kasur lantai warna hitam bermotif bunga bambu.
Kopi segelas kali ini bukan kopi hitam pahit seperti biasanya aku ingin agak beda merasakan sensasi lain dari sebuah kopi saset yah sekedar mengkhayal selayaknya duduk di salah satu Cafe ternama dengan segelas Coffee berbanderol harga mahal di atas buku menu di tangan pelayannya.
Seperti biasa kali ini sama seperti berpuluh-puluh tahun yang lalu dimanapun sebungkus rokok warna hitam biru bermerek kunci dan gembok ku lempar di atas kasur begitu saja.
Tiga rakaat fardu Ain salat magrib tertunaikan sudah hari ini amalan Shalawat belum kembali aku baca mungkin setelah isya datang. Sembari menikmati tegukan hangat kopi saset yang kubeli dari warung janda tua depan rumah. Sembari menikmati batangan rokok dimulutku yang semakin hari semakin menghitam saja.
Kupasang sejenak Alat pendengar suara untuk ponselku di kedua lubang telinga dan memutar sebuah lagu mp3 yang tertera di sebuah aplikasi yang baru aku download dari playstore. Mengalunlah lagu menjalari otak membuat seluruh ruang dalam rongga dindingnya sudah siap untuk bercerita mari ikuti aku.
Selalu ku katakan tuangkan segelas kopimu nikmati batangan rokokmu mari berkisah dan bercerita dengan seribu khayalan bersamaku.
Sebelumnya maafkanlah otak ini yang sekedar sebuah wadah dari sejuta khayalan. Sebenarnya aku sedikit muak dan serasa jijik ingin muntah namun ku tahan-tahan. Cerita-cerita masa lalu yang penuh bergulat dengan nafsu membuatku lelah.
Jadi mengertilah biarkan sejenak otak dan hati ini beristirahat dan mari kita nikmati suguhan sebuah cerita selingan yang mungkin menarik untuk di tutur katakan beginilah ceritanya.
***
Rasa Subuh,
Subuh di kala tubuh masih berbalut seragam smp, di kala jiwa masih meledak-ledak semangat akan kehidupan dan bayangan kesuksesan dari kata belajar dan terus belajar. Pagi siang malam aku terus membaca dan membaca apa pun akan aku lakukan untuk sekolah.
Bisa di bilang aku si kutu buku tiada haru tanpa buku. Dulu pada waktu masa kecilku masih tangan dan lengan dan jari-jari kecil ini masih di genggam ibu. Sering sekali yang aku ambil di sebuah gerobak penjual mainan adalah sebuah komik bergambar sang punakawan yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Sebuah kisah tokoh pewayangan Jawa selayaknya kisah dalam buku Abu Nawas sang Sufi terkemuka dari timur tengah. Komik selalu berisi petuah-petuah bijak dari kelakuan konyol empat sekawan.
Jauh sebelum itu mungkin Allah menakdirkan aku untuk satu hal ini yaitu tulisan. Dikisahkan dari ibu lalu di benarkan oleh bapak, pernah juga di ceritakan ulang oleh Almarhum Kakek dan Nenek.
Sebuah tradisi Jawa dinamakan turun tanah saat si bayi masih berusia tujuh bulan dalam Islam di sebut akikah. Saat itu ada satu sesi yang selalu ceritanya melekat di hati, saat si bagus kecil tengah di masukkan ke dalam satu kurungan ayam agak besar di depannya tersedia beberapa benda.
Benda pertama adalah buku dan alat tulis lengkap yang memiliki arti kalau si bayi memilih benda-benda ini kelak iya akan menjadi orang yang cerdas di masa dewasanya.
Benda kedua adalah setumpuk uang kertas dahulu seingatku lembaran uang kertas bernilai satunya lima ribu rupiah. Ini di maksudkan sebagai arti kelak di saat dewasa si bayi akan menjadi orang yang tekun bekerja.
Benda ketiga adalah Al Quran dan seperangkat alat Salat lengkap dengan tasbihnya. Benda ini mengartikan sebagai gambaran kelak si bayi saat dewasa akan menjadi seorang yang alim dan mengerjakan apa yang di perintahkan menjauhi apa yang di larang oleh Sang Kuasa.
Saat itu aku memilih setumpuk buku dan alat tulis lengkap. Lalu saat di suruh memilih yang kedua aku memilih Al Quran dan alat salat lengkap dengan tasbihnya meninggalkan setumpuk uang kertas tak mau menatapnya.
Seperti itulah kejadian-kejadian awal yang membuat saat aku masih berstatus pelajar berseragam warna biru dan putih selalu tidak lepas dari kata buku di tanganku dan selalu bersemangat apabila menemukan satu buku cerita entah apa saja cerita dan topiknya selalu aku baca lalu aku letakkan di rak buku yang hingga kini masih ada di kamarku.
Dari kisah kurungan ayam tersebut membuatku selalu ingin membaca walau subuh telah tiba. Seperti biasa setelah subuh ku buka perlembar buku mata pelajaran sekolah agar mudah di hafal dan mudah ingat saat mengerjakan soal ulangan di sekolah siang harinya.
***
Subuh di tanah merah Serang,
Aku selalu menikmati kopi setelah puluhan tahun tak kembali di depan teras rumah Pakde Sumadi dan hari ini beliau telah berpulang kepada Sang pemilik hidup.
Dahulu saat subuh ku di tanah merah beberapa tahun dahulu saat aku kembali di depan pintu rumah itu demi mencari sebuah kehidupan baik dari kata perantauan.
Rasanya selalu menenangkan menikmati rekahan fajar mentari di barat jauh yang tengah menguap lambat. Dan selalu sama walau nanti aku akan kembali bertahun-tahun lagi di masa mendatang memandang para pekerja yang mulai menaiki angkutan kota yang berjajar di depan pelataran rumah Pakde Sumadi terasa begitu nikmat.
Sebab banyak cerita yang dapat ku baca dari sejuta cerita tatapan maupun raut wajah di balik para pekerja. Ada wajah dengan gambaran lelah, ada wajah dengan gambaran payah, ada wajah dengan gambaran tawa mungkin baru dapatkan bonus dari atasan.
Aku rasa subuh di depan pintu rumah Pakde Sumadi selalu sama terasa agak begitu panjang gelap menggantung di atas langit seakan tak ingin di ganti oleh Si Terang.
***
Subuh hari ini,
Lelahku selalu jarang menemui subuh hari ini sebab kesalahan-kesalahan masa lalu. Dahulu aku selalu berkesempatan menggelar sajadahnya, menatap mimbar masjidnya namun selalu tak kulakukan dan memilih menjauh bersiap berangkat kerja tak jarang saat subuh datang aku masih berkutik dengan sebuah pekerjaan.
Akibatnya hari ini aku jarang bertemu subuh. Sebab itu aku selalu jarang tertidur, sengaja tak pejamkan mata dan terjaga semalaman walau apa pun yang terjadi di malam harinya demi menggelar sajadah dan hadir dalam majelis Allah.
Serta menggulir butiran tasbih setelah subuh. Aku rela tak tidur dan hanya terlelap setelah subuh berakhir meninggalkan dunia.
Ah aku terlalu lelah dengan tubuh yang tak kunjung benar, aku rasa butuh berpuluh tahun lamanya agar bisa dapatkan sang raja pagi subuh.
***
Kisah-kisah subuh selalu menuntunku akan rindu dan kerinduan yang mendalam akan hadirnya sebuah rasa tenang dan damai. Yang pada akhirnya aku tahu sebuah getaran halus di dada yang aku rasakan kala subuh datang adalah sebuah jalan dimana kelak aku temukan sebuah jati diri dari siapa aku sebenarnya? Dan apa fungsi aku hidup sejatinya. Dan sebuah tujuan kenapa aku dilahirkan untuk apa aku di dunia ini.
Sekian dahulu selingan sebentar dari kisah Dewi mari kita lanjutkan kisah Dewi dengan indahnya menari tanpa sehelai di atas tumpukan karung beras Pak Haji Salam yang selalu kuingat dan terus terngiang di otak hingga hari ini tubuh Sang Dewi.