"Abraham. Kenapa kamu selalu patuh kepada Shem? Bahkan merelakan nyawamu sendiri? tanyaku penasaran. Karena ada juga orang sesetia Abraham?
"Karena aku berhutang nyawa kepada Raja. Jika aku tidak dipungut beliau, aku tidak akan menjadi seperti ini, dan aku akan selamanya menjadi gembel" jawabnya.
"Lalu kenapa sampai kamu menuruti Shem? Padahal bertentangan dengan perintah Raja? Bukankah kamu berhutang nyawa kepada Raja? Bukannya Shem? Karena saat kamu masih kecil, tentu Shem juga masih kecil. Jadi tak mungkin kamu berhutang budi kepada Shem?"
"Raja sudah memerintahkan aku selalu mendampingi Tuan Shem, dan aku dilerintah akmgar selalu mematuhi perintah Tuan Shem, maka aku tak harus mematuhi Raja. Aku hanya patuh pada Tuan Shem."
"Oh ya? Prinsip kesetiaanmu sangat luar biasa Abraham, aku sangat kagum. Padahal bisa saja kamu menggorok leherku ini kapanpun agar kamu mendapat penghargaan dan nama dari Raja Theophylus? Tapi kamu tak melakukannya," kata Masyayel.
"Tidak mungkin Nona, anda adalah gadis yang dicintai Tuanku. Saya harus menjagamu seperti menjaga dirinya. Melebihi diriku sendiri. Bahkan aku telah disumpah untuk merelakan dalam kematian untuk melindungi dirinya,"
"Kamu Panglima Perang yang hebat, kamu pelindung kerajaan yang setia kepada Tuanmu. Yang ada dalam otakmu hanya ada Tuanmu. Tuanmu dan Tuanmu, apa kamu pernah memikirkan cinta? Seperti yang dirasakan Tuanmu?" tanya Masyayel lebih dalam.
"Tidak Nona," jawabnya tegas
"Pernahkan kamu memikirkan perempuan sepintas saja? Bukankah semua lelaki membutuhkan perempuan dan cinta Abraham?"
"Untuk saya tidak Nona, saya hiduo hanya untuk Tuan Shem. Bukan yang lain,"
"Sungguh tidak pernah terlintas perempuan di hatimu?" tanyanya dan Abraham tetap pada jawabannya. Dia menggeleng tegas. Menandakan ia tak pernah memikirkan perempuan.
"Sungguh aneh Abraham. Apakah Shem melarangmu mendekati perempuan? Apakah sekalipun kamu tak pernah bermain perempuan? Tawanan perang yang cantik-cantik misalnya?" cecar Masyayel dan Abraham tetap menggelengkan kepalanya.
"Kita telah sampai Nona, ini lahan jerami. Kita akan selalu latihan disini setiap hari. Dan setelah seminggu latihan, maka pangeran sendiri yang akan mengujimu. Cepatlah mahir Nona. Agar aku tidak kena marah," jelasnya.
"Mukamu tak pernah tersenyum. Kau selalu serius Abraham? Hehehe. Kalau dia berani memarahi guru pedangku. Akan aku jewer telinga Tuanmu itu." Masyayel sambil terkekeh kecil.
Abraham mulai mengenalkan jenis-jenis pedang dan berbagai bentuk pedang dari buku bergambar yang ia bawa. setelah itu dia menjelaskan juga dasar-dasar cara menggunakan pedang, teori dan pemakaiannya dalam tahap awal.dan ringan terlebih dahulu. Dia mengajari cara memegang pedang dalam berbagai posisi. Posisi berdiri, posisi duduk, posisi dengan kuda-kuda, posisi menyerang dan posisi ke atas, bawah dan samping. Semua dengan telaten ia ajarkan kepada Masyayel. Ia tak ingin ada yang terlewat sedikitpun.
Hari ini adalah hari kedua mereka berlatih pedang, Masyayel semakin bersemangat karena dia sangat senang dengan pengajaran Abraham yang sangat jelas dan sabar itu, ia sungguh tidak menyangka bahwa Seorang Panglima atau Pangeran yang mempunyai sisi kebengisan dan jiwa pembantai musuh memiliki sisi kelembutan juga, ia merasakan Shem yang bisa lembut kepada dirinya dan sekarang Abraham yang selalu lembut juga kepadanya, Abraham juga selalu menghormati dirinya. Padahal dia sekarang sudah memiliki status yang rendah. Hanya sebagau seorang pelayan, namun Abraham tetap memperlalukan dirinya dengan sopan dan terhormat tetap sebagai seorang Putri Kerajaan.
Berulang kali Masyayel melakukan kesalahan teknik atau hal-hal kecil lainnya, namun Abraham tidak pernah memarahinya. Kadang dia malah tersenyum melihat kesalahan dan kelucuan daei gerakan gadis itu yang cukup aneh dalam memainkan pedang.
"Biasanya butuh waktu berapa lama untuk seorang gadis menguasai pedang?" tanyaku saat istirahat latihan.
"Tergantung Taluan Putri, jika semakin ingat dengan semua pengajaran, maka akan semakin cepat dia menguasainya,"
"Bagaimana dengan tipikal gadis sepertiku?"
"Anda baru dua hari berlatih, belum ada yang bisa menjawab pertanyaan anda, tapi sepertinya Tuan Putri belum pernah memegang pedang selama hidup anda? Jadi membutuhkan waktu yang cukup lama."
"Humm ... Kapan Shem akan pulang ke istana?"
"Pangeran tidak mengatakan kapan dia akan pulang, jadi saya tidak tahu,"
Selama ada Abraham yang menjagaku karena Shem, aku masih merasa tenang dengan keselamatanku. Abraham kembali memberikan aku pedang karena waktu istirahat telah usai.
"Mari kita lanjutkan lagi Tuan Putri, masih ada satu jam lagi waktu untuk berlatih." Aku mengangguk dan mulai menerima pedang itu. Aku ingin segera mampu dan lima hari lagi Shem akan mengujiku. Aku tak mau Abraham disalahkan atas kebodohanku yang belum bisa menggunakan pedang. Maka aku harus lebih giat. Aku menghabiskan malamku untuk membaca berulang-ulang teori dan pelajaran pedang. Paginya aku akan mempraktekkan dengan bimbingan Abraham. Aku rasa tidak akan lama aku akan mampu. Mengingat keadaanku semakin lama semakin terdesak dan selalu was-was dalam ketidakamanan.
Setelah kami selesai berlatih pedang, kami duduk-duduk diatas rerumputan sambil meminum air yang telah kami bawa dari istana tadi.
"Sekarang tanyakan apa yang sekiranya belum anda mengerti Putri? Sebaiknya tanya sekarang. Karena setelah di istana, saya tidak akan ketemu anda dengan leluasa." Abraham menyimpan pedang-pedang kami ke dalam sarungnya.
"Aku melihat kamu banyak memiliki kesamaan dengan Shem?" Masyayel memberikan pertanyaan.
"Pertanyaan tentang latihan pedang, bukan pertanyaan lain Tuan Putri," jawab Abraham.
"Aku sudah paham dengan semua pelajaran yang telah kamu sampaika Abraham, yang aku belum paham adalah tentang dirimu. Entahlah kelihatan menarik sosok seorang Abraham, karena ... di Kerahaanku dulu, aku tidak mengenal seorang pamglima seperti dirimu yang sangat dekat dengan pangeran atau tuan putrinya. Aku tidak memiliki panglima khusus sepertimu," Masyayel memandang langit menerawang jauh. Dia memikirkan andai saja dirinya memiliki Panglima khusus seperti Abraham, pasti dirinya bisa terselamatkan dan dibawa pergi jauh dari mara bahaya, begitu juga adiknya, Pangeran Andrew. Mungkin saat ini masih hidup karena terlindungi.
Pada saat Negeri aman dan damai ia dan keluarga kerajaan, tidak pernah memikirkan hak sepenting itu. Sekarang baru ia menyesal karena situasi ternyata tidak selamanya bisa aman dan tenteram. Masyayel menangis lagi mengingat keluarganya yang sekarang sudah tiada dan kerajaannya kocar-kacir seperti ini tak bersisa.
"Maafkan saya jika membuatmu menangis, apa kiranya yang bisa saya bantu Tuan Putri?" Abraham mulai mendekati gadis itu.
"Tidak, aku hanya tiba-tiba mengingat semua keluargaku yang sangat aku cintai. Kini telah tiada, aku hanya berfikir dan menyesal, seandainya aku memiliki panglima pribadi sepertimu pasti akan sekuat tenaga melindungi aku dan keluargaku. Panglima kerajaan kami tidak ada yang seperti dirimu Abraham," ucap Masyayel.
"Maafkan saya Tuan Putri, saya yang menyerang panglima anda," jawab Abraham.
"Bukan salahmu, memang Kerajaanku yang mencari gara-gara dengan kerjaan ini, kamu sudah semaksimal mungkin menyelamatkan aku bahkan mengorbankan nyawamu." Masyayel berkata.