webnovel

33. Dua Remaja

"Siapa tadi?" tanya Genta kala tak sengaja berpapasan dengan seorang pria dengan wajah yang asing. "Di lihat dari jasnya dan caranya berpakaian, dia pasti orang yang terhormat dan kaya," imbuhnya. Duduk di sisi Rumi, tetapi pandangan mata tertuju pada pria asing itu. Genta melihatnya dengan jelas, menyebrang jalan lalu masuk ke dalam mobil mewah.

Selepas dia pergi, matanya kembali pada Rumi. Gadis itu nampaknya tak asing dengan pria yang baru saja datang. Tatapannya seakan tak ingin pria itu pergi dari hadapannya. "Dia teman lo?" tanya Genta dengan acak. Random. Pertanyaannya benar-benar konyol. Melihat usia mereka berdua pasti jauh berbeda. Akan lebih nyaman jika Genta menyebutnya dengan paman Rumi.

Genta menepuk pundaknya. Membuat fokus Rumi buyar begitu saja. "Kenapa begitu fokus dengan kepergiannya?" tanya Genta terkekeh ringan. "Dia paman lo?"

Rumi ber-huh ringan, mengangkat kedua sisi alisnya. Sejenak diam, berpikir. Tentu saja, Genta pasti melihatnya berbicara dengan Mr. Pitter.

"Gue bertanya sama lo, Rumi." Genta mengulang. Tak mau kehilangan jawabannya. Dia baru mencoba untuk akrab dengan Rumi. Bahkan dia tak tahu, siapa dan seperti apa wajah kedua orang tua Rumi yang asli. Dia juga tak tahu sedikit atau sepenggal kisah milik gadis malang ini.

"Orang tanya arah," ucapnya mengarang. Hanya alasan itu yang ada di dalam kepalanya. Tak ada yang lain, yang lebih masuk akal. "Dia datang dan tanya arah ke mall pusat kota. Jadi aku bilang pergi ke arah sana," ujarnya mengimbuhkan. Mencoba membuat Genta percaya. Meksipun dia tahu, sulit untuk membohongi orang dengan otak encer penuh logika yang berjalan dengan baik.

"Dia bukan orang Jakarta." Rumi mengimbuhkan lagi kala Genta hanya diam. "Dia baru datang beberapa—" Tawa milik Genta menghentikan kalimatnya. Rumi mengerutkan keningnya samar. Tak mengerti dengan tawa yang baru saja diberikan oleh Genta padanya.

"Gue percaya. Gak perlu menjelaskan lebih detail," katanya pada akhirnya. Kebohongan yang mulus! Rumi bisa bernapas lega.

"Wajah lo," ujar Genta tiba-tiba. Rumi yang baru saja ingin menundukkan kepalanya, kembali mendongak. Tak jadi menatap jari jemarinya yang saling bertautan. "Hadap sini." Genta kembali memerintah. Namun, Rumi masih kaku di tempatnya. Dia hanya menoleh, tak mau mendekat seperti yang Genta perintahkan.

Genta tersenyum tipis. Dia yang harus datang pada Rumi rupanya. Pemuda itu bergeser. Menarik kedua sisi bahu Rumi, untuk berhadapan dengannya. Sedangkan gadis itu benar-benar kikuk sekarang. Kaku, bergeming di tempatnya.

Jari telunjuk dan ibu jari Genta mengapit dagu lancip milik Rumi. Mendekatkan wajahnya. Mengamati luka lebam dan goresan tipis di sudut bibir ranum milik gadis itu. Perlahan, dia mendekatkan bibirnya. Rumi mundur, tak mau! Dia mendorong dada bidang Genta kemudian. "Apa yang ...." Rumi gagap. Mengulum salivanya dengan berat. "Ini tempat umum," imbuhnya melirih. Menunduk malu.

Genta menatapnya. Tertawa geli kemudian. "Lo terlalu banyak nonton drama Korea." Genta kembali menarik wajah Rumi. Membawanya pada posisi yang sama. "Gue cuma ingin melihat lukanya dari dekat. Lukanya mungkin akan sedikit perih kalau terkena salepnya nanti," imbuh pemuda itu menjelaskan singkat. "Gue akan mengoleskan itu tipis. Jadi tahan sebentar rasa perihnya."

Rumi hanya diam, menurut. Tak berucap apapun. Sekarang Genta mulai sibuk dengan aktivitasnya. Mengambil salep luka dan mengeluarkan isinya di ujung jari. Kembali menoleh pada Rumi. Menarik dagunya perlahan.

Dari dekat, Rumi melihat sepasang mata teduh yang begitu nyaman untuk dipandang. Dia tak pernah tahu, kalau Genta punya wajah yang begitu tampan. Sejauh berteman dengannya, Rumi tak pernah berani menatapnya secara langsung apalagi dari jarak yang amat dekat seperti sekarang. Genta memiringkan kepalanya. Semakin intens mendekatkan wajahnya pada Rumi. Fokus dengan luka di sudut bibirnya.

"Kenapa lo bisa luka kayak gini?" tanyanya tiba-tiba dengan lirih. Sebab jarak yang begitu intim, Rumi bisa mendengar itu. "Lo pikir gue percaya kalau ini karena kena bola?" Genta menaikkan pandangan matanya sejenak. Kedua bola mata itu bertemu dengan sepasang mata pekat milik Rumi. Saling pandang satu sama lain dalam diam. Sebelum akhirnya Rumi memalingkan wajahnya. Tak kuat jika terus menatap Genta dalam jarak beberapa centimeter saja.

"Siapa yang memukul lo?" tanyanya. Menarik lagi wajah Rumi. Dia belum selesai mengobati luka Rumi. "Lo bertengkar dengan Ocha?"

"Ocha?" tanya Rumi tak mengerti.

"Gadis yang ada di dalam video mesum dengan Gilang. Namanya adalah Ocha. Teman dekatnya selama beberapa bulan terakhir."

Rumi tersenyum kecut. "Lo menyelidikinya?"

Genta diam sejenak. Menghentikan aktivitas. Melirik Rumi kemudian berdehem ringan sembari mengangguk. "Hm, gue menyelidiki semuanya."

Rumi menghela napasnya. "Hati gue benar-benar sakit." Gadis itu memulai. Genta sudah selesai mengobati lukanya. Kini remaja itu kembali menarik wajahnya menjauh. Duduk dengan posisi yang wajar. "Gue kira semuanya akan baik-baik saja, tetapi gue salah. Rasanya masih menyesakkan."

Genta tersenyum tipis. "Menangislah sepuasnya, tetapi jangan menyesali apapun. Rasakan rasa sakitnya, tetapi jangan sampai tenggelam di dalam sana. Itu yang harus lo terapkan. Gilang bukan orang yang tepat, Rumi."

Rumi tersenyum kecut. "Setidaknya Tuhan masih menyayangi gue dengan memberikan fakta ini lebih awal. Setidaknya rasa sakit tidak akan berlarut-larut." Gadis itu menutup kalimatnya dengan senyum.

"Ngomong-ngomong soal pria yang datang dari gerbang belakang sekolah waktu itu," sahut Genta mengubah topik pembicaraan.

Rumi menoleh. "Mr. Tonny?"

"Dia siapa?" Genta mengerutkan keningnya. "Aku sesekali melihatnya mengawasi di luar gerbang sekolah. Kenapa lo bisa mengenal pria itu?"

Sial! Dia tidak benar-benar ahli dalam mengintai rupanya.

... Bersambung ...

Bab berikutnya