webnovel

Mencoba Mengungkapkan Cinta

Suasana malam yang setelah hujan cukup deras membuat Randu bangun tanpa melihat ponselnya seperti biasanya, tanpa lama dirinya langsung bergegas mandi, ketika hendak memegang gayung dirinya terlupa memakai cincin dan membuatnya terkejut jika sepotong salah satu jarinya itu terputus. Dia yang tak lama setelah itu juga dipanggil mama Widya untuk segera sarapan, dengan kepanikan dicarinya di semua tempat.

"Waduh, pantesan kemarin aku gak bisa merayu di hadapan Rindu dan dia menjadi dingin. Orang aku bodoh gak pakai cincin itu, oh iya ya baru keingat jika cincin itu ada di tasku."

Ia yang langsung mengenakan cincinnya itu tiba-tiba saja mendadak sulit terpasang di jari manisnya, waktu kembali mempercepat dan derap langkah seseorang menuju ke depan pintu kamar membuatnya semakin panik apabila cincin yang terikutkan dengan jari yang terpotong itu belum juga bisa terpasang hingga kini dan tak ada jalan lain dengan menyembunyikannya dan menggenggamnya.

"Randu, kenapa lama? Lihat hampir pukul tujuh, kamu juga belum sarapan."

"Iya, sabar. Baru bereskan kamar."

"Itu di tangan kamu, menyembunyikan apa?"

"Siapa juga yang seperti itu, udah deh ma. Jangan sok tahu mama."

Tak ada dalam diri mama Widya itu memaksakan kehendak tetapi saat itu juga dia telah menarik tangan Randu, dengan sekujur tubuh yang cukup dingin dan merasa kaku tidak bisa dihindarkan lagi akhirnya semua jadi terlihat. Tutupan mata yang cukup erat dan menggigit lidah sendiri takut semuanya terbongkar, menjadikan degup jantung itu tak menentu.

"Oh gak papa, aku pikir tadi kamu bohong sama mama."

"Hah? Nahkan, tadi juga Randu udah bilang sama mama kalau Randu itu tidak menyembunyikan apa-apa dan sekarang sudah terbukti Randu itu juga gak pandai berbohong. Sekarang sudah kan curiganya? Randu mau sarapan."

"Iya... iya, anak mama. Maaf jika mama terlalu berlebihan, bukannya curiga tapi mama gak mau kamu kenapa-kenapa setelah mama tusuk kamu itu. Terus lukanya sekarang gimana?"

"Udah gak papa. ya udah deh sekarang sarapan yang penting."

Randu yang mengalihkan pembicaraan itu akhirnya menuju ke meja makan besar, dirinya yang juga merasa aneh jika mamanya tidak melihat sebuah cincin maupu jari terpotong. Dengan begitu lahapnya seperti orang kelaparan berhari-hari Randu habis beberapa centhong nasi maupun beberapa sayur dan lauk. Tentunya hal tersebut merasa menjadi aneh dihadapan papa Dandi maupun mama Widya.

Papa Dandi yang berpamitan lebih dulu dan langsung disusul oleh Randu yang menyalip kemudi papanya menuju ke sekolah, sebuah pemandangan terlihat jika Putri sedang dicium keningnya oleh salah satu guru membuatnya hendak berlari tiba-tiba saja malah menabrak Rindu. Kejadian tersebut tentunya membuat keduanya tidak terkendali dan sama-sama terjatuh.

Dalam usahanya untuk mendekati Rindu itu terus menerus dikerahkan, seikat bunga mawar itu telah dibawanya hingga menuju ke kelas untuk mencoba menyatakan sebuah rasa yang dipendam selama ini. Tak ada kata putus asa diantara rasa dan nafsunya, Randu yang berjuang semaksimal mungkin agar tersampaikan memilih meminta tolong kepada sahabatnya itu.

"Tunggu, To."

"Ada apa, bro?"

"Dari awal itu aku suka sama Rindu, kayak cinta pertama begitu."

"Ah... basi, itukan kata-katamu selalu untuk merayu para cewek. Mana alasannya bilang aku merasa cinta pertamalah, dia istimewalah, anulah, inilah, itulah. Basi, bro. Selalu saja perkataan itu dengan para perempuan-perempuan yang kamu moduskan selama jaman SMP sampai sekarang, sudah hafal semuanya yang telah kamu lakukan."

"Bedalah, sekarang aku benar-benar ingin membuktikan jika perasaanku ini benar-benar akan terfokuskan kepada Rindu Widyoningrum. Please, bantu aku kali ini saja dan ini terakhir deh."

"Gak janji, masalahnya banyak yang lo anggurkan para perempuan di luar sana. Putri itu gimana, terus para tante di luar sana, terus tante girang yang kala itu gimana? Belum juga yang lain tanpa sepengetahuan gue, jangan gila deh. Rindu itu anak baik-baik, bro."

"Terus aku gak pantas begitu? Mentang-mentang aku pembunuh begitu?"

"Apa, pembunuh?"

"Tahu deh ya, pembunuh cinta. Aku males."

"Ran... Ran, jelaskan semuanya."

"Gak ada yang perlu dijelaskan."

Randu yang kesal itu langsung duduk di dalam kelas, Putri yang melihat kekasihnya sedang termenung diam tanpa seperti hari biasanya itu telah berusaha semaksimal mungkin untuk menghibur. Semua yang seharusnya berbuah manis tapi menjadi amis, Putri yang mencoba memberikan candaan dengan menjulurkan lidah dan membuat noda sedikit pada kedua pipi seperti kucing malah justru membuat pacarnya kesal dan mendorong hingga terjatuh.

Darah yang keluar itu tetap membuatnya kesakitan luar biasa di area bagian perut tetapi hal tersebut tak sedikit membuatnya dipedulikan dengan Randu yang memilih untuk segera menuju ke lapangan, sementara itu Rindu yang hendak menaruh baju seragamnya ke kelas itu melihat Putri jatuh tak sadarkan diri membuat ia meminta tolong kepada guru untuk dibawa menuju ke UKS.

"Bagaimana bisa, Putri bisa pendarahan seperti ini?"

"Saya gak tahu apa-apa, pak. Tadi saya habis berganti baju olahraga dan hendak menuju ke kelas menaruh baju seragam dalam tas, eh saat membuka pintu Putri sudah tidak sadarkan diri dan sudah pendarahan seperti itu."

Karena situasi cukuplah genting, salah satu guru hendak mencoba menelpon dokter menuju ke sekolah untuk memeriksa keadaan Putri tetapi saat itu juga dirinya langsung siuman dan mencegah guru tersebut untuk meminta pertolongan tim medis. Rindu yang hendak menuju ke lapangan itu tangannya terkunci sebuah genggaman tangan.

"Gak papa, pak. Ini cuma darah haid saja, Putri baik-baik saja."

"Kenapa kamu bisa begitu? Secara darah lumayan cukup banyak buat kamu, tapi lain kali kalau tidak enak badan gak usah memaksa untuk olahraga. Sekarang Rindu bantu rawat temannya saja, Nanti perihal jam mata pelajaran olahraga biar bapak saja memberikan informasi sama guru pengajar olahraga biar tidak diisi alpha."

"Iya, pak."

"Ya sudah, Putri istirahat dulu saja nanti sudah enakan kembali ke kelas ya."

"Iya, pasti pak. Terima kasih."

Ketika semua terasa sepi Putri terus menerus meminta tolong terhadap Rindu, rasa kekesalan itu membuat rasa balas dendam tak kunjung berhenti bahkan ketika meminta untuk membelikan nasi soto dan teh hangat diantarkannya menuju ke UKS. Usahanya untuk kembali mencelakai Rindu dirinya sengaja menyenggol mangkok hingga mengenai kaki Rindu.

Rasa perih bercampur sakit tetap berusaha ia tahan hanya bertahan tanpa membalaskan sebuah ketidakpuasaan, baginya rasa sabar itu terus diuji walaupun hati tetap tegar. Rindu yang hendak pergi meninggalkan Putri itu malah justru dimarahi senior PMR dan meminta untuk pertanggung jawaban membersihkan lantai yang kotor penuh nasi maupun kuah soto panas.

Tak berhenti begitu saja, ketika semuanya telah sudah dibersihkan Putri dengan kembali sengaja menuang air teh beserta gelasnya ke lantai. Dia yang juga menumpahkan beberapa kertas yang disobek-sobeknya meninggalkan Rindu seorang diri, tanpa sebuah kesadaran dosa dan ucapan maaf malah justru menginjak tangan Rindu dengan kaki beralaskan sepatu.

"Sabar... sabar, kehidupan itu sangatlah keras seperti karang semakin kita lawan malah justru tidak ada apa-apanya. Aku di sini bukan untuk mencari seorang musuh ataupun pacar, melainkan aku mencari kekayaan ilmu untuk membanggakan emak dan sahabatku mas Danu yang sudah aku anggap seperti saudara kandungku sendiri. Aku berharap semoga dia diampuni karena melakukan itu denganku maupun tingkah-tingkahnya diluar batas, oh Tuhan... kuatkan hati Rindu, mampukan Rindu untuk menjadi seorang manusia yang memiliki hati cukup lapang dalam menghadapi setiap masalah yang setiap waktu terus bertambah. Aku percaya semua ini hanyalah sementara."

Rindu yang selesai membersihkan itu semua ia kembali ke kelas untuk mengambil seragamnya, tetapi tak henti jua bagi Putri dia memotong seragam itu menjadi beberapa bagian menggunakan gunting yang dibawanya itu. Rasa kekesalan itu memuncak dan bahkan buku tugas yang harus dikumpulkan hari ini juga diinjak-injak dengan meninggalkan noda kaki, tetap saja Rindu tidak memberikan sebuah perlawanan yang mungkin saja berbuah sial.

Seusai jam pelajaran olahraga itu berganti semua siswa laki-laki memilih untuk berganti di kelas sementara siswi perempuan di kamar mandi, Randu yang bergegas menuju ke kelas tiba-tiba saja melihat Rindu menangis di meja bangkunya. Dirinya mencoba untuk mendekati dan memberikan sebuah ketenangan, tapi tak lama setelah itu Tito lebih dulu untuk menghampiri.

"Sial, kalah cepat sama si Tito. Lagian kenapa sih dia? Udah tahu aku itu memiliki rasa sama Rindu masih aja malah mepet gak jelas begitu, gak pernah bisa jaga perasaan sahabatnya. Awas saja kalau ketahuan menyukai Rindu, yang jelas-jelas bakalan aku tembak." Cetus Randu yang membantingkan pintu kearah berlawanan.

Randu yang kembali meninggalkan kelas itupun langsung menuju ke kantin, sementara Rindu masih menangis di meja bangkunya itu. Tito yang tak sanggup melihat itu memilih untuk menghampiri perlahan-lahan, dia yang mengajak Rindu menuju ke taman sekolah itu mencoba memberikan sebuah coklat manis yang ia coba dibuatnya.

"Kamu, kenapa Rin? Apa kamu sakit?"

"Gak papa, aku gak sakit. Cuma lagi capek aja."

"Tadi gak ikut olahraga kenapa?"

"Tadi Putri pingsan jadi aku tungguin dia, itu apa?"

"Oh, ini aku tadi bangun pagi coba bikin coklat manis gak di oven sih cuman dikukus."

Mereka berdua yang sedang memakan coklat manis bersama-sama tibalah Randu mengacaukan semuanya, dirinya yang sengaja menyenggol wadah makan berisikan coklat itu mencoba mengalihkan dengan Randu memberikan bunga mawar kearah Rindu. Hal itu tentunya membuat kesal Rindu dan meninggalkan begitu saja, Tito yang memarahi Randu itupun berbuah pertengkaran yang tak dapat dihindarkan.

Pertengakaran yang tidak ada ujung itupun membuat salah satu yang melihat melaporkan keduanya ke BP, tetapi Randu sangat terkejut jika yang datang ialah orang yang ia coba celakai datang kembali. Pak Baroto dengan tampilan lebih ganas dan garang itu memukul keduanya menggunakan stik drum cukup keras membuat keduanya terdiam dan menghentikan pertengkaran yang cukup membuatnya terkena omelan.

Bab berikutnya