webnovel

Pertemuan bencana

Evan meletakan gelas miliknya dan memandang Gabriel dengan penuh keseriusan. Ia tahu betul bagaimana akar permusuhan yang terjadi di antara ketiga benua dan ia mulai mengetahui maksud kedatangan Gabriel kepadanya.

"Perang? Apakah itu benar-benar akan terjadi?" tanya Evan, tertawa kecil menanggapi pertanyaan Gabriel.

"Kau sama sekali tidak tahu apa yang kuketahui," ungkap Gabriel.

Suasana berubah dari semula hangat menjadi tegang dan penuh dengan keseriusan. Gabriel tidak ingin malaikat pergi berperang melawan Evan, pemuda itu sudah memiliki kekuatan yang hampir menyamai kekuatan malaikat agung.

"Jadi, kau bisa melihat masa depan?" tanya Evan, Gabriel mengangguk.

"Lalu apa kau bisa memberitahuku siapa yang memenangkan peperangan?" tanya kembali Evan, tubuhnya terangkat condong menghadap Gabriel.

Gabriel tertawa dengan keras, tawanya hingga membuat gelas kaca yang berada di atas meja berjatuhan. Mata tajam miliknya segera memandang Evan dan memberikan sebuah citraan dari masa depan yang ia lihat.

"Jika aku memberitahumu siapa pemenang perang. Apa kau akan menerima tawaranku untuk pergi membela para malaikat?" tanya Gabriel, suaranya terdengar menggema hingga membuat hati Evan gelisah.

"A-Aku...." Perkataan Evan terhenti, pikirannya dilanda kebingungan atas pilihan yang terjadi padanya.

Ia sungguh ingin melihat perang besar seperti apa, begitu juga dengan pemenang perang. Namun, jika pilihannya adalah membela malaikat, maka ia tidak punya pilihan lain selain menolak ajakan dari Gabriel.

"Dengan mataku, aku akan membawamu ke masa depan dengan secepat kilat. Bagaimana?" tanya Gabriel.

Kedua mata Evan terpejam dan ia terlihat menggelengkan kepalanya. Gabriel terkejut melihat respon yang ditunjukan pemuda tersebut.

"Baiklah. Itu akan menjadi kesempatanmu yang terakhir," ungkap Gabriel.

"Aku akan menghadapi misteri itu sendiri, dengan kekuatan dan kemampuan yang Jophiel berikan padaku." Evan membukakan kedua matanya dan segera berdiri dari sofa single tersebut. Gabriel mengikuti dan segera menggulung kembali kertas yang tengah ia genggam.

Seketika dimensi waktu yang berhenti di tempat keduanya kembali berjalan, burung-burung yang sedari tadi melayang beku kini bisa mengepakkan sayapnya dan pergi dengan riang seolah tak terjadi apa-apa.

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Siapa yang akan kau bela di perang nanti?" tanya Gabriel, memastikan untuk terakhir kali.

Evan memejamkan matanya dan menarik napas panjang. Ia benar-benar sudah yakin dengan keputusan yang akan ia ambil.

"Aku akan berperang untuk diriku sendiri. Aku tidak akan terlibat dengan ras mana pun, bahkan manusia," ungkap Evan, ia memilih netral karena tujuan yang ia ambil tak lain adalah kedamaian di dunia ini.

Gabriel tertawa lantang, bahkan suaranya hingga menggetarkan pepohonan yang berdiri menjulang di sekitar rumah.

"Naif! Sifat dasar manusia ketika ia belum mengalami kegagalan dan pengkhianatan," hina Gabriel.

"Kau tidak tahu aku yang sebenarnya."

"Aku tahu!" balas Gabriel, ia berjalan melewati Evan dengan wajahnya yang tegas.

Tiba-tiba sayap putih yang cukup besar muncul dari punggung Gabriel, besarnya hampir menyamai panjang atap dari sisi ke sisi. Evan tak terkejut, ia sudah sering melihat sayap putih di sela-sela latihannya.

"Kau harus memilih. Jika tidak, kaulah yang akan terbunuh lebih dulu," ungkap Gabriel, pria itu terbang melesat secepat cahaya hingga Evan tidak bisa mengikuti kepergian Gabriel.

Evan menyimpan ucapan Gabriel tersebut. Ia harus tetap waspada karena dirinya bisa menjadi sasaran empuk karena ketidakberpihakan dirinya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Evan?" tanya Jophiel, berjalan ke atap dengan hanya mengenakan piyama tidurnya.

Pemuda itu berbalik badan dan menoleh ke arah Jophiel. Sembari tersenyum, ia mengatakan kalau dirinya sedang mencari angin malam itu.

"Masuklah, di luar sana sangat dingin."

"Aku akan segera masuk," ucap Evan.

Setelah puas memandangi bentang alam di depannya, pemuda itu beranjak masuk dan tidur. Ia belum menceritakan pertemuannya dengan Gabriel kepada Jophiel, mungkin dia tidak akan pernah mengatakannya.

***

Evan terbangun karena wangi sedap masakan yang menyeruak masuk kamarnya. Tubuhnya entah kenapa begitu berat diangkat dan terasa cukup letih, ia berpikir apakah rasa lelahnya disebabkan oleh pembicaraan semalam?

"Aku tidak pernah seletih ini selama latihan," ucap Evan, lirih.

Benar saja, ia tidak bisa beranjak dari atas kasur, hanya bisa berharap pada Jophiel yang datang menghampirinya.

Sekitar lima belas menit Evan menunggu, akhirnya pintu kamar Evan terbuka dan terlihat Jophiel datang dengan pakaian kasual dan celemek berwarna ungu yang tengah dikenakannya.

"Aku tidak melatih seorang pemalas!" kesal Jophiel.

"Aku sudah bangun, tetapi tubuhku terasa cukup berat untuk diangkat," balas Evan, mengeluh.

"Benarkah?" Jophiel berjalan mendekat dan menjulurkan tangannya di atas dadaku, matanya terpejam dan terlihat wanita itu beberapa kali menarik napas, "Energimu hilang, apa yang kau lakukan semalam?"

"Tidak ada."

"Apa kau lupa kalau aku bisa membaca raut wajah seseorang yang berbohong?" tanya Jophiel.

Pandangannya sungguh membuat Evan tak berdaya, selain wajahnya yang cantik, matanya sangat membius pemuda tersebut untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Iya, aku masih ingat itu."

"Semalam aku bertemu dengan Gabriel di atap," sambung Evan, datar.

"Gabriel? Apa yang kalian berdua bicarakan di sana?" tanya Jophiel, terkejut.

Sepengetahuan Jophiel, Gabriel tidak akan datang ke sembarang orang. Hanya beberapa orang terpilih yang ia datangi dan Evan bukan salah satu dari orang terpilih tersebut.

"Banyak hal," ucap Evan.

Jophiel memegang tangan Evan, terasa begitu dingin seperti mayat. Ia langsung bertanya kepada Evan tentang kemampuan yang dimiliki Gabriel.

"Apa kau berada di dalam dimensi waktu yang terhenti?" tanya Jophiel, memastikan.

Evan berdeham, Jophiel juga banyak bertanya tentang kemungkinan yang terjadi pada diri Evan akibat pertemuan tersebut.

"Aku juga melihat kedua matanya secara langsung, bahkan ketika pupil mata pria itu bercahaya berwarna biru."

"Aku tidak terlalu banyak tahu tentang Gabriel, tetapi pria itu pasti memiliki kaitannya dengan penyebab kelumpuhanmu," ujar Jophiel.

Jophiel berjalan dengan langkah cepat menuju dapur dan mengambil ramuan herbal buatan Raphael yang masih tersisa. Evan sungguh syok mendengar kalau dirinya lumpuh hanya karena tidur terlalu larut semalam.

Jophiel datang dan segera membantu Evan meminum ramuan herbal tersebut. Pemuda itu menghabiskan semuanya dan kini tubuhnya bisa bergerak sepenuhnya, berdiri dan berlari. Namun, kekuatan besar yang ia miliki tidak dapat ia gunakan karena energi yang tidak mencukupi.

"Bisakah kau meminta Raphael mengirimkan obat ini lagi?" tanya Evan, Jophiel menggelengkan kepala.

"Jalan satu-satunya adalah bertemu dengan Gabriel dan memintanya mengembalikan energimu yang terjebak di dimensi waktu," ucap Jophiel, tegas.

Kesedihan melanda wanita itu, ia tidak ingin berpisah dengan Evan. Namun, ini satu-satunya cara yang ia miliki untuk menyelamatkan hidup Evan. Jophiel mengubah pakaiannya dan kini penampilannya begitu cantik dan anggun mengenakan gaun berwarna putih.

"Tinggallah di sini. Aku akan segera kembali," ucap Jophiel, Evan menggangguk pelan seraya tersenyum.

Jophiel membalas senyuman itu dengan lambaian tangan pelan sebelum kepakkan sayap putih miliknya membawa wanita itu pergi ke kahyangan. Kini, Evan ditinggal seorang diri di tempat tersebut dengan kekuatan yang tak ia miliki.

Kini ia hanya berharap kalau Jophiel berhasil membujuk Gabriel untuk mengembalikan energinya yang terjebak di dimensi waktu. Jika tidak, maka ia tidak tahu akan melakukan apa ke depannya.

Hanya membutuhkan lima menit untuk Jophiel bisa sampai di kahyangan. Ia bertemu dengan banyak malaikat dan beberapa malaikat agung, salah satunya Uriel dan Kamael.

"Ada apa kau kemari, Jophiel?" tanya Kamael.

"Aku mencari Gabriel. Di mana pria itu?" tanya Jophiel, tegas.

Uriel menunjuk gedung megah berlapiskan marmer putih dengan ukuran tinggi sekitar 50 meter. Pilar-pilar besar dan kokoh membuat kenangan Jophiel ketika terusir dari tempat ini terbayang jelas.

Jophiel membuka pintu istana dengan kencang, sontak semua malaikat agung yang berada di dalamnya terkejut, terkecuali Gabriel.

"Apa yang kau lakukan di sini, Jophiel?!" bentak Michael, kesal.

"Diam kau! Aku ada urusan penting dengan Gabriel."

Jophiel berjalan dengan langkah tegap menghampiri Gabriel, pemimpin para malaikat. Raphael menghalangi langkah Jophiel dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

Raphael terus menerus menenangkan emosi Jophiel agar tidak menggebu-gebu, tetapi itu mustahil ketika pria yang ia sayangi tersiksa di bawah sana.

"Kembalikan energi milik Evan! Itu bukan sesuatu yang bisa kau ambil seenaknya."

Bab berikutnya