webnovel

Baik-baik Saja

Setibanya di kantor, Andine langsung disambut oleh Amira dengan wajah riangnya. Gadis itu tersenyum lebar seraya menggamit lengan Andine dan membawanya ke kubikel miliknya.

"Kamu kenapa? Kok kelihatan seneng banget?" tanya Andine penasaran.

Amira menutup mulutnya khas remaja yang baru saja merasakan jatuh cinta, melihat itu Andine merasa geli pada sahabatnya sendiri.

"Nggak apa-apa kok, itu … tadi malem aku habis sleep call sama Arka," aku Amira sambil tersenyum malu-malu.

Andine tersenyum mendengar cerita sahabatnya, ia tentu tahu bagaimana hubungan Amira dengan Arka yang memang sedang dekat akhir-akhir ini. Berawal dari pertemuan tak sengaja ketika Amira sedang berada di restoran milik teman ayahnya, di sanalah mereka berjumpa.

"Seneng banget pasti kamu," ujar Andine sambil menggoda Amira yang tengah dimabuk asmara.

Amira menunduk menyembunyikan rona merah di kedua pipinya, jantungnya tengah berdebar-debar mengingat bagaimana suara Arka begitu memabukannya.

"Ternyata kami itu seumuran lho, An," sambung Amira menceritakan gebetannya tersebut, sorot mata gadis itu menunjukkan betapa bahagianya ia. "Tadi malem tuh dia cerita soal keluarganya. Orang tuanya cerai waktu dia masih SMP, kasihan ya? Mana Arka itu anak tunggal lagi, dan sekarang dia di Jakarta ikut papanya ngurus perusahaan. Kalau mamanya sih, katanya ada di Lampung, udah pindah ke sana dari lama."

Amira terus bercerita dengan riangnya, sedangkan Andine sesekali menanggapi dengan senyuman tipis. Namun, detik berikutnya ia larut dalam lamunannya sendiri tanpa mempedulikan Amira yang masih terus bercerita panjang lebar. Ketika Amira tengah membayangkan sosok pria yang dicintainya, Andine pun sama. Wanita itu kepikiran tentang suaminya, terlebih ucapan Andra saat mengatakan bahwa Andine harus menjaga kehormatan suami di luar sana.

Wanita itu tersenyum getir, ia menganggap bahwa Andra hanya mementingkan dirinya sendiri.

"Andine!" panggil Amira sambil mengguncang bahu wanita itu.

"Ya?" Istri sah Andra itu menoleh dengan wajah terkejut, matanya ikut membulat.

"Kamu kok ngelamun sih? Nggak dengerin cerita aku ya?" Wajah Amira langsung ditekuk dengan bibir maju beberapa senti.

Andine tertawa kecil mencoba menutupi sesuatu yang tidak menyenangkan di dalam hatinya.

"Aku dengerin kok, aku nggak ngelamun," kilah Andine sambil menyunggingkan senyum tipis.

Bukannya merespon ucapan sahabatnya, Amira malah memicingkan mata mengamati ekspresi di wajah Andine. Entah mengapa ia tak bisa percaya sepenuhnya kepada omongan wanita itu.

"Ada yang kamu tutupin ya?" tanya Amira dengan pandangan mengintimidasi.

Mendengar pertanyaan Amira yang terdengar seperti tuduhan itu langsung membuat Andine menggeleng cepat, ia kembali berkilah akan kalimat yang dilontarkan oleh Amira.

"Terus, kenapa muka kamu murung gitu?" cecar Amira terus memojokkan Andine.

Melihat kemampuan sahabatnya membaca ekspresi wajah seseorang, Andine hanya bisa tertawa. Tawa garing yang sama sekali tidak menarik untuk Amira.

"Kamu apaan sih, Mir? Kok tiba-tiba jadi cenayang gini? Aku baik-baik aja kok, nggak ada yang lagi ditutup-tutupi–"

"Nah, itu!" seru Amira cepat sambil mengacungkan jari telunjuk, bahkan spontanitas gadis itu membuat Andine terkejut.

"Aku bahkan belum tanya apa-apa lho, An. Kamu sendiri yang bilang kamu lagi baik-baik aja, emang aku ada tanya soal itu? Berarti emang ada yang nggak beres nih." Amira mendekatkan wajah ke arah Andine, keduanya bertatapan dengan jarak yang dekat. Amira mencoba menyelami arti dari sorot mata wanita di depannya.

Mendapat serangan seperti ini membuat Andine bingung, bergegas ia menjauh dari Amira dan berniat untuk pamit menuju ke meja kerjanya. Namun, sebelum wanita itu berlalu, Amira sudah mencegahnya.

"Kamu lagi ada masalah ya sama, Andra?" tanya gadis itu dengan wajah serius, ia menebak tapi sayang sekali tebakannya memang benar.

Bukan lagi, batin Andine bicara. Setiap hari ia dan sang suami memang memiliki masalah yang seolah tak memiliki ujung. Pernikahan yang Andine jalani bagaikan sumber dan sebabnya. Namun, siapa pun tak boleh menyalahkan takdir.

Akhirnya, mau tak mau Andine harus jujur. Percuma jika ia berbohong lagi, Amira akan terus mengejarnya demi mendapatkan jawaban yang memuaskan. Si Ambisius itu tak akan berhenti sebelum menemukan kejujuran dari sahabatnya.

Wanita bertubuh tinggi itu mengembuskan napas panjang, ia kembali mendekat ke arah Amira dan mengempaskan duduk di kursi kerja wanita itu. Sedangkan Amira, berdiri di dengan pandangan tertuju ke arah Andine.

"Iya, aku emang lagi ada masalah sama Andra," ungkap Andine akhirnya dengan suara berbisik lirih.

Mata Amira lantas membulat kaget, dugaannya ternyata benar.

"Tapi bukan masalah besar, tenang aja," sambung Andine sambil menyunggingkan senyum lebar, berharap Amira akan percaya.

"Masalah apa emang?" tanya Amira ingin tahu.

Andine menggelengkan kepala, "Hanya masalah kecil, aku dan Mas Andra bisa menyelesaikannya sendiri," jawab wanita itu, "Keributan kecil itu hal biasa dalam pernikahan, nggak mungkin sebuah hubungan bakal berjalan mulus terus menerus kayak jalan tol. Iya 'kan?"

Mendengar penjelasan Andine, membuat Amira akhirnya percaya. Ia mengangguk samar menyetujui ucapan sang sahabat.

"Ya, kamu bener. Tapi, yakin nggak mau cerita? Kamu biasanya selalu cerita lho kalau ada masalah, bahkan masalah kecil sekali pun." Amira mempersilakan Andine jika wanita itu ingin berbagi keresahan di hatinya. Namun, Andine segera menggeleng dan menolak tawaran wanita itu.

"Situasinya sekarang 'kan beda, Mir. Aku udah menikah, bukan gadis lajang lagi," sahut Andine sambil tertawa kecil, "Masalah rumah tangga, kalau bisa diselesaikan berdua ya nggak perlu cerita-cerita ke orang lain sekali pun itu sahabat atau bahkan keluarga sendiri," jelas Andine dengan bijaknya.

Amira mendengarkan sambil mengangguk mengerti.

"Ntar juga selesai kok, tenang aja. Aku 'kan udah bilang ini cuma masalah kecil," seru wanita berusia 25 tahun itu.

"Okey, semoga baik-baik aja ya buat hubungan kalian. Jangan sering berantem, ntar aku nggak jadi punya keponakan," canda Amira sambil tertawa.

Andine yang digoda seperti itu hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Celotehan sahabatnya hanya ia anggap sebagai angin lalu, ia sudah kenyang mendengar candaan mengenai keturunan seperti itu.

Di satu sisi sebenarnya Andine merasa kasihan pada Amira, pasti temannya itu akan sangat terkejut saat mendengar cerita sebenarnya dari kehidupan pernikahan yang Andine alami. Namun, wanita itu tak mau memberitahukannya, untuk saat ini biarlah semua orang hanya tahu bahwa hubungannya dengan Andra sedang baik-baik saja layaknya pasangan pada umumnya.

"Doain aja ya," timpal Andine kemudian.

Tak berselang lama, Andine akhirnya pamit dari meja Amira dan bergegas pergi ke meja kerjanya yang berada tepat di depan ruangan direktur utama. Ia tak bisa berlama-lama berbincang dengan Amira sebab sudah waktunya bekerja, apalagi Pak Arya akan segera sampai ke kantor.

Benar saja, baru dua menit Andine duduk, sosok Pak Arya sudah muncul di hadapannya. Pria itu berjalan memasuki ruang kerjanya, dan Andine hanya menatapnya sekilas sebelum akhirnya kembali fokus pada pekerjaan. Walaupun pekerjaannya mungkin tak akan bisa fokus, sebab ia masih terus memikirkan sosok Andra.

Bersambung.

Bab berikutnya