webnovel

Pahitnya kehidupan

Setibanya di kantor polisi tempatnya bekerja Andrew turun dari mobilnya, lalu dia membuka pintu belakang mobil untuk menarik paksa remaja yang berani melawannya.

"Ayo ikut!" ajak paksa Andrew dengan menarik tangannya yang diborgol.

Remaja nakal itu menggerutu kesal dengan polisi yang berani membawanya dengan paksa seperti ini. Di dalam Andrew meminta remaja untuk duduk di kursi tersangka untuk dimintai keterangan oleh rekannya.

"Siapa dia?" tanya Darwin kepada Andrew.

"Dia pelajar membangkang ! Urus dia!" perintah Andrew kepada Darwin rekan kerja yang bertugas untuk memintai keterangan dari orang yang berbuat pelanggaran.

Setelah Andrew pergi ke luar, remaja itu meminta petugas yang ada di depannya melepas borgolnya agar dia bisa menelepon keluarganya.

"Lepaskan ini! Saya akan memanggil keluarga saya," perintah remaja yang tak kenal sopan santun.

"Sopan sedikit sama orang yang lebih tua darimu!" bentak Darwis menatap tajam remaja dengan pakaian SMA itu.

"Kau akan menyesal membentakku! Lihat saja nanti," ancam remaja itu sambil tersenyum licik melihat Darwis.

Andrew yang baru masuk dari luar dengan memegang sebotol air mineral, mendengar ucapan remaja itu yang lagi-lagi mengancam petugas, lalu dia menghampirinya, meletakkan botol di atas meja, mengambil kunci borgol lalu membukakan borgol ditangan remaja nakal itu.

"Hubungi keluargamu! Katakan padanya suruh menghadapiku," tantang Andrew dengan tatapan tajam melihatnya dengan sangat marah.

Darwis hanya bisa menggelengkan kepalanya saja, melihat Andrew yang sedang menantang pelajar yang sangat tidak sopan itu. Remaja itu mengambil ponselnya, lalu mulai menghubungi seseorang.

"Aku sedang ada di kantor polisi, lakukan sesuatu sekarang!" perintah dari remaja itu lalu menutup kembali ponselnya.

Setelah itu pelajar menyerahkan kedua tangannya lagu untuk diborgol, seolah meledek Andrew yang sedang duduk di meja menantangnya. Andrew langsung memborgol tangannya, lalu berdiri sambil menatap kesal pelajar itu.

"Jaga dia! Aku ingin lihat seberapa hebat keluarganya!" perintah Andrew pada Darwis lalu pergi meninggalkan mereka.

Di klinik Sonia sedang melihat neneknya diperiksa oleh dokter perempuan, dengan sangat panik mencemaskan neneknya. Setelah selesai melakukan pemeriksaan, Dokter langsung memberikan penjelasan kepada Sonia.

"Nenek kamu harus segera dilarikan ke rumah sakit, jika tidak kondisinya sangat berbahaya," ucap Dokter kepada Sonia.

"Memangnya nenek saya sakit apa Dok?" tanya Sonia sambil melihat neneknya yang masih memejamkan matanya.

"Dia sakit ginjal, dan harus segera melakukan perawatan ke rumah sakit besar," jawab Dokter menjelaskan kepada Sonia.

"Tidak perlu, nenek baik-baik saja," sahut Nenek Iyah yang baru sadar dari pingsannya. "Kita pulang saja ya Nia," ajak Neneknya lalu mencoba untuk bangun dibantu oleh Sonia.

"Kalau begitu saya permisi dulu ya Dok," pamit Sonia kepada dokter.

"Jangan lupa ditebus ya obatnya," pesan dokter kepada Sonia.

"Baik Dok, terima kasih," ucap Sonia lalu pergi membawa neneknya keluar dari ruangan dokter.

Di kantor polisi Darwis mendapatkan panggilan dari telepon yang ada di atas mejanya, lalu dengan cepat dia mengangkatnya.

"Iya petugas Darwis di sini," sapa Darwis sambil melihat ke pelajar yang tersenyum meledek melihatnya.

(Mendengar)

"Baik Pak, akan saya laksanakan," ucap Darwis lalu menutup teleponnya.

Setelah menerima panggilan telepon, Darwis berdiri lalu berjalan pergi meninggalkan pelajar itu sendirian. Dia mencari Andrew di area merokok, dan melihatnya sedang duduk sendirian.

"Andrew," panggil Darwis berlari ke arahnya.

"Kenapa kau di sini, bukankah aku suruh kau menjaganya," ucap Andrew sambil menghisap rokoknya.

"Justru aku kesini ingin memberitahu kepadamu, bahwa tadi kepala kepolisian meneleponku untuk melepas anak itu. Aku rasa dia anak orang penting, sampai mendapatkan perhatian langsung dari atasan," jelas Darwis kepada Andrew.

Setelah mendengar penjelasan dari Darwis, perasaannya kesal lalu membuang puntung rokoknya dan berdiri lalu berjalan meninggalkan Darwis. Melihat Andrew yang marah dia langsung mengejarnya.

Darwis berdiri di depan Andrew dengan melebarkan tangannya. "Andrew berikan saja kunci borgolnya, aku akan melepaskannya. Kau tidak perlu kesana, aku tidak ingin kau malah mencari gara-gara," pinta Darwin menghentikan Andrew yang sedang marah.

"Minggir!" perintah Andrew kepada Darwis dengan menatap tajam matanya.

Dengan terpaksa dia menyingkir membiarkan Andrew yang sudah tidak dapat dihentikan lagi olehnya. Di dalam ruangan Andrew membukakan borgol pelajar itu, lalu dia mendekatkan ke arah telinganya.

"Suatu saat aku akan menangkapmu, hingga kau tidak bisa lepas lagi dariku!" ucap Andrew membisikkan ditelinganya.

Pelajar itu tersenyum meledek Andrew yang telah kalah darinya, lalu pergi begitu saja meninggalkan kantor polisi. Andrew yang kesal langsung menanyakan kepala polisi kepada Darwis.

"Pak Suryana ada di ruangannya?" tanya Andrew kepada Darwis.

"Jangan kesana! Aku mohon padamu, jangan mencari gara-gara. Ini bukan tandingan kita, lebih baik kita menjadi penonton saja," jawab Darwis dengan wajah memohon untuk menghentikan Andrew.

"Kau lihat kan bagaimana anak itu songong terhadap kita! Aku kesal melihatnya, bagaimana bisa Pak Suryana membebaskannya begitu saja," oceh Andrew dengan sangat emosional.

"Iya biarkan saja sudah, namanya juga anak orang kaya pasti begitu. Lebih baik kita amankan diri saja, daripada menghadapi anak macam seperti itu," pinta Darwis menenangkan Andre dengan mengelus lengannya.

"Sudahlah lebih baik aku pergi bekerja, dari pada aku mendengarkan ceramah darimu," pamit Andrew meninggalkan Darwis keluar dari gedung untuk melanjutkan tugasnya.

Melihat Andrew yang sedang berjalan pergi membuat Darwis mengelus dadanya yang lega.

"Akhirnya kau bisa juga kuhentikan, jika tidak aku tidak tahu bagaimana nasibmu selanjutnya karena melawan Pak Suryana," gumam Darwis sambil tersenyum lega lalu duduk lagi di kursinya sambil melihat semua rekan kerjanya yang sedang sibuk mengetik laporan dari para tersangka.

Di dalam mobil Andrew mengacak-acak rambutnya, lalu dia merasa menyesal telah menjadi seorang polisi. Jika dia tahu polisi itu tidak semuanya benar, dia tidak akan pernah memiliki cita-cita sebagai seorang polisi.

"Jika aku tahu sebelumnya menjadi polisi itu seperti ini, aku tidak akan pernah menjadi polisi! Andai saja ada kakak, pasti dia juga akan melarangku menjadi polisi," batin Andrew sambil tersenyum mengingat kakaknya yang telah pergi meninggalkannya 20 tahun yang lalu.

Melihat jam tangannya menunjukkan pukul 16.00, Andrew menyalakan mesin mobilnya untuk pergi ke lampu merah untuk bertugas mengatur lalu lintas di jam kepulangan karyawan. Sesampainya di sana dia turun dari mobilnya lalu menyapa rekannya yang sudah berdiri di jalan.

"Sudah datang?" sapa Andrew sambil memakai rompi hijaunya.

"Sudah sekitar 15 menit yang lalu, kau dari mana saja?" tanya rekannya kepada Andrew.

"Biasalah petugas sibuk," ledek Andrew melihat lampu merah lalu mulai menyeberang untuk berjaga di seberang jalan.

 

 

 

 

 

Bab berikutnya