webnovel

NIAR: Tanggung Jawab Leher Vian

NIAR: Tanggung Jawab Leher Vian

Hahahaha....

Makin tawa mereka menjadi. Bahkan kakak ku hingga terpingkal dan terlihat puas sekali. Sementara suami ku, dia mulai terlihat salah tingkah dengan berusaha mengalihkan pandangannya. Kemudian berkali-kali menelan ludahnya dan sesekali memegangi lehernya. Nampak malu namun juga nampak gemas.

Sedang aku...

Santai saja!

Ketimbang aku semakin di goda! Lebih baik ku layani saja agar mereka lekas berhenti. Dan tidak terlihat semakin mempermalukan diriku sendiri.

Hingga waktu berlalu beberapa menit. Tepat usai maghrib berlalu dan selesai pula kami berjamaah. Berpamitan sudah mereka semua dari rumah ini.

Namun masih saja kakak ku tidak mau berhenti menggoda.

"Itu jangan lupa lehernya kamu habiskan! Ya!" Ucap kak Nana.

"Iya... Kakak tidak perlu khawatir karena aku akan menghabiskan SEMUANYA. Hingga tak tersisa. Puas!" Jawab ku yang kemudian lagi membuat kak Nana dan yang lain tertawa.

"Bagus! Hahaha"

Hemp!

"Sampai jumpa!" Pamit mereka bersautan.

"Sampai jumpa. Hem!" Balas ku dan dokter Vian berbarengan.

Lekas aku dan dokter Vian menutup pintu.

Akhirnya. Tenang juga rumah ini!

Masuklah kami ke dalam. Berharap agar bisa lekas beristirahat. Namun urung ketika aku dan dokter Vian baru sadar bahwa masih ada yang harus kami selesaikan.

Kami menghela napas panjang. Sejenak saling memandang untuk kemudian melihat lagi kacaunya rumah kami.

"Mau cuci piring atau mengepel?" Tawar dokter Vian.

"Dua-dua nya. Hemp!" Jawab ku sembari menghela napas panjang lagi.

"Baiklah... Aku yang mengepel. Kamu yang cuci piring. Bagaimana?" Tawar dokter Vian.

Aku mengangguk.

Jadilah aku mengemas banyaknya piring kotor. Sementara dokter Vian mulai menata dan merapihkan ruang tengah. Telah di bawanya sebuah sapu dan alat pel. Bahkan juga sebuah kain pembersih yang ia gantungkan di bahu kirinya.

Hemp! Sudah tidak terlihat seperti dokter ya suami ku ini. Sudah terlihat lebih seperti asisten rumah tangga yang memiliki kekuatan super. Pada alat sapu dan juga alat pel yang ia bawa

Hihihi.

Sementara aku lanjut menyelesaikan semua piring dan wadah kotor ini. Sesekali ku perhatikan dokter Vian yang begitu asik dan pandai sekali beberes rumah. Sungguh, harus ku akui, untuk seorang laki-laki, dokter Vian benar-benar sangat pandai melakukan pekerjaan rumah tangga.

Waaa... Bisa esok-esok dia ku minta untuk membantu ku.

Lekas aku menyelesaikan pekerjaan ku. Sembari sesekali masih aku mencuri pandang ke arah dokter Vian. Namun tentu saja dengan lekas aku memalingkan pandangan ku darinya sebab takut ketahuan.

Beberapa menit kemudian, dokter Vian nampaknya selesai terlebih dahulu. Sementara aku masih tinggal beberapa wadah lagi. Dan ia pun mulai datang mendekat ke arah ku. Di ambilnya segelas air lalu dilihatnya sebuah panci berisi sisa beberapa potong ayam yang tadi ibu buatkan.

"Dokter Vian ingin makan lagi?" Tanyaku.

"Agh... Tidak... Hanya ingin lihat saja. Potongan leher yang kamu suka" Jawabnya menggoda ku.

Hagh? Astaga!

Haish! Sekarang berganti suami ku sendiri yang nampaknya hendak menggoda ku.

Hemp!

"Tadi kenapa kamu berkata seperti itu?Aku jadi malu pada yang lain" Katanya tiba-tiba.

"Hem! Saya pikir jika semakin malu-malu akan semakin mempermalukan diri sendiri" Jawab ku.

"Iya sih... Tapi... Hemp! Sekarang! Aku jadi!" Ucapnya sembari menggeliat memegangi sebagian lehernya.

Aaaa! Benarkan! Mau menggoda ku lagi rupanya suami ku ini. Baiklah! Sebelum dia menggoda ku, biar aku dulu yang menggodanya.

Hahaha

Lalu ku lihat dokter Vian yang semakin mendekat benar-benar hendak menggoda ku. Ku ambil sponge berbusa yang tadi ku gunakan untuk mencuci piring. Belum sadar pula dirinya bahwa aku hendak menjahilinya sekarang. Tepat ketika ia telah berada di dekat ku dengan raut wajah jahilnya pula. Seketika aku langsung mengoleskan sponge berbusa tadi ke leher kirinya.

"HEY!" Tegur dokter berhasil ku buat kesal.

Ku lempar sponge tadi lalu aku berjalan cepat mengitari seisi rumah.

"Hey! Berani ya sekarang pada suami!" Tambah dokter Vian sembari mengikuti ku.

Dengan raut wajah ku yang tak berdosa. Juga senyum kejahilan ku. Aku mempercepat langkah kaki ku memutari ruang tamu hingga ruang tengah lalu kembali ke dapur.

"Hihihi" Tawa ku sembari mencuri pandang ke arah dokter Vian.

"Heh! Jangan lari ya! Hey! Niar!" Tambahnya lagi yang sadar bahwa aku hendak mengajaknya bercanda.

Semakin dokter Vian mendekat dan mengejar ku hingga nyaris di raihnya lengan ku. Ku putuskan untuk berlari kecil menghindarinya. Namun lari dokter Vian nampaknya lebih cepat hingga akhirnya dia bisa menyudutkan aku di daun pintu ruang tamu.

"He he... Tidak bisa kabur lagi! Hayo!"

"Hehehe! Ampun, Dokter! Maaf! Saya hanya bercanda" Jawab ku sembari menyembunyikan wajah ini.

"Hemp! Bercanda? Ini leher ku tanggung jawab siapa?"

"Saya!" Jawab ku dengan ringannya.

"Ku balas ya!" Tambah dokter Vian.

"Jangan, donk! Hahaha"

"Tidak bisa! Aku harus membalasnya!"

"Jangan, Dokter!" Rengek ku manja.

Hingga ku temukan sedikit celah untuk menghindari dokter Vian lagi. Tepat di sela-sela tangan kanan dokter Vian. Aku mencoba kabur namun dengan cepat dokter Vian meraih tubuh ku. Lalu mengoyaknya.

"Aaaaa... Ampun, Dokter! Ampun! Hahaha" Pinta ku menahan geli juga mencoba menepis kedua tangannya.

"Ahahaha...." Tawa dokter Vian bersama ku.

Jadilah aku berdada dalam rangkulan dokter Vian. Sementara ia terus mencoba menggelitik ku. Aku pun menggeliat menahan geli. Mencoba menangkis dan melawan kedua tangannya yang saat ini memenuhi sebagian tubuhku.

Lalu tepat di perlawanan terakhir ku. Aku menangkis tangan dokter Vian hingga membuat kedua tangan dokter Vian berada tepat di atas dada ku. Seketika candaan kami ini langsung terhenti. Jadilah kami salah tingkah.

"Ma, maaf... Maaf! Maaf! Maaf! Aku, aku, aku tidak bermaksud kurang ajar! Maaf, maaf, Maaf, Niar! Maaf!" Ucapnya sembari menjauh dan mengangkat kedua tangannya.

"Iya... Tidak apa, Dokter" Jawab ku yang juga salah tingkah. Dengan ku tundukkan pandangan ku seolah menahan malu, terkejut. Namun juga... Ya Bagaimana ya?

"Maaf, Niar! Ja, jangan marah ya! Maaf! Aku benar-benar tidak sengaja! Maaf ya! Maaf sekali!" Tambah dokter Vian penuh penekanan.

Saat itu lah ku lihat kedua bola mata dokter Vian. Yang nampaknya ia benar-benar merasa bersalah. Mengertilah aku mengapa hingga detik ini ia belum juga menyentuh ku. Padahal kami sudah tidur seranjang namun ia tetap berusaha untuk tidak bersikap egois.

"Maaf ya, Niar! Maaf sekali! Tidak akan terulang! Sungguh! Maaf ya" Katanya mengulang maaf.

"Dokter Vian!" Panggil ku hendak mengingatkannya. "Saya istri Anda. Anda sedang tidak berbuat kesalahan. Lagi... Anda harus mengulanginya walau tidak saat ini" Tambah ku.

Masuk aku ke dalam kamar kami. Selang beberapa menit dokter Vian pun menyusul ku. Lalu ia menutup pintu.

Bab berikutnya