webnovel

8. Jatuh Cinta Karena Terbiasa

"Maksud Om apa?" tanya Sheril, bingung. Dia masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

"Om pengin ngejodohin kamu sama AIS."

Mendengar pernyataan tersebut seketika mata Ais membola. Ia terkejut bukan main. Saking terkejutnya sampai-sampai tanpa disadari Ais berdiri dari posisi duduknya.

A-apa?

Sheril hendak dinikahkan dengannya?!

Jelas saja Ais marah. Kenapa orang tuanya tidak mendiskusikan hal ini dengan dirinya terlebih dahulu?! Padahal pernikahan bukan hal sesepele itu. Tadi Umi dan Abati juga mengatakan kalau tujuan mereka datang ke sini hanya untuk makan malam, bukan lamaran.

"Kamu kenapa, Ais?" Anha mengerutkan kening. Anha cukup tertegun dengan reaksi putranya barusan.

"Mungkin saking senangnya karena mau dinikahkan sama gadis secantik Sheril makanya Ais jadi kaget kayak gitu," tambah Hamkan membuat semua orang yang berada di ruang makan tertawa. Namun hal tersebut tidak berlaku kepada Aim, Ais dan Kalila. Raut ketiganya menegang.

Kalila menarik ujung kemeja Abangnya supaya Ais kembali duduk ke tempatnya lagi. Tidak enak jika keluarga Om Sean sampai berpikir yang tidak-tidak dengan respon Abangnya barusan.

Bang Aim sendiri terlihat murung, hal itu membuat Kalila iba. Kalila tahu pasti saat ini Abangnya yang selalu ceria itu sedang patah hati.

"Jadi gimana keputusan Nak Sheril?" ulang Hamkan memastikan.

Di sisi lain, Sheril yang tidak tahu apa-apa hanya bersemu malu. Pipinya semerah kepiting rebus.

Sheril menatap ke arah Papanya untuk meminta jawaban. Papanya tersenyum, raut wajahnya mengatakan secara tidak langsung apa pun keputusan yang akan diambil Sheril, Papanya akan senantiasa mendukungnya.

Ais mengepalkan tangan di bawah meja. Harap-harap cemas.

Please, Sheril....

Please jawab enggak....

Semoga Sheril tidak menyukainya dan menolak perjodohan konyol in—

"Kalau Papa bilang, iya. Maka Sheril nurut," jawab Sheril malu-malu sambil menundukkan kepala.

Shit!

Ais mengumpat dalam hati. Rasa kesalnya menggunung. Namun ketika melihat Uminya yang saat ini sedang menangkup pipi Sheril membuat rasa kesalnya berkurang.

"Tante seneng karena sebentar lagi kamu bakalan jadi menantu Tante." Tak hanya itu saja, Anha juga mencium pipi Sheril.

Sebegitu sukanya, ya, Uminya dengan Sheril?

Kemudian tatapan Ais berganti ke wajah bahagia yang lainnya seperti Abati yang sedang tertawa. Keluarga Om Sean juga terlihat senang.

"Ternyata ini berjalan lebih mudah daripada yang kita pikirkan. Saya juga udah mengira kalau Ais sebenernya suka sama Sheril. Iyakan Ais?" Sean mengangguk menyetujui ucapan Hamkan.

Padahal ini waktu yang tepat bagi Ais mengehentikan semuanya. Tapi... bagaimana bisa Ais melontarkan kalimat bahwa dia tidak ingin menikah dengan Sheril? Berapakah hati yang akan patah atas ucapannya tersebut?

Akhirnya Ais memberikan jawaban mengambang...

"Ais pikir-pikir dulu, Abati."

Ketegangan yang semula terasa kini mulai mereda. Namun ternyata kita melupakan satu hal.

Dari tadi adik Sheril hanya diam. Wajahnya tertekuk masam. Makannya tidak disentuh sama sekali dan ia hanya mengetuk-ngetuk piring di hadapannya.

"Kenapa makannya nggak dihabisin, Jayden? Kamu nggak suka sama menunya? Kalau nggak suka nanti Mama nyuruh bibi buat nyajiin makanan yang baru."

Jayden tidak menjawab, bibirnya semakin cemberut.

"Kakak beneran mau nikah sama 'orang itu', Ma?" tanya Jayden mengedikkan dagunya ke arah Ais.

"Iya, dong. Nanti Jayden juga bakalan jadi adeknya Kak Ais, Kak Aim sama Kak Kalila. Jayden seneng, kan?"

Jayden mendengus. Senang apanya!

"Apaan! Orang Kak Sheril aja kamarnya masih suka berantakan! Sama kayak hidupnya yang juga berantakan! Masak mau nikah?"

"JAYDEN!" April dan Sean berucap bersamaan. Mengingatkan Jayden bahwa ucapannya barusan tidak sopan. Apalagi keluarga Om Hamkan mendengarnya.

Jayden marah. Dia membanting sendok dan garpunya lalu berlari meninggalkan meja makan.

"Jayden! Jayden!" April memanggilnya dari belakang tapi Jayden tidak menghiraukannya.

"Maaf, ya. Jayden emang kadang anaknya suka kayak gitu," ucap April sungkan.

Sean hendak berdiri untuk mendatangi Jayden. Tapi April mencegahnya. "Biar aku yang nanti ngomong sama Jayden."

Sean mengangguk, ia mengurungkan niatnya. April bernapas lega, karena jika suaminya sudah bergerak. Maka dia akan sangat tegas dengan Jayden.

"Nggak pa-pa, kok. Namanya juga anak kecil." Anha dan Hamkan dapat memaklumi hal tersebut.

"Oh, iya. Nanti pulangnya Ais sama Aim tinggal dulu di sini, ya. Saya mau ngobrol sama sama** CALON MENANTU SAYA. HAHAHAHA."**

Ais menatap Om Sean dengan tatapan horror. Perasaannya jadi tidak enak. Seperti ada sesuatu dibalik kata 'calon menantu saya'. Apalagi tadi senyuman Om Sean sangat menakutkan.

Apa jangan-jangan dia hendak disidang?

"Lah, Om! Kan, yang mau nikah Abang sama Sheril. Ngapain juga, dah, aku ikut dipanggil?" celetuk Aim tidak terima.

Sean meremasi tangannya yang terkepal erat. "HAHAHA tentu saja biar kalau ada apa-apa kamu bisa jadi penengah!"

Anha dan Hamkan menahan senyum. Dia kira ini akan berjalan mulus. Tapi sepertinya kali ini putra mereka harus bersabar dalam memenangkan hati calon mertuanya.

"Tap--" Aim hendak menjawab lagi. Namun tidak jadi. Om Sean benar-benar menakutkan.

"JADI KALIAN NGGAK MAU, NIH?"

Ais dan Aim kesusahan menelan ludah. Oke, berarti mereka benar-benar hendak disidang!

***

"Jayden, kamu udah tidur belum? Ini Mama."

April mengetuk pintu kamar Jayden. Ada yang harus ia bicarakan dengan putranya tentang kejadian di acara makan malam tadi.

"Jayden...." Tidak ada jawaban dari dalam. April mengernyitkan dahi, kalau dipikir-pikir tidak mungkin juga jam segini Jayden sudah tidur.

"Mama masuk, ya, kalau gitu?"

"JANGAN MASUK! JAYDEN LAGI NGGAK MAU DIGANGGU!" teriak Jayden dari dalam. April mendengus. Kadang ia heran, sifat pemarah Jayden itu turunnya dari siapa, sih?

Tanpa memedulikan ucapan Jayden. April memutar knop pintu ke arah bawah dan merangsek masuk. Saat ini Jayden terlihat sedang duduk bersila di atas ranjang sambil bersedekap dada.

April pun ikut duduk di sebelah Jayden. "Jayden, Mama mau ngomong sama kamu."

Si bungsu membuang muka, acuh.

"Tadi kenapa Jayden di ruang makan ngomong kayak gitu? Kamu tahu, kan, kalau tadi itu nggak sopan banget? Apalagi ada Tante Anha sama Om Hamkan."

Jayden tetap mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Akhirnya April terpaksa memakai cara lain supaya Jayden mau berbicara dengannya, "Oke kalau kamu nggak mau ngomong sama Mama. Biar Mama panggilin Papa ke sin—"

"Jangan! Jangan panggilin Papa! Jayden nggak mau!" Jayden menahan lengan April yang hendak berdiri. Jayden memang paling takut kepada Papanya. Apalagi ketika Papanya marah, benar-benar terlihat sangat menakutkan.

"Terus kenapa Jayden tadi kayak gitu? Apa Jayden nggak suka sama Kak Ais?" tanya April, lagi.

Jayden menggeleng, bibirnya mengerucut sebal. "Jayden cuma sebel aja. Padahal Kak Sheril baru beberapa Minggu pulang ke rumah. Tapi malahan Kak Sheril dibawa pergi selamanya dari sini."

Setelah mengucapkan hal tersebut, Jayden diam sejenak. Kemudian melanjutkan kembali, "Terus nanti yang nemenin Jayden di sini siapa? Jayden bakalan kesepian lagi," gumam Jayden pelan.

April menahan tawa. Oh, ternyata itu alasannya Jayden tidak suka jika Kakaknya menikah? Jayden cemburu dan takut kesepian karena tidak ada teman bertengkarnya lagi. Tapi memang, Jayden itu anaknya gengsian padahal sayang.

April mengacak rambut putranya. Jayden benar-benar menggemaskan.

"Tapi tetep aja, dong, Jayden nggak boleh kayak gitu. Kan, nggak sopan."

Kali ini Jayden lebih penurut. Dia mengangguk paham.

"Lagian besok kalau Kak Sheril udah nikah Jayden bisa, kok, sering-sering main ke rumahnya Kak Sheril," ucap April mencoba menghibur putranya.

Jayden kembali membuang muka, marah.

"Udah-udah jangan ngambek lagi. Kalau gitu nanti Papa buatin adek baru, deh, buat kamu biar kamu nggak kesepian," celetuk Sean yang ternyata dari tadi bersender di bingkai pintu sambil menguping pembiacaraan anak serta istrinya. Sontak April dan Jayden mengatakan tidak mau secara bersamaan.

Jayden tidak mau punya adik lagi karena dia takut Mama Papanya lebih sayang kepada adik barunya daripada dia.

Sedangkan April tidak mau menambah anak lagi karena menurutnya dua anak sudah cukup. Terlebih bapaknya hanya semangat ketika membuatnya saja, tapi malas gantian menjaga ketika anaknya rewel.

"Pokoknya inget, lho, ya, jangan diulangi lagi," ucap April sebelum melangkah keluar dari kamar Jayden. Jayden pun mengangguk.

Kini Papanya dan mamanya meninggalkan kamarnya, hanya suara percakapan keduanya yang terdengar samar-samar dari luar.

"Kamu suruh anak-anak ke ruang baca aku, ya."

"Kamu jangan galak-galak, lho, ya, sama mereka. Gitu-gitu Ais calon mantu kamu," April mengomel.

"Iya-iya. Nggak bakal aku makan, kok, mereka."

***

Ais dan Aim berjalan beriringan menuju ke ruang baca Om Sean. Selama berjalan bersama, Aim yang biasanya terlihat ceria kini tampak murung.

Karena Ais memang terlahir dengan rasa peka yang minim, dia tidak mengerti kenapa adiknya tiba-tiba terlihat marah. Akhirnya Ais acuh. Mungkin Aim sedang ada masalah pribadi maka dari itu Ais tidak berniat menanyainya lebih lanjut karena dia sendiri juga tipe yang tidak suka ditanya-tanyai oleh seseorang ketika suasana hatinya buruk.

"Menurut, lo. Kenapa Om Sean manggil kita ke ruangannya?" tanya Ais berbasa-basi mencoba mencairkan suasana.

"Mana gue tahu. Mungkin mau nyembelih lo kali," jawab Aim ketus. Ais berdecak, tahu begitu dia tidak usah mengajaknya bicara saja.

Setibanya di ruangan Om Sean, Ais mengetuk pintu. Lalu keduanya masuk ke dalam dan duduk di kursi masing-masing yang sudah disediakan.

"Kalian tahu, kan, apa alasan Om manggil Kalian ke sini?" tanya Sean saksama. Ais dan Aim kesusahan menelan ludah. Mereka seperti pembunuh yang duduk di kursi panas dan diinterogasi atas kejahatan yang telah mereka perbuat.

"Dan kamu Ais... asal kamu tahu, ya. Meskipun anak Om suka banget sama kamu, tapi bukan berarti Om sudah 100% ngerestuin kamu. Tadi Om bilang 'oke' di depan Mama Papa kamu itu cuma acting doang, tahu!"

Ais berusaha keras tidak memutar bola matanya ke atas.

Lagipula siapa juga yang ingin menikah dengan Sheril?

Dulu, tepatnya ketika masih Ais kecil. Baginya Om Sean adalah orang terbaik di dunia ini. Om Sean adalah Om Kesayangannya karena Ais sering dibelikan mainan olehnya.

Ais juga ingat betul. Dulu ketika Om Sean datang ke rumah mereka, dia dan Aim sampai berebut membukakan pintu untuk Om Sean.

Tapi itu semua berubah ketika Om Sean sudah menikah dan mempunyai anak. Om Sean yang sekarang benar-benar menjengkelkan. Mana sudah tua dan tidak ingat umur lagi. Apalagi setelah menjadi bapak-bapak OM Sean berubah menjadi sangat galak.

Sekarang Ais tahu, alasan Sheril selama ini susah memiliki pacar padahal dia sangat cantik adalah; Pertama, si lelaki pasti minder duluan karena mengetahui kalau rumah pasangannya gedongan. Kedua, pasti mereka akan lari terbirit-birit setelah mengetahui Papa Sheril sangat galak.

Dan ada satu lagi sifat menjengkelkan Om Sean yang tidak Ais sukai yakni...

"Asal kamu tahu, ya. Sheril itu anak kesayangannya Om. Dia itu cantik, pinter, mandiri, lulusan luar negeri, ngegemesin. Nggak kayak kalian yang dilihat sekilas aja udah bikin kesel!"

Narsistik akut!

"Lagian kamu punya apa buat ngelamar anak Om? Udah banyak, ya, anak pengusaha yang nyoba ngelamar Sheril tapi Om tolak."

Ais dan Aim hanya menampilkan wajah ditekuk-tekuk. Ini bukan introgasi! ini lebih ke sesi ujian kesabaran! Semakin dilihat, wajah Om Sean terlihat semakin menjengkelkan.

"Kalian aja dua-duanya cuma kerja jadi staff di perusahaannya Papa kalian sendiri. Nih, lihat dan contohlah Om Sean. Om aja seusia kalian udah ngembangin yang awalnya cuma anak perusahaan jadi perusahaan raksasa. Curut-curut kayak kalian ini bisa apa," ucap Sean semakin menjadi-jadi sambil menepuk dadanya sendiri membanggakan diri.

Ah! Ais marah. Mana ada calon mertua yang memanggil calon menantunya curut!

"Iya, Om Sean memang hebat. Di dunia ini nggak ada orang yang sekeren Om Sean! Om Sean memang Panutanque!" timpal Aim mengacungkan kedua jempolnya. Hitung-hitung menyenangkan hati orang tua.

"Jelas, dong! Om Sean gitu, loh." Sean mengusap rambutnya ke belakang. Narsistik bukan main.

Ais menggeleng heran. Kenapa juga bukan Aim saja yang menjadi menantu Om Sean? Bukannya mereka berdua terlihat cocok daripada dirinya?

"Jadi... inti dari Om manggil kami ke sini apa?" mulut Ais sudah gatal, tidak tahan ingin segera menanyakan langsung ke intinya.

Sean bersedekap dada. Sudah selesai main-mainnya. Kini dia kembali ke mode serius.

"Inget ini baik-baik, ya. Sheril itu anak kesayangan Om. Pokoknya kalau dia minta apa pun sama kamu, kamu harus turuti. Kalau kalian berantem, kamu harus minta maaf duluan sama dia. Pokoknya setelah menikah, Sheril harus diperlakuin seperti ratu."

Ais mengernyit. Apa-apaan! Mana bisa begitu!

"Ingat ini baik-baik. Kapan kamu bikin dia sedih, atau nyakitin dia, nggak cuma kamu yang Om kebiri, tapi Om juga bakalan ratain HAKA GRUP!"

Sean meremas lalu mengepalkan tangan di depan wajah Ais dan Aim. Keduanya menelan ludah. Ucapan Om Sean barusan sepertinya tidak main-main. Apalagi saat ini kenyataannya memang perusahaan Om Sean posisinya jauh di atas HAKA GROUP. Bisa-bisa HAKA rata dengan tanah!

"Ngerti nggak kalian, hah?!"

Aim tersenyum. Rasa sedihnya berkurang melihat penderitaan Abangnya yang diancam hendak dikebiri Om Sean.

"Nggak usah senyum-senyum kamu! Tugas kamu juga sama, yaitu mastiin kalau kembaran kamu nggak macem-macem atau bikin anak saya sedih. Kalau sampai itu terjadi, kamu juga Om kebiri."

Aim menganga tidak percaya. "Kok, gitu, Om!" ucapnya tidak terima. "Kan, yang mau nikah Abang. Kenapa pula aku yang rib—"

"Jadi kamu nggak terima, nih?" potong Sean.

Aim ingin menangis rasanya. "E-enggak Om." Kini ia hanya mampu menunduk pasrah.

"Gimana? Ada pertanyaan lagi?"

"Enggak, Om. Kami mengerti."

"Bagus-bagus. Gitu, dong." Sean mangut-mangut. "Oke sekarang kalian boleh pulang."

***

Setelah selesai, Ais dan Aim keluar ruangan dengan wajah lesu. Mereka berjalan tanpa suara seperti tadi lagi. Sebelum berbelok ke ruang keluarga, mereka dihentikan oleh seseorang yang bersandar pada dinding ruangan. Kalau tidak salah orang tersebut adalah Jayden, adiknya Sheril.

Mau apa dia di sini?

"Woi. Kamu yang bakalan nikah sama Kakak aku, kan?" tanya Jayden to the point.

Ais dan Aim terdiam. Kenapa nada bicara bocah itu terdengar ketus sekali? sifatnya sangat berbanding terbalik dengan Sheril yang tenang.

Jayden mendengus. "Kakaku itu emang orang yang agak bego. Dia jorok dan kamarnya gapernah bersih. Tapi dia aslinya baik tahu."

Hah, itu barusan dia sedang memuji atau menghina Sheril, sih?

"Dasar kalian berdua ampas!" tambah Jayden lagi membuat Aim geram.

Aim yang bersumbu pendek pun tidak terima dikatai oleh anak kecil.

"Dasar bocah ini!"

Tidak peduli dia anak Om Sean atau posisinya mereka sedang berada di rumah Om Sean. Anak ini harus diberi pelajaran!

Tanpa ba-bi-bu dengan langkah besar-besar Aim berjalan mendekati Jayden hendak menjitak anak tidak sopan itu biar tahu rasa.

Mata Ais melebar. Dia baru teringat sesuatu....

"Im jangan! Dia sabuk hit—" sebelum Ais menyelesaikan ucapannya. Tangan Aim yang semula terulur hendak menjitak Jayden diputar ke belakang olehnya, lalu sedetik kemudian Aim mengaduh kesakitan, ia terkapar di lantai, dibanting oleh Jayden.

Ais menepuk dahinya sendiri. Ia pernah mendengar kalau Jayden ikut ekstrakuliluker taekwondo di sekolah.

"Huh, ngelawan anak kecil aja nggak becus! Bener-bener ampas!"

Jayden berlalu meninggalkan Aim yang masih kesakitan.

"AWAS YA BOCIL! NANTI KAKAK BUAT PERHITUNGAN SAMA KAMU!"

Ais memejamkan mata. Hari ini benar-benar cukup berat untuknya.

***

[Flashback selesai, kembali ke bab waktu malam pertama tertunda]

Ais menarik napas dalam-dalam. Tatapannya mengarah ke atas, menatap kosong langit-langit ruangannya yang berwarna putih bersih.

Alasan dia akhirnya berubah pikiran dan mau menikah dengan Sheril adalah;

1. Abati menjanjikan memberikan jabatannya kepadanya. Itu artinya dia memiliki uang untuk mensejahterakan kehidupan Dara.

2. Alasan yang kedua, Umi sangat menyayangi Sheril. Anggap saja menikah dengan Sheril adalah salah satu bentuk baktinya kepada Umi.

3. Lalu alasan ketiga, Ais tidak mau mengecewakan banyak hati. Biarlah dia berkorban asal keluarganya bahagia, asal Om Sean dan Tante April bahagia. Bahkan untuk saat ini Ais masih belum tahu apakah esok dia bisa jatuh cinta kepada Sheril seperti kata kebanyakan orang tentang cinta datang karena terbiasa.

Ais merubah posisinya ke samping. Ia menyentuh rambut hitam Sheril yang sudah tertidur pulas. Merabanya secara perlahan. Merasakan gesekan satu per satu sulur rambutnya dengan kulit jarinya.

"Sebenernya lo lagi dalam posisi binging Bang sama perasaan diri lo sendiri."

"Maaf, ya, Sheril. Maaf karena tadi sore kamu harus dengar kata-kata yang menyakitkan dari aku. Aku memang belum cinta sama kamu, aku juga nggak pernah berniat buat nyakitin hati kamu. Jadi, aku mohon tolong beri aku waktu."

Kali ini Ais sadar bahawa dia harus tegas dengan perasaannya.

Maka besok dia akan datang menemui Dara untuk menarik kembali ucapannya waktu itu.

Memutuskan segala hal tentangnya.

Namun pertanyaannya... apakah dia bisa melakukan itu semua?

Bab berikutnya