"Makasih Ram, udah mau bantuin gw tadi." ucap Putra sambil tersenyum
"Tadi gw kewalahan gara-gara gak memungkinkan untuk bawa pusaka yang biasanya gw pake." tambahnya
"Oh, iya sama-sama mas." balasku dengan canggung sebab aku bingung kenapa dia berbicara dengan bahasa santai kepadaku.
"Gausah kaku-kaku amat, panggil gw Putra aja, anggap aja sekarang kita udah temenan." ucapnya dengan santai
"Oke Put, omong-omong yang nyerang barusan itu siapa ya?" balasku dengan canggung.
"Itu sih sebenarnya dukun yang udah santet client gw dulunya, jadi ceritanya dia mau balas dendam karena targetnya gw lindungin." ucapnya dengan pandangan yang kosong layaknya sedang melamun.
"Capek ya mas?" tanyaku dengan pelan
Aku menyadari, pekerjaan menjadi paranormal yang selalu berurusan dengan hal ghoib bukanlah hal yang mudah. Mungkin dari luar tampak keren dan menarik, tapi kenyataannya sangat menguras pikiran dan batin. Sebab harus siap sedia dimanapun dan kapanpun, karena tidak tahu kapan serangan musuh akan datang.
Selain itu, baik kita dipihak yang benar atau yang salah, mau tidak mau sudah pasti akan menambah musuh. Jadi sebenarnya sangat berbahaya untuk ikut campur dan berurusan dengan hal-hal ghoib.
"Haha, capek sih iya, tapi mau gimana lagi, udah resiko pekerjaan." jawabnya
"Kalo boleh tau, emang kasus clientnya apaan ya?" tanyaku penasaran
"Kasus biasa, masalah persaingan bisnis. Padahal mereka masih tetangga-an sebenarnya." jawab Putra sambil menghisap rokoknya.
"Jadi saling tau tanpa ngomong secara langsung gitu?" tanyaku dengan heran
"Iya, ibaratnya yang ngirim pura-pura bego, terus yang kena bingung mau ngomong gimana." jawabnya dengan enteng
"Kayaknya lo tertarik banget ya sama yang berbau ghoib gini?" tanya Putra
"Hehe iya nih, sebenarnya gw tertarik sama hal-hal ghoib baru-baru ini sih." jawabku
"Hmmmm, mau coba ikut gw waktu nanganin pasien gak?" tawar Putra setelah berpikir sejenak
"Boleh kalo masnya bersedia." jawabku sambil tersenyum.
"Jangan panggil gw mas lagi Ram, gw gak biasa dengernya hahaha." ucap Putra
"Eh iya, keceplosan hehehe." balasku canggung.
Saat aku menoleh, ternyata Nadia dan kedua temannya masih melirik kearahku. Dari ekspresinya, sepertinya aku telah menjadi bahan topik pembicaraan mereka. Sepertinya figurku akan melekat di memori mereka dengan kesan yang memalukan.
"Terus untuk mahar belajar tenaga dalam berapa ya?" tanyaku dengan keraguan
"Hmmmm, nanti kita omongin setelah nanganin pasien aja." jawab Putra
"Emangnya pasiennya punya masalah apaan?" tanyaku penasaran
"Pasiennya bilang kalo dia kena santet, walau udah beberapa paranormal datang tapi ga sembuh-sembuh juga katanya." jawab Putra dengan jelas
"Waduh, kasusnya berat dong berarti?" tanyaku secara spontan
"Bisa dibilang iya, makanya gw sampe ngajak lo ikut haha." ucap Putra
Aku akhirnya sadar, bahwa Putra mengajakku dengan maksud dan tujuan untuk membantunya. Mungkin dia ingin memanfaatkanku juga, tetapi aku tidak mempermasalahkannya, soalnya ini kesempatan berharga bagiku untuk menambah pengalaman.
"Tiga hari dari sekarang lo ada waktu kosong gak?" tanya Putra
"Hmmm, kayaknya sih ada. Tapi takutnya lokasinya kejauhan dari sini, soalnya besok gw gak dikost-an lagi, gw udah balik ke rumah." jawabku dengan jelas
"Santai, ntar gw jemput ke rumah lo langsung." ucap Putra
"Oke deh, entar berkabar aja." balasku singkat
"Yaudah, kayaknya gw mau balik dulu nih. Lo mau barengan atau gimana?" ucap Putra sambil menaikkan alis matanya.
"Oke put, gw baliknya sendiri aja, soalnya gw bawa motor temen." balasku
"Yaudah, see you next time." ucap Putra sambil tersenyum lalu berjalan pergi menuju pintu keluar cafe.
Saat aku beranjak berdiri dan berniat untuk pergi pulang, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang memanggilku.
"Rama, boleh minta nomornya gak?" ucap Nadia sambil tersenyum memandangku.
"Emangnya buat apa ya?" tanyaku dengan polos
"Buat komunikasi dong, emangnya buat apa lagi? Hahaha." jawabnya sambil tertawa
"Ehmmm, 0821******* itu nomor gw, gw duluan ya." ucapku dengan cepat karena gugup dan malu akan kejadian yang tadi.
"Oke, hati-hati ya." balasnya dengan manis
Aku langsung cepat-cepat pergi keluar dari cafe dan langsung pergi pulang ke kost. Aku tak mau berlama-lama disana, sebab aku ingin menghindar karena masih sangat malu akan kejadian tadi.
Sesampainya di kost, seperti biasa aku langsung rebahan sambil memainkan handphoneku. Perlahan aku membuka pesan yang telah kukirim ke Adellia beberapa hari yang lalu. Tapi balasan pesan yang kuharapkan tak kunjung tiba.
Aku hanya bisa menghayal dan berspekulasi akan alasan dia tak membalas pesan dariku. Lagi dan lagi aku terjebak didalam ilusi yang dibentuk pikiranku sendiri.
Hingga akhirnya, tanpa sadar mataku mulai terpejam dan aku pun tertidur dengan nyenyak.
"Woi Ram!!! bangun woi!!!." teriak Steven sambil menggedor pintu.
Suara berisik yang dibuat Steven berhasil membuatku terbangun dari tidur nyenyakku. Tetapi aku masih merasa sangat ngantuk dan ingin melanjutkan tidurku lagi. Jadi aku mencoba sebisa mungkin untuk menghiraukan suara berisiknya.
"Woi kebo!!! lo pasti udah bangun kan!!!." teriak Steven sambil menggedor pintu tak henti-henti.
Tetapi sialnya suara yang dikeluarkan Steven benar-benar sangat mengganggu. Hingga membuatku merasa sangat kesal dan tak bisa melanjutkan tidurku.
"Berisik banget lo kampret!!!" teriakku kesal seraya beranjak dari tempat tidur.
"Hahahahaha, ga bisa lanjut ngebo ya lo." balasnya sambil tertawa terbahak-bahak.
Sebenarnya badanku masih terasa pegal, begitu juga dengan mataku yang masih ingin melanjutkan tidur. Tetapi aku menyadari, kalau aku harus pergi pulang ke rumah hari ini. Dengan terpaksa, aku harus bangun dan bersiap-siap secepatnya, sebab Steven sudah menungguku.
"Iyaa, gw siap-siap dulu dah." balasku setelah membuka pintu sambil menggaruk kepala.
"Yaudah, gw tungguin. Jangan kelamaan nyabunnya ya haha." ucap Steven sambil tertawa
"Sini otak lo yang gw sabunin, biar ga mikir mesum mulu." balasku
"Hahaha, cepet mandi gih." ucapnya sambil mendorongku ke arah kamar mandi.
Setelah selesai bersiap-siap dan membereskan kamarku, kami langsung pergi pulang menggunakan mobil Steven. Seperti biasanya, diperjalanan kami hanya berbincang santai sambil sesekali bercanda. Sampai beberapa saat kemudian, akhirnya kami telah sampai didepan rumahku.
"Jangan lupa ntar KRSnya barengan ya Ram." ucap Steven
"Iyee, saling berkabar aja ntar. Gw masuk duluan yak, hati-hati di jalan." balasku
"Oke, jangan kelamaan galau gegara Adel yak, hahahaha." ucap Steven jahil.
"Bacotttt." balasku singkat sambil mengetuk pintu dan menunggu orangtuaku membuka pintu rumah.
Steven lalu mengedipkan matanya, seraya berkata "Gw pergi dulu ya, babay."
"Pergi cepet sono!." balasku bercanda sambil menggelengkan kepalaku.
Hingga beberapa saat kemudian, Ibuku membuka pintu rumah dan langsung memelukku dengan erat.
"Mama udah kangen nih." ucap ibuku.
"Baru juga beberapa bulan ma, omong-omong bapak lagi ngapain?" ucapku sambil tersenyum
Dari kecil, aku sudah terbiasa memanggil ayahku dengan panggilan bapak sedangkan ibuku dengan panggilan mama. Mungkin karena latar belakang kedua orang tuaku yang berbeda membuatku terbiasa memanggil mereka sesuai dengan lingkungan asalnya. Walau terasa aneh, aku sudah terbiasa begitu, jadi aku akan merasa canggung jika menggunakan panggilan yang lain.
"Biasa, lagi nonton tv tuh." balas ibuku.
"Kamu keliatan makin kurus nih, pasti makannya gak teratur yaa." tambah ibuku seraya mengernyitkan dahinya.
"Bukan gak teratur makan ma, tapi karena kecapean kuliahnya." balasku
"Ah masa iya? Bukannya sibuk main game mulu nih?" tanya ibuku dengan nada jahil.
"Sibuk dua-duanya sih." balasku sambil tersenyum kecil.
"Hahaha, masuk ke dalam gih." ucap ibuku sambil tertawa melihat responku.
"Aku masuk ke kamar dulu ya ma, mau beres-beres." ucapku
"Iya, habis itu langsung makan ya, di meja udah disiapin." balas ibuku.
"Oke ma." balasku singkat lalu pergi menuju kamarku
Sebelum sampai ke kamar, aku bertemu ayahku di ruang tamu yang sedang asik menonton televisi.
"Pak, Rama udah pulang." ucapku pelan
Ayahku langsung menoleh dan memandangku dari ujung kaki sampai kepala seraya berkata, "Ohh, udah makan belum?" tanya Ayahku
"Tadi udah makan dikit, sekarang mau beres-beres dulu." balasku secara perlahan.
Ayahku hanya meresponku dengan mengangguk kecil lalu melanjutkan perhatiannya ke layar televisi.
Bisa dibilang sebenarnya aku tidak akrab dengan ayahku, kami hanya berkomunikasi apa adanya. Dulunya aku lebih terbuka dan suka bercerita kepada ibuku. Tetapi seiring aku bertumbuh dewasa, aku mulai menjadi semakin pendiam dan tidak menceritakan masalah yang kualami kepada siapapun.
Biasanya saat dirumah, aku lebih banyak menghabiskan waktuku didalam kamar. Aku lebih suka bermain game dan membaca komik untuk menghabiskan waktu luangku.
Saat didalam kamar, aku berpikir kamarku sudah lama kosong dan tidak dipakai. Aku jadi berpikir, apa sudah ada makhluk halus yang menempati kamarku ini?. Selain itu aku juga mulai penasaran dan ingin tahu akan entitas apa yang sebenarnya menghuni rumahku. Tanpa basa-basi aku langsung mengaktifkan mata ketigaku dan mulai mengecek sekitarku dengan antusias.
Setelah mengaktifkan mata ketigaku, ternyata didalam kamar aku tidak menemukan entitas apapun yang menghuninya. Tak mau berhenti disitu saja, aku pun mulai keluar dari kamar dan mengecek satu persatu dari setiap sudut yang ada di rumahku.
Hingga saat di ruang tamu, akhirnya aku melihat entitas yang berwujud manusia yang sangat kekar dan tinggi dengan wajah yang sangat sangar. Dia tampak seperti pendekar yang tidak memakai atasan dan hanya memakai bawahan berupa kain berwarna cokelat. Dia membawa sebuah keris yang sangat panjang ditangannya.
Dia berdiri dibelakang Ayahku dengan posisi tegap dengan memancarkan aura yang sangat kuat. Sejauh ini, aku merasa aura yang dikeluarkannya jauh lebih kuat dari yang dikeluarkan oleh Lala dan pria berjubah merah.
Saat aku menatapnya, ternyata dia menyadarinya dan membalas tatapanku. Ketika tatapan kedua mata kami bertemu, aku mulai merasakan bahwa dia tak memiliki niat yang buruk sama sekali. Aku menduga, bahwa dia adalah entitas yang menjaga Ayahku. Tapi aku sungguh tak menyangka bahwa Ayahku memiliki entitas sekuat ini yang menaunginya.
Beberapa saat, aku hanya diam dan saling bertatap-tatapan dengannya. Di benakku, aku memiliki banyak sekali pertanyaan yang ingin kutanyakan kepadanya, tetapi aku ragu untuk menanyakannya. Hingga pada akhirnya Ayahku menoleh dan memandangku dengan heran disertai raut wajah yang penuh tanya.
Lalu sesaat kemudian, tiba-tiba Ayahku mulai bersuara.
"Kamu bisa ngelihat dia ya?" tanya Ayahku dengan raut wajah serius
Bersambung....